Hancurnya Martabat USU: Muryanto Amin Sirkel Bobby Nasution dan Topan Ginting Dalam Pusaran Korupsi Di Sumatera Utara

Media Barak Time.com
By -
0

 



Selayang Pandang


Medan—Universitas Sumatera Utara (USU) kini menjadi wajah buram dari universitas negeri yang gagal menjaga jarak dengan kekuasaan. Nama rektor yang seharusnya menjadi simbol integritas justru terjerat dalam pusaran politik transaksional. Dugaan keterlibatan sang rektor dalam sirkel Bobby Nasution, Wali Kota Medan sekaligus menantu Presiden Joko Widodo, serta kedekatannya dengan Topan Ginting, mengungkap rapuhnya benteng akademik di tengah cengkeraman oligarki lokal.


Kasus ini memperlihatkan tipisnya garis pemisah antara ruang akademik dan arena politik. Universitas yang mestinya menjadi laboratorium etika kini justru dicemari oleh praktik rente, patronase, dan pengaturan proyek. Ketika KPK mulai menyebut keterkaitan rektor USU dengan lingkar politik Bobby Nasution, publik melihat bukan sekadar penyalahgunaan anggaran, melainkan praktik korupsi moral yang merusak sendi-sendi pendidikan tinggi.


Dampak dari skandal ini tidak hanya menyasar elite kampus, tetapi juga ribuan mahasiswa dan dosen yang terjebak dalam sistem birokrasi koruptif. Suara kritis mahasiswa yang berusaha mengingatkan bahaya penyalahgunaan kekuasaan kerap ditekan, sementara rektorat justru nyaman bersandar pada perlindungan politik. Ironi ini menjadikan universitas bukan lagi benteng moral bangsa, melainkan instrumen legitimasi kepentingan kekuasaan.


Karena itu, penegakan hukum harus berani melangkah lebih jauh. KPK tidak cukup hanya menjerat rektor, tetapi juga menelusuri jaringan politik yang menopang praktik korupsi ini. USU harus dibersihkan demi mengembalikan marwah akademik. Bila tidak, skandal ini hanya akan menegaskan satu hal: kampus telah jatuh menjadi laboratorium oligarki, dan publik kehilangan kepercayaan terhadap institusi yang mestinya menjadi cahaya peradaban.


Lingkar Kuasa dan Korupsi Akademik


USU tengah terseret dalam pusaran kuasa yang merusak fondasi intelektualnya. Proses penjaringan rektor yang seharusnya berbasis meritokrasi justru dicemari aroma patronase politik. Nama Bobby Nasution yang kerap dikaitkan dengan dinamika pemilihan rektor bukan sekadar isu, melainkan penanda bagaimana jejaring kekuasaan politik mulai menancapkan pengaruhnya di ruang akademik. USU pun terancam berubah dari rumah ilmu pengetahuan menjadi laboratorium politik, tempat kalkulasi kuasa lebih dominan ketimbang integritas akademik.


Keterlibatan figur-figur seperti Topan Ginting semakin memperlihatkan pola patronase yang berbahaya. Jejaring yang dibangun tidak hanya memengaruhi arah kebijakan kampus, tetapi juga membuka pintu bagi praktik rente. Dugaan korupsi pembangunan kolam retensi di lingkungan USU menjadi contoh nyata bagaimana proyek kampus bisa dijadikan alat transaksi politik-ekonomi. Ketika proyek strategis lebih tunduk pada kepentingan patron ketimbang kebutuhan akademik, universitas kehilangan jati diri sebagai benteng kebenaran.


Masalah serupa tampak pada dugaan korupsi pembangunan Gedung UMKM USU senilai Rp97 miliar yang menyeret nama Alexander Sinulingga. Kasus ini menunjukkan bahwa persoalan USU bukan sekadar teknis anggaran, melainkan menyentuh korupsi moral dan intelektual. Rektorat yang seharusnya menjaga martabat akademik justru kerap melayani kepentingan eksternal, meninggalkan mahasiswa dan dosen dalam posisi terpinggirkan. Keputusan-keputusan penting kampus pun tereduksi menjadi komoditas politik.


Jika lingkar kuasa ini dibiarkan, USU berpotensi menjadi preseden buruk bagi pendidikan tinggi nasional. Universitas bisa jatuh menjadi satelit kekuasaan, kehilangan fungsi sebagai mercusuar etika dan pengawal nalar kritis bangsa. Karena itu, publik harus mendesak aparat penegak hukum untuk tidak hanya menjerat individu-individu yang terlibat, tetapi juga membongkar jaringan patronase yang merusak marwah akademik. Hanya dengan keberanian membongkar lingkar kuasa, USU dapat diselamatkan dari jurang degradasi moral yang lebih dalam.


Kampus Sebagai Korban


Universitas Sumatera Utara (USU) hari ini memperlihatkan wajah muram pendidikan tinggi negeri: bukan sebagai mercusuar etika, melainkan satelit kekuasaan. Alih-alih menjaga marwah akademik, birokrasi kampus justru larut dalam logika politik praktis yang mengabaikan akuntabilitas. USU menjadi contoh gamblang bagaimana universitas dapat dipaksa menjadi perpanjangan tangan kepentingan politik, bukan lagi penjaga nalar kritis bangsa.


Mahasiswa yang selama ini bersuara lantang tentang transparansi dan tata kelola sering diperlakukan sebagai duri dalam daging. Suara kritis dituding mengganggu stabilitas, padahal itulah fungsi sejatinya perguruan tinggi: ruang dialektika dan kontrol moral. Ironisnya, rektorat dan birokrasi kampus justru merasa nyaman bersekutu dengan lingkar politik lokal, menjadikan legitimasi akademik sebagai barang dagangan untuk imbalan kekuasaan.


