Pendahuluan
Langkah Presiden Prabowo Subianto dalam memberikan amnesti kepada Hasto Kristiyanto dan abolisi kepada Thomas Lembong (Tom Lembong) menandai babak penting dalam relasi antara hukum, kekuasaan, dan moralitas publik. Ini bukan sekadar kebijakan administratif, melainkan koreksi konstitusional terhadap praktik penegakan hukum yang selama ini kerap tersandera oleh politik balas dendam dan keberpihakan institusional. Ketika banyak pemimpin memilih diam atau kompromi, Prabowo mengambil risiko dengan menabrak arus politik dominan.
Dalam konteks demokrasi Indonesia yang belum sepenuhnya matang, keberanian seperti ini jarang muncul. Hukum masih sering dijadikan alat selektif untuk mengamankan kekuasaan, bukan menjamin keadilan. Di sinilah makna kebijakan Prabowo menjadi relevan: memutus siklus pembusukan hukum melalui intervensi yang sah secara konstitusional namun tinggi secara moral. Ia menunjukkan bahwa kekuasaan tidak identik dengan pembalasan, melainkan dengan pemulihan.
Amnesti dan abolisi, meski berbeda dalam substansi, menyatu dalam pesan yang sama: negara harus hadir bukan sebagai algojo, tetapi sebagai penegak keadilan substantif. Kasus Hasto dan Tom Lembong adalah dua wajah dari praktik hukum yang kehilangan orientasi etisnya. Yang satu dihukum karena dinamika politik, yang lain diproses tanpa niat jahat yang jelas. Di hadapan publik, keduanya menjadi simbol betapa hukum kita masih gamang dalam membedakan keadilan dari kekuasaan.
Lebih jauh, keputusan ini membuka perdebatan publik yang penting: apakah kita masih ingin membiarkan hukum dijalankan berdasarkan narasi formalistik yang kering, atau mendorong negara untuk menegakkan hukum dengan keberanian, empati, dan kecerdasan konstitusional? Presiden Prabowo, setidaknya untuk kali ini, memilih yang kedua—dan langkah itu layak diapresiasi sebagai upaya membangun fondasi baru bagi keadilan di Indonesia.
Politik Tanpa Kebencian Dan Dendam
Pemberian amnesti kepada Hasto Kristiyanto, tokoh sentral PDI Perjuangan, bukan sekadar keputusan hukum, melainkan pernyataan politik yang kuat: bahwa negara tidak boleh tunduk pada logika balas dendam. Dalam atmosfer politik yang penuh ketegangan pasca-pemilu, langkah ini menjadi titik terang menuju rekonsiliasi berbasis keadilan. Publik pun telah lama menilai bahwa kasus Hasto lebih berbau kepentingan politik ketimbang keadilan hukum murni.
Keputusan ini menandai upaya koreksi terhadap proses hukum yang dianggap menyimpang. Meski vonis pengadilan telah dijatuhkan, banyak pihak sejak awal mempertanyakan integritas dan independensi prosesnya. Dalam konteks itu, amnesti bukan bentuk impunitas, melainkan mekanisme konstitusional untuk memulihkan keadilan yang tercederai oleh prosedur yang tidak netral. Presiden Prabowo, dengan kebijakan ini, sedang mengembalikan kepercayaan terhadap hukum sebagai instrumen moral, bukan alat kekuasaan.
Pasal 14 UUD 1945 secara tegas memberi Presiden hak untuk memberikan amnesti dan abolisi. Namun realitas politik menunjukkan tidak semua kepala negara berani menggunakan hak itu secara progresif. Prabowo melangkah keluar dari kebiasaan—mengambil risiko politik demi prinsip yang lebih tinggi. Ia menunjukkan bahwa keberanian moral seorang pemimpin tidak diukur dari keberpihakan terhadap kelompok, melainkan kesetiaan pada keadilan sebagai asas tertinggi dalam bernegara.
Di tengah praktik hukum yang kerap diselewengkan untuk menghantam lawan politik, langkah ini menjadi koreksi penting terhadap selective justice yang telah menjadi luka kronis dalam demokrasi kita. Dengan amnesti ini, Prabowo mengirimkan sinyal bahwa kekuasaan tidak boleh digunakan untuk memenjarakan perbedaan. Justru kekuasaan sejati adalah kekuatan untuk menyatukan bangsa melalui jalan yang adil dan konstitusional.
Lebih dari itu, kebijakan ini membuka ruang baru bagi konsolidasi demokrasi yang sehat. Ia menandai akhir dari politik dendam yang melelahkan, dan awal dari politik kenegarawanan yang matang. Prabowo sedang membangun narasi bahwa dalam republik ini, tidak ada musuh abadi—yang ada adalah kepentingan rakyat yang harus terus diperjuangkan, bersama, melampaui sekat partai dan perbedaan ideologis.
