Hari ini, 17 Mei 1948, tercatat dalam sejarah intelektual Indonesia sebagai hari ketika Tan Malaka menyelesaikan naskah Gerilya, Politik, Ekonomi (Gerpolek) di penjara Madiun. Sebuah karya yang tidak hanya berisi taktik perang gerilya, tetapi juga cetak biru revolusi rakyat: bagaimana politik, ekonomi, dan strategi militer harus menyatu dalam satu tarikan nafas perjuangan nasional.
Tan Malaka bukan sekadar pejuang bersenjata. Ia adalah intelektual organik dalam istilah Antonio Gramsci, seorang pemikir yang lahir dari rahim rakyat dan menyalurkan ilmu untuk kepentingan rakyat. Ia tidak menulis untuk akademi atau menara gading, tetapi untuk petani, buruh, dan gerilyawan yang berjuang mempertahankan republik muda dari cengkeraman kolonialisme.
Gerpolek muncul di tengah pergolakan besar. Republik baru saja berdiri, namun diplomasi pemerintah yang dipimpin Sutan Sjahrir dan kemudian Mohammad Hatta kerap dianggap terlalu kompromistis. Tan Malaka dan Persatuan Perjuangan menyerukan tuntutan yang lebih radikal: “Merdeka 100%.” Tidak setengah hati, tidak tunduk pada perjanjian-perjanjian politik dengan Belanda yang berisiko menggerogoti kedaulatan bangsa.
Menurut Wasid Suwarto dalam Mewarisi Gagasan Tan Malaka: Kumpulan Tulisan, Jenderal Abdul Haris Nasution menilai gagasan Tan Malaka dalam Gerpolek maupun Dari Penjara ke Penjara adalah fondasi dari strategi perang rakyat semesta. Artinya, konsep pertahanan yang menekankan keterlibatan seluruh rakyat sebagai basis kekuatan melawan penjajahan. Dari sini, Tan Malaka layak disebut bukan hanya tokoh politik, melainkan juga tokoh ilmu militer Indonesia.
Ironisnya, justru gagasan itu membuatnya dijebloskan ke penjara. Pemerintah saat itu melihat Persatuan Perjuangan sebagai ancaman. Tan Malaka ditahan selama dua setengah tahun, sebelum akhirnya dibebaskan pada 16 September 1948—hanya dua hari sebelum meletusnya pemberontakan PKI Madiun di bawah Musso.
Harry A. Poeze, sejarawan Belanda yang meneliti Tan Malaka selama puluhan tahun, menafsirkan pembebasan itu sebagai taktik politik Hatta. Dengan membebaskan Tan, pemerintah berharap mengimbangi pengaruh Musso yang baru kembali dari Moskow. Namun, Tan tidak mau dijadikan alat. Ia menolak campur tangan dalam urusan PKI. Baginya, tugas utama adalah mempertahankan Republik Proklamasi bersama kekuatan rakyat yang masih setia.
Di titik inilah terlihat perbedaan prinsipil antara Tan Malaka dan Musso. Jika Musso memilih jalur revolusi proletar ala Komintern, Tan Malaka menekankan revolusi nasional dengan basis massa rakyat Indonesia sendiri. Ia konsisten dengan doktrinnya bahwa kemerdekaan nasional adalah syarat mutlak sebelum rakyat bisa melangkah pada agenda sosial-ekonomi yang lebih radikal.
Setelah keluar dari penjara, Tan mendirikan Partai Murba pada 7 November 1948 di Yogyakarta. Namun, ia memilih untuk tidak memimpin langsung. Ia lebih suka bergerak di lapangan, mengorganisasi gerilyawan dan rakyat di Jawa Timur. Gerpolek menjadi manual perjuangan: bagaimana desa menjadi basis ekonomi dan militer, bagaimana rakyat menopang logistik perang, dan bagaimana politik rakyat menguatkan semangat gerilya.
Sayangnya, perjalanan itu berakhir tragis. Pada 21 Februari 1949, Tan Malaka ditangkap oleh pasukan Divisi Brawijaya di bawah Letnan Dua Sukotjo. Di Selopanggung, kaki Gunung Wilis, Kediri, sang pemikir revolusioner dieksekusi tanpa pengadilan. Usianya baru 51 tahun.
Kisah kematian Tan Malaka adalah salah satu ironi terbesar sejarah Indonesia. Seorang tokoh yang namanya tercantum dalam daftar Pahlawan Nasional sejak 1963, justru kala hidupnya diperlakukan sebagai “orang buangan,” pengganggu stabilitas, bahkan dianggap musuh oleh kawan seangkatannya.
Namun sejarah tidak pernah bisa dibungkam. Pemikiran Tan Malaka terus hidup, dibaca ulang, diteliti, dan diperdebatkan. Gerpolek tetap relevan bukan sebagai manual perang fisik, tetapi sebagai simbol perjuangan total: bagaimana politik, ekonomi, dan militer harus bersinergi demi kedaulatan bangsa.
Di tengah era globalisasi hari ini, semangat “merdeka 100%” yang digaungkan Tan Malaka menjadi refleksi kritis. Apakah kedaulatan ekonomi, politik, dan hukum Indonesia benar-benar merdeka? Ataukah masih tersandera oleh kepentingan asing dan oligarki dalam negeri?
Lebih jauh, posisi Tan Malaka sebagai intelektual organik menawarkan pelajaran penting. Bahwa intelektual sejati bukan hanya menguasai teori, melainkan terjun ke medan nyata, menjadi bagian dari rakyat, dan menulis dengan darah perjuangan.
Tan Malaka membayar mahal konsekuensi itu. Hidupnya berakhir di ujung senjata, tetapi gagasannya menembus batas generasi. Dari Naar de Republiek Indonesia (1925), Madilog (1943), hingga Gerpolek (1948), ia mewariskan trilogi pemikiran revolusioner yang menjadi fondasi intelektual bangsa.
Kini, 77 tahun setelah Gerpolek rampung, Indonesia masih berkutat dengan pertanyaan yang sama: apakah kita sudah merdeka 100%? Pertanyaan itu bukan sekadar retorika, melainkan ujian sejauh mana bangsa ini mampu melepaskan diri dari ketergantungan dan berdiri tegak di atas kaki sendiri.
Tan Malaka mungkin telah tiada. Tetapi setiap kali bangsa ini dirundung krisis kedaulatan, gagasannya seolah bangkit kembali, mengetuk nurani kita: bahwa kemerdekaan sejati hanya akan lahir dari keberanian berpikir radikal, keberanian melawan kompromi, dan keberanian berpihak pada rakyat.
Demikian.
Penulis, ADV. M.Taufik Umar Dani Harahap,SH, Praktisi Hukum dan Aktivis Rakyat Banyak.
Posting Komentar
0Komentar