Diamnya Rektor Universitas Sumatera Utara (USU), Prof. Dr. Muryanto Amin, pasca pemanggilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), menambah ketegangan di ruang publik Sumatera Utara. Sebab, kasus korupsi yang menyeret nama Topan Ginting—pejabat di lingkar kekuasaan—tak hanya menyangkut soal proyek jalan, tetapi sudah menyeret reputasi akademik kampus terbesar di Sumatera ini.
KPK melalui Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi, Asep Gunyur Rahayu, menyebut terang bahwa keterangan Muryanto dibutuhkan untuk mendalami konstruksi kasus. “Ini circle-nya, kan, Topan juga, kan circle-nya,” ujarnya di Gedung Merah Putih, Jakarta, Senin malam (25/8/2025). Kata “circle” itu kemudian menjadi bola liar di tengah publik Sumut, mengaitkan jejaring Topan Ginting dengan nama besar lain, termasuk Bobby Nasution.
Publik Sumut mafhum, lingkar kuasa di daerah ini tak bisa dipisahkan dari relasi politik, bisnis, dan akademik. Nama Bobby Nasution, menantu Presiden Joko Widodo sekaligus mantan Wali Kota Medan dan sekarang Gubernur Sumatera Utara, acap kali disebut berada dalam orbit yang sama. Maka, ketika KPK menyinggung soal “circle,” imajinasi masyarakat otomatis mengaitkan diamnya Muryanto Amin dengan jaring yang lebih besar.
USU kini menjadi sorotan bukan karena prestasi riset, melainkan dugaan kompromi dengan jejaring politik-ekonomi yang sarat praktik rente. Krisis integritas ini membuat marwah kampus dipertaruhkan. Muryanto Amin seakan menghilang dalam pusaran isu, tak memberi penjelasan terbuka kepada sivitas akademika maupun publik. Diamnya itu justru menambah ruang spekulasi.
Di Medan, obrolan warung kopi berubah jadi forum investigasi rakyat. Nama-nama yang kerap disebut dalam jejaring proyek dan politik lokal kini masuk daftar spekulatif. Persepsi liar itu bukan hanya tentang Topan Ginting sebagai tersangka, tetapi juga bagaimana peran kampus, pejabat daerah, dan figur politik dalam melanggengkan praktik oligarki.
Masyarakat menilai, ketertutupan rektor USU memperkuat kesan bahwa kampus tak lagi steril dari kontaminasi kekuasaan. Seharusnya, seorang akademisi berani menghadapi transparansi hukum, dan mengklarifikasi tuduhan sebagai sirkel OTT Topan Ginting kasus jalan di Sumatera Utara, bukan memilih bungkam. Sebab, diam dalam pusaran skandal kerap dibaca sebagai sikap melindungi diri atau lingkar yang lebih besar.
Krisis moralitas akademik ini memberi dampak luas. Generasi muda yang mestinya meneladani integritas kampus justru mendapati wajah rektornya di panggil KPK. Alih-alih menjadi benteng etika, USU kini dicurigai sebagai laboratorium korupsi dan tempat subur bagi praktik politik transaksional dan bancakan proyek.
Dalam konteks ini, publik Sumut merasa wajar membicarakan pembentukan task force rakyat. Tujuannya sederhana: mengawal penindakan hukum agar tidak tebang pilih. Jika KPK dianggap bekerja di bawah tekanan politik pusat, maka inisiatif warga bisa menjadi penyeimbang moral untuk memastikan koruptor akademik dan politik benar-benar dibawa ke pengadilan.
Task force rakyat ini bukan substitusi aparat penegak hukum, melainkan mekanisme kontrol sosial. Sejarah Indonesia menunjukkan, gerakan sipil sering menjadi motor moral yang memaksa negara menjalankan fungsi hukumnya. Sumut, dengan tradisi aktivisme mahasiswanya, tentu punya energi untuk itu.
Diamnya Muryanto Amin, dalam perspektif publik, bisa di baca sebagai strategi politik, bisa juga sebagai kelemahan moral. Namun yang pasti, ia gagal menjelaskan kepada masyarakat bahwa universitas masih berpihak pada nilai-nilai kebenaran dan menjunjung tinggi etika dan moral. Keheningan itu bukan hanya persoalan pribadi, melainkan aib institusional.
Bobby Nasution, yang namanya kerap disebut dalam spektrum persepsi publik, memang belum tentu terkait langsung dengan kasus Topan Ginting. Tetapi dalam logika publik, kedekatan sosial-politik sudah cukup untuk menimbulkan kecurigaan. Dan kecurigaan, jika tidak dijawab dengan transparansi, akan berubah menjadi kebenaran sosial.
Inilah risiko besar ketika universitas terjerat lingkar oligarki. Ia kehilangan wajah etika dan moralnya dan berubah menjadi bagian dari jaringan rente yang koruptif. Di titik ini, Sumut seolah sedang menyaksikan runtuhnya benteng pengetahuan, etika dan moral akibat kompromi dengan politik kotor.
Diamnya Muryanto Amin bukan lagi sekadar sikap individu. Ia telah menjadi simbol krisis integritas akademik di Sumut. Dan selama mulut rektor terkunci, publik akan terus menyusun tafsir liar: bahwa lingkar kuasa korupsi tak berhenti pada Topan Ginting, melainkan menembus hingga ke jantung kekuasaan lokal.
Demikian.
Penulis Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH, adalah Praktisi Hukum, Alumni Fakultas Hukum USU Stambuk' 92 Dan Ketua Forum Penyelamat USU.
Posting Komentar
0Komentar