Abolisi Sebagai Koreksi Negara
Berbeda dari Hasto, Tom Lembong berada dalam situasi hukum yang bahkan lebih absurd. Tidak adanya mens rea (niat jahat) membuat proses hukum terhadapnya seolah hanya menjadi alat kriminalisasi berbalut legalitas. Black’s Law Dictionary dengan jelas menyebut “mens rea” sebagai fondasi utama dalam penetapan kesalahan pidana. Tanpa itu, hukum kehilangan basis moralnya.
Pemberian abolisi—yang menghentikan proses hukum sejak awal—merupakan langkah berani dan jarang digunakan. Tetapi justru karena itulah, nilai moral dan bobot konstitusionalnya menjadi tinggi. Presiden tidak sedang mengintervensi hukum, melainkan menyelamatkan marwahnya.
Keadilan Tidak Boleh Selektif
Keputusan Presiden Prabowo dalam memberikan amnesti dan abolisi mencerminkan keberpihakan pada prinsip etik dalam hukum. Langkah ini tidak lahir dari ruang hampa, melainkan dari tekanan panjang masyarakat sipil, akademisi, dan kelompok pro-demokrasi yang terus menyuarakan pentingnya membebaskan hukum dari kungkungan kepentingan kekuasaan. Ketika banyak pemimpin menutup telinga, Prabowo memilih untuk mendengar dan bertindak.
Selama satu dekade terakhir, Indonesia hidup dalam bayang-bayang praktik selective justice. Hukum kerap berwajah ganda—tumpul terhadap kekuasaan dan kroninya, tetapi tajam terhadap oposisi. Di bawah pemerintahan sebelumnya, organisasi yang kritis kerap dibubarkan tanpa proses hukum, sementara lawan politik dicurigai, dipidanakan, bahkan disingkirkan secara sistematis. Demokrasi prosedural tetap berjalan, tetapi keadilan substantif dikorbankan demi stabilitas semu.
Dengan mengambil langkah korektif melalui amnesti dan abolisi, Prabowo sedang membalikkan arus. Ia menyampaikan pesan penting bahwa negara tidak boleh memperlakukan warganya sebagai objek represi, terutama mereka yang berbeda pandangan. Dalam negara hukum yang sehat, perbedaan pendapat bukan alasan untuk ditindas, melainkan bagian sah dari kehidupan demokratis yang wajib dilindungi oleh konstitusi.
Lebih dari sekadar kebijakan hukum, ini adalah sinyal politik: bahwa masa depan hukum Indonesia tidak boleh lagi dijalankan secara diskriminatif. Keadilan tidak mengenal warna politik, latar organisasi, atau loyalitas kekuasaan. Inilah prinsip yang harus terus dijaga jika kita ingin keluar dari bayang-bayang masa lalu dan membangun sistem hukum yang benar-benar melayani rakyat.
Sinyal Rekonsiliasi Nasional
Langkah Presiden Prabowo dalam memberikan amnesti dan abolisi bukan hanya tindakan hukum, tetapi isyarat politik yang dalam. Instruksi Megawati Soekarnoputri kepada seluruh kader PDI Perjuangan untuk mendukung pemerintahan Prabowo menegaskan bahwa ini bukan sekadar perubahan sikap, melainkan awal dari rekonsiliasi nasional yang dirajut dengan dasar konstitusional, bukan atas nama kompromi politik transaksional.
Setelah lebih dari satu dekade politik identitas dan polarisasi tajam yang mencabik ruang publik, momentum ini memberi harapan baru. Rekonsiliasi yang dibangun di atas penghormatan terhadap konstitusi, hak sipil, dan keadilan substantif bisa menjadi fondasi kokoh untuk membangun demokrasi yang inklusif dan beradab. Apa yang ditunjukkan Prabowo dan Megawati adalah bahwa politik tidak selalu harus menjadi arena dendam, tetapi bisa menjadi ruang pemulihan bangsa.
Sinergi antara kekuasaan eksekutif dan kekuatan politik besar seperti PDIP berpotensi menciptakan stabilitas nasional yang selama ini dirindukan. Tapi stabilitas tidak boleh dibangun di atas pembungkaman kritik, melainkan melalui penguatan institusi, pengembalian marwah hukum, dan keterbukaan terhadap partisipasi publik. Dalam konteks ini, keputusan Prabowo bisa menjadi pintu masuk untuk menghidupkan kembali harapan rakyat terhadap negara.
Namun yang paling esensial, adalah bagaimana rekonsiliasi ini dikawal agar tidak berubah arah menjadi kooptasi atau dominasi sepihak. Demokrasi tidak boleh dikorbankan demi harmoni palsu. Rekonsiliasi sejati adalah ketika semua pihak—oposisi, masyarakat sipil, hingga minoritas—merasakan ruang yang setara di hadapan negara. Inilah tantangan terbesar ke depan: menjadikan sinyal politik ini sebagai fondasi rekonstruksi demokrasi yang substansial.
