Baraktime.com|Medan
Lembaga Bantuan Hukum Korps Alumni HMI (LBH KAHMI) Sumut mendesak Polda Sumut segera membebaskan 39 mahasiswa yang ditangkap saat aksi menolak tunjangan mewah anggota DPR RI di Gedung DPRD Sumut, Medan, selasa (26/8). Penangkapan tersebut dinilai sewenang-wenang, melanggar konstitusi, dan mencederai prinsip demokrasi.
“Penahanan terhadap 39 massa aksi adalah bentuk penyalahgunaan kewenangan aparat. Mereka harus segera dibebaskan,” tegas Advokat LBH KAHMI Sumut, M. Taufik Umar Dani Harahap, Kamis (28/8).
Menurut Taufik, aparat kepolisian tidak hanya melakukan penangkapan, tetapi juga tindak kekerasan. Pemukulan, penginjakan wajah, serta perlakuan kasar lainnya disebut sebagai praktik penyiksaan yang tidak manusiawi. “Berdemonstrasi adalah hak konstitusional yang dijamin undang-undang. Kekerasan aparat hanya menunjukkan arogansi kekuasaan,” ujarnya yang juga menjabat Wakil Sekretaris Bidang Hukum dan HAM MW KAHMI Sumut.
Lebih jauh, Taufik menegaskan bahwa hak menyampaikan pendapat dijamin dalam berbagai instrumen hukum nasional dan internasional. Konstitusi Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 menegaskan kebebasan berserikat, berkumpul, dan berpendapat. Jaminan itu dipertegas dalam UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, serta UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Bahkan, ICCPR yang telah diratifikasi melalui UU No. 12 Tahun 2005 juga menegaskan hak serupa.
“Kekerasan terhadap demonstran bukan sekadar pelanggaran hukum, tetapi juga pengkhianatan terhadap demokrasi. Negara wajib menghormati, melindungi, dan memenuhi hak warga negara, bukan justru mengkriminalisasi dan menindas mereka,” lanjut Taufik.
LBH KAHMI Sumut juga mengungkap adanya penghalangan pendampingan hukum bagi para mahasiswa. Setelah dibawa ke Direktorat Kriminal Umum Polda Sumut, upaya LBH KAHMI bersama KontraS Sumut untuk memberi bantuan hukum dihambat dengan alasan administratif. “Itu jelas abuse of power. KUHAP secara eksplisit menjamin hak setiap warga negara untuk didampingi penasihat hukum,” tegasnya.
Penanganan aparat, lanjutnya, juga berpotensi melanggar Perkap No. 8/2009 tentang Prinsip HAM dalam Tugas Kepolisian dan Perkap No. 7/2012 tentang Pengamanan Aksi Unjuk Rasa. Fakta bahwa aparat menggunakan senjata laras panjang untuk membubarkan massa semakin mempertegas dugaan adanya pelanggaran serius.
Aksi mahasiswa itu sendiri berawal dari tuntutan pembatalan fasilitas mewah DPR RI di tengah krisis ekonomi yang menekan rakyat. “Ini penghinaan terhadap penderitaan rakyat,” teriak salah seorang orator di lokasi. Namun, aspirasi tersebut justru dijawab dengan represi. Mahasiswa dipukul, ditendang, dan diusir dengan kekerasan. Bentrokan pun terjadi, menimbulkan korban di kedua belah pihak, termasuk wartawan yang tengah bertugas.
Polda Sumut berdalih bahwa tindakan represif itu dilakukan untuk melindungi fasilitas negara. Namun, cara yang ditempuh justru memperkuat kritik bahwa kepolisian kian menjauh dari prinsip demokrasi. Alih-alih menjadi pengayom, aparat tampil sebagai kekuatan represif yang menakutkan.
LBH KAHMI Sumut menegaskan, kasus ini adalah cermin darurat reformasi kepolisian. “Demokrasi hanya akan bertahan bila suara rakyat dihormati, bukan dibungkam dengan pentungan. Negara yang membiarkan aparat menindas rakyatnya sedang menggali kubur bagi legitimasi kekuasaan itu sendiri,” pungkas Taufik.
Atas peristiwa ini, LBH KAHMI Sumut mendesak aparat penegak hukum untuk:
1. Menghentikan segala bentuk kekerasan dan intimidasi terhadap demonstran.
2. Menjamin kebebasan berekspresi sesuai konstitusi dan hukum yang berlaku.
3. Memproses secara hukum dan transparan aparat yang terbukti melakukan pelanggaran.
4. Memberikan perlindungan dan pemulihan bagi korban kekerasan.
5. Membebaskan aktivis yang ditangkap dan dikriminalisasi oleh Polda Sumut.
Demikian atas perhatian diucapkan terimakasih (TUD).
Posting Komentar
0Komentar