Dalam konteks ini, nama Muryanto Amin tak bisa dilepaskan dari kritik publik. Kepemimpinannya dinilai membuka pintu bagi praktik yang merendahkan marwah kampus. Dari cawe-cawe politik dalam Pilpres hingga Pilgub Sumut, hingga dugaan keterlibatan dalam pusaran korupsi, USU terseret ke jurang yang jauh dari khitahnya. Kampus pun terancam berubah menjadi sarang “pelacur intelektual”—gelar tragis bagi institusi yang semestinya berfungsi sebagai penjaga moral.


USU adalah korban dari manuver kekuasaan, tetapi juga pelaku pengkhianatan terhadap misinya sendiri. Bila praktik ini dibiarkan, universitas akan kehilangan kepercayaan publik dan hanya dipandang sebagai arena kompromi politik. Maka, pembersihan menyeluruh menjadi keharusan: agar kampus kembali ke pangkuan idealismenya, sebagai benteng ilmu, etika, dan akal sehat bangsa.


Momentum Bersih-Bersih


Publik menuntut penegak hukum tidak lagi ragu. Bila benar praktik korupsi merasuki tubuh Universitas Sumatera Utara (USU), maka Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bersama Kejaksaan harus turun tangan. Penyelidikan tidak boleh berhenti di pintu rektorat atau pejabat kampus semata, melainkan harus berani membongkar patronase yang melibatkan lingkar politik eksternal. Hanya dengan cara itu integritas kampus dapat dipulihkan.


USU bukan milik segelintir pejabat, melainkan rumah bagi puluhan ribu mahasiswa dan dosen yang menaruh harapan pada almamater. Jika rektor terbukti bersalah, penegakan hukum bukanlah akhir dari tragedi, melainkan awal dari penyembuhan. Penangkapan seorang rektor dapat menjadi momentum untuk membersihkan sistem dan mengembalikan USU ke pangkuan etika akademik.


Civitas akademika yang masih teguh pada akal sehat dan keluhuran intelektual tidak boleh diam. Mereka harus menjadi suara moral yang mendesak KPK menuntaskan kasus ini hingga ke akar. Korupsi adalah kejahatan luar biasa—extraordinary crime—yang menuntut keberanian luar biasa pula untuk memberantasnya. Tanpa tekanan moral dari dalam kampus, proses hukum berisiko terhenti di permukaan.


Dalam konteks itu, nonaktifnya Muryanto Amin menjadi keniscayaan. Ia harus diberi ruang untuk menghadapi kasus yang menjeratnya, tanpa membiarkan USU terus tersandera oleh kepemimpinan yang tercemar. Membiarkan Mury tetap memimpin hanya akan memperkuat persepsi bahwa USU telah menyatu dengan lingkar kekuasaan Bobby Nasution dan Topan Ginting. Inilah saatnya kampus memilih: tunduk pada oligarki, atau berdiri tegak sebagai benteng moral bangsa.


Penutup


Kisah Universitas Sumatera Utara (USU) adalah alarm keras bagi dunia pendidikan tinggi: kampus bisa runtuh bila dijadikan laboratorium oligarki. Rektor yang mestinya menjadi teladan intelektual justru terperangkap dalam jejaring korupsi dan politik transaksional. Bila kasus ini dibiarkan, reputasi USU tidak hanya hancur di mata publik, tetapi juga menggerus masa depan pendidikan tinggi Indonesia yang berlandaskan etika dan moralitas.


Muryanto Amin telah menyeret nama USU ke titik terendah, mempermalukan sebuah institusi yang pernah termasyhur sebagai perguruan tinggi barat Indonesia. Karena itu, tuntutan publik agar ia diberhentikan bukan sekadar soal hukum, tetapi soal etika dan moral—dua hal yang selalu lebih tinggi dari sekadar regulasi. Saatnya kampus dibersihkan dari kepemimpinan yang tercemar, agar USU kembali ke khitahnya sebagai benteng ilmu dan penjaga akal sehat bangsa.


Demikian.


Penulis Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH, adalah Praktisi Hukum, Alumni Fakultas Hukum USU Stambuk' 92 Dan Ketua  Forum Penyelamat USU. 

_______________

Daftar Pustaka 


Waspada Online. (2024). Dugaan Korupsi Gedung UMKM USU Rp97 Miliar, Alexander Sinulingga Masuk Radar Kejatisu. Diakses dari: https://waspada.co.id/dugaan-korupsi-gedung-umkm-usu-rp97-miliar-alexander-sinulingga-masuk-radar-kejatisu


KPK Sebut Rektor USU Bagian Dari Sirkel Bobby Nasution Dan Topan Ginting, https://www.tempo.co/hukum/kpk-sebut-rektor-usu-bagian-dari-sirkel-bobby-nasution-dan-topan-ginting-2063065

Tempo.co. (2024). Topan Ginting Anggarkan Pembangunan Kolam Retensi di USU Sebelum Ambil S3. Diakses dari: https://www.tempo.co/hukum/topan-ginting-anggarkan-pembangunan-kolam-retensi-di-usu-sebelum-ambil-s3-1845215


Kompas. (2023). Kampus dan Ancaman Politik Praktis dalam Pendidikan Tinggi. Jakarta: Harian Kompas.


Transparency International Indonesia (TII). (2022). Laporan Indeks Persepsi Korupsi Indonesia 2022. Jakarta: TII.


 Nugroho, Riant. (2019). Korupsi Politik dan Tata Kelola Pendidikan Tinggi. Jakarta: LP3ES.


Dahrendorf, Ralf. (1990). Reflections on the Revolution in Europe. London: Chatto & Windus. (Sebagai rujukan teori patronase dan relasi kuasa).

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)