Risiko dan Keberanian Politik
Perlu ditegaskan, pemberian amnesti dan abolisi bukanlah kebijakan yang mudah, apalagi populer dalam iklim politik yang sarat prasangka. Namun justru di situlah letak keberanian politik Presiden Prabowo. Ia memilih langkah yang secara elektoral mungkin tidak menguntungkan, tetapi secara etis dan konstitusional sangat signifikan. Ini bukan kompromi, melainkan komitmen pada keadilan substantif yang melampaui kalkulasi kekuasaan jangka pendek.
Keputusan ini menegaskan bahwa pemimpin sejati bukan hanya mereka yang mengikuti selera publik, tetapi mereka yang berani membentuk opini publik atas dasar prinsip dan moralitas hukum. Ketika hukum telah menjadi instrumen pembungkaman, tindakan korektif melalui hak prerogatif konstitusional menjadi jalan yang sah dan berani untuk mengembalikan marwah keadilan. Prabowo, dalam konteks ini, sedang menunjukkan bahwa keberanian politik bukan tentang kerasnya retorika, melainkan keteguhan pada kebenaran.
Langkah ini juga memberi pesan yang menggema ke luar negeri. Dunia internasional, yang selama ini memandang Indonesia dengan skeptis dalam isu hak asasi manusia dan supremasi hukum, kini menyaksikan upaya konkret pemulihan keadilan melalui mekanisme konstitusional. Preseden ini menempatkan Indonesia dalam peta negara demokrasi yang mulai menjajaki penerapan prinsip keadilan restoratif, bukan hanya hukum retributif yang dingin dan kering.
Namun keberanian seperti ini menuntut konsistensi. Amnesti dan abolisi tidak boleh berhenti sebagai gestur politik simbolik. Ia harus menjadi pijakan awal menuju reformasi hukum yang lebih sistemik dan menyeluruh. Jika tidak, keberanian hari ini akan segera dibayangi oleh kekecewaan publik di hari esok. Di sinilah tantangan terbesar pemerintahan Prabowo: menjaga agar kebijakan progresif ini tidak dikooptasi oleh pragmatisme kekuasaan.
Penutup
Langkah Presiden Prabowo patut dicatat sebagai titik awal, bukan akhir. Ia membuka sebuah koridor baru dalam tata kelola negara hukum yang selama ini tersumbat oleh kepentingan politik jangka pendek. Namun jalan keadilan substantif tidak bisa hanya diserahkan kepada negara; ia menuntut partisipasi publik yang aktif dan berkelanjutan.
Kini tugas masyarakat sipil, aktivis hukum, dan para pemikir bangsa adalah memastikan jalur ini tidak dibelokkan ke arah pragmatisme kekuasaan. Sebab sejarah telah mencatat: banyak keputusan progresif akhirnya dikompromikan oleh politik transaksional yang membajak semangat awalnya.
Negara hukum sejati adalah negara yang memihak kepada keadilan, bukan kepada kekuasaan. Dan dalam dunia yang makin bising oleh populisme dan kebohongan, keberanian moral seperti ini layak dicatat sebagai salah satu momen penting dalam sejarah republik.
Demikian.
Penulis Advokat. M.Taufik Umar Dani Harahap,SH.
Praktisi Hukum, Aktivis Musyawarah Rakyat Banyak, Anggota Badan Perkumpulan KontraS Sumut dan Wakil Sekretaris Bidang Hukum Dan HAM MW KAHMI Sumut.
______________
Daftar Pustaka
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Amandemen keempat.
> Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Amandemen keempat.
Black, Henry Campbell. Black’s Law Dictionary. 11th ed. St. Paul, MN: Thomson Reuters, 2019.
Bivitri Susanti. Hukum dan Kekuasaan: Praktik Konstitusional dalam Demokrasi. Jakarta: Epistema Institute, 2020.
Departemen Hukum dan HAM Republik Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jakarta: Sekretariat Negara, 2020.
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Putusan MK No. 6/PUU-V/2007 tentang Kewenangan Presiden dalam Memberikan Amnesti dan Abolisi. Jakarta: MKRI, 2007.
Prabowo Beri Abolisi Ke Tom Lembong Dan Amnesti Untuk Hasto,https://news.detik.com/berita/d-8039289/prabowo-beri-abolisi-ke-tom-lembong-dan-amnesti-untuk-hasto
Prasetyo, Andi. “Megawati Instruksikan Kader PDIP Dukung Pemerintahan Prabowo.” Tirto.id, 26 Juli 2025.,https://tirto.id/megawati-instruksikan-kader-pdip-dukung-pemerintahan-prabowo-hfbh.
Posting Komentar
0Komentar