Universitas semestinya menjadi rumah ilmu pengetahuan, ruang merdeka bagi nalar kritis, dan benteng terakhir moral publik. Namun realitas yang muncul di Universitas Sumatera Utara (USU) memperlihatkan wajah berbeda. Di bawah kepemimpinan Muryanto Amin, kampus justru tampak rentan dijadikan mesin politik. Kasus yang membelit rektor bukan sekadar soal personal, melainkan tanda jelas bahwa universitas telah digeser dari fungsinya sebagai penjaga integritas menjadi laboratorium oligarki.
Pemanggilan Muryanto oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus proyek jalan di Sumatera Utara kian memperkuat kesan tersebut. Alih-alih menjaga marwah akademik, seorang rektor yang seharusnya berdiri di garis depan integritas justru memilih bertahan dalam orbit kekuasaan. Diamnya Muryanto di tengah sorotan publik menjadi ironi: rektor lebih rela menjadi bagian dari sirkel politik ketimbang menjadi simbol moral bagi mahasiswa dan dosen yang dipimpinnya.
Relasi kekuasaan yang dibangun dengan lingkaran politik Wali Kota Medan dan sekarang sebagai Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution, menantu Presiden Joko Widodo semakin menegaskan bahwa jabatan rektor tidak lagi murni lahir dari kompetisi akademik yang sehat. Posisi strategis USU kini dipandang sebagai bagian dari konsesi politik yang lebih besar.
Situasi ini makin terasa relevan ketika Gibran Rakabuming Raka naik ke panggung nasional sebagai wakil presiden 2024–2029. Dengan dinamika itu, agenda konsolidasi dinasti politik menuju 2029 menjadi niscaya. Dan dalam skema besar ini, kampus hadir sebagai instrumen strategis: ia memiliki reputasi, jaringan sosial, dan basis alumni yang bisa dimobilisasi.
USU, yang berada di jantung Sumatera, rawan dijadikan simpul mesin politik. Rektor bukan lagi dipandang sebagai akademisi, melainkan broker yang mengelola jejaring, memobilisasi sumber daya, dan membentuk opini publik. Kampus yang seharusnya menjadi ruang merdeka ilmu justru ditarik masuk ke orbit politik praktis, menjadi kaki tangan bagi kepentingan elektoral. Inilah wajah telanjang bagaimana universitas dijadikan alat, bukan lagi ruang independen.
Masalah terbesar dari situasi ini bukan sekadar dugaan korupsi atau nepotisme, tetapi keruntuhan moralitas akademik. Ketika rektor mangkir dari panggilan etik dan hukum, pesan yang disampaikan kepada publik jelas: hukum bisa diabaikan, etika bisa ditawar, asalkan posisi kuasa tetap terjaga. Universitas dibangun bukan hanya dari gedung megah atau peringkat akreditasi, melainkan dari kepercayaan publik. Dan tanpa integritas, gelar akademik hanyalah topeng yang rapuh.
Bahaya semakin nyata ketika universitas dikorbankan demi agenda politik 2029. Generasi muda yang seharusnya dibentuk menjadi kritis dan independen justru diarahkan menjadi pengikut pasif oligarki. Tri Dharma Perguruan Tinggi, pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat, hanya tinggal jargon, sementara praktik transaksional merongrong sendi-sendi kampus dari dalam.
Sejarah membuktikan, universitas besar runtuh bukan karena kekurangan dana, melainkan karena korupsi moral dan politik di dalamnya. USU kini berada di titik kritis. Pertanyaannya sederhana namun mendasar: apakah universitas ini berani keluar dari jerat oligarki dan mengembalikan marwah akademiknya, atau justru larut lebih jauh dalam mesin politik dinasti? Jawabannya bergantung pada keberanian civitas akademika, mahasiswa, dosen, dan alumni, untuk merebut kembali ruang mereka. Majelis Wali Amanat, Senat Akademik, dan Dewan Guru Besar tak boleh lagi bersembunyi dalam diam. Diam adalah pengkhianatan; dan pengkhianatan terhadap marwah akademik adalah dosa sejarah.
Majunya kembali Muryanto Amin sebagai calon rektor 2026-2031 bukan lagi sekadar urusan administratif, melainkan langkah politik yang sarat kalkulasi. Publik membacanya sebagai upaya menyiapkan mesin kampus guna memperkuat konsolidasi dinasti menuju proyek politik 2029: Gibran for Presiden. Dalam skema ini, rektor tak lagi menjadi teladan akademik, melainkan bidak kekuasaan.
Jika hal ini dibiarkan, USU akan kehilangan marwahnya. Universitas akan berubah menjadi arena pragmatis yang tunduk pada kepentingan sesaat, sementara generasi mudanya dibelenggu dalam orbit oligarki. Publik, terutama civitas akademika, harus bersuara lantang: kampus bukan mesin politik, dan tidak boleh dikorbankan demi ambisi dinasti. Sebab ketika etika akademik runtuh, itu bukan sekadar kemunduran satu universitas, itu adalah awal keruntuhan bangsa.
Rahmad Muhammad, S.H., M.H.
Praktisi Hukum dan Akademisi
Posting Komentar
0Komentar