Pendahuluan
Konflik agraria di Indonesia bukan sekadar soal sengketa lahan, tetapi juga krisis tafsir terhadap konstitusi dan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960. Dari Pulau Rempang hingga tanah ulayat di Sumatera Utara, negara tampak lebih sering bertindak layaknya pemilik mutlak tanah daripada pengelola yang mengemban amanah rakyat. Padahal, filosofi dasar UUPA membedakan secara tegas antara “menguasai” dan “memiliki” — dua konsep yang implikasinya berlawanan arah terhadap nasib jutaan rakyat kecil yang hidup bergantung pada tanah.
Gunawan Wiradi, tokoh terkemuka Reforma Agraria, mengingatkan bahwa UUPA 1960 lahir sebagai koreksi historis terhadap sistem pertanahan kolonial yang menjadikan tanah semata komoditas. “Menguasai” dalam UUPA, tegasnya, berarti negara berperan sebagai trustee—pengelola yang bertanggung jawab menjaga keberlanjutan tanah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Ini adalah mandat konstitusional yang seharusnya menempatkan kepentingan publik di atas kepentingan modal.
Namun, praktik yang berkembang justru mengaburkan makna tersebut. Kebijakan perpanjangan Hak Guna Usaha (HGU) untuk korporasi besar, sering kali tanpa konsultasi publik, telah menjadikan negara seperti landlord raksasa yang melepas aset tanah kepada segelintir pihak. Hasilnya, bukan hanya ketimpangan penguasaan lahan yang kian menganga, tetapi juga lahirnya gelombang konflik agraria baru yang menggerus legitimasi negara sebagai pengemban amanah UUPA. Jika tafsir “menguasai” terus dipelintir menjadi “memiliki”, maka cita-cita keadilan agraria akan terkubur di bawah tumpukan sertifikat konsesi.
Kekeliruan Tafsir dan Praktik HGU
Prof. Dr. A.P. Parlindungan, SH, sejak lama mengingatkan bahwa Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Pengelolaan (HPL) bukanlah hak milik. Dalam konstruksi hukum pertanahan Indonesia, HGU hanyalah izin terbatas waktu untuk mengelola tanah negara, dengan kewajiban sosial yang melekat. Namun, praktik yang berkembang justru mengubah HGU menjadi hak kepemilikan terselubung—memberi keleluasaan korporasi memperpanjang dan mengalihkan konsesi tanpa proses transparan dan tanpa konsultasi dengan masyarakat terdampak.
Pasal 33 UUD 1945 dan Pasal 2 UUPA menegaskan bahwa negara memegang hak menguasai atas tanah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Namun, tafsir ini dibelokkan oleh kebijakan yang memanjakan korporasi, di mana negara berperan bak broker tanah yang memfasilitasi transaksi aset publik kepada pemilik modal. Gejala ini tidak sekadar penyimpangan teknis, melainkan bentuk state capitalism—kapitalisme negara—yang menggabungkan otoritas politik dengan kepentingan ekonomi elite.
Data Kementerian ATR/BPN tahun 2023 menunjukkan fakta yang mengkhawatirkan: lebih dari 55% tanah ber-HGU di Indonesia dikuasai hanya oleh segelintir korporasi besar. Angka ini mencerminkan konsentrasi penguasaan lahan yang ekstrem, sementara di sisi lain jutaan petani gurem berjuang mengelola lahan kurang dari setengah hektar. Ironinya, ketimpangan ini justru dilegitimasi oleh kebijakan resmi negara melalui perpanjangan izin tanpa audit manfaat sosial dan lingkungan.
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat sedikitnya 212 kasus baru konflik agraria pada 2023, mayoritas terkait perpanjangan HGU di atas tanah yang diklaim masyarakat adat, petani, dan nelayan. Setiap perpanjangan tanpa partisipasi publik bukan sekadar pelanggaran prosedural, tetapi juga pengkhianatan terhadap prinsip UUPA yang menempatkan rakyat sebagai penerima manfaat utama. Di sinilah letak masalahnya: negara mengabaikan fungsi sosial tanah, dan membiarkan hukum berubah menjadi instrumen akumulasi kekayaan segelintir pihak.
Jika kecenderungan ini dibiarkan, maka UUPA akan kehilangan ruhnya. “Menguasai” akan terus dipahami sebagai “memiliki” dalam arti absolut, memberi justifikasi bagi monopoli lahan. Padahal, seperti ditekankan Parlindungan, negara seharusnya menjadi penjaga keseimbangan antara kepentingan publik, keberlanjutan lingkungan, dan kebutuhan ekonomi, bukan sekadar fasilitator investasi. Koreksi terhadap kekeliruan tafsir ini mendesak dilakukan, atau keadilan agraria hanya akan tinggal retorika di lembaran undang-undang.
Dari Hukum Hidup ke Hukum Mati
Gunawan Wiradi menyebut UUPA 1960 sebagai “hukum hidup” karena ia berakar pada nilai-nilai hukum adat yang menghormati hak ulayat, keberlanjutan lingkungan, dan keseimbangan sosial. UUPA dirancang bukan hanya sebagai instrumen hukum positif, tetapi juga sebagai jembatan antara norma adat dan kepastian hukum negara. Di sini, tanah dipandang bukan sekadar objek ekonomi, melainkan ruang hidup yang memuat dimensi historis, kultural, dan spiritual masyarakat.
Namun, dalam perjalanan enam dekade terakhir, semangat ini makin terkikis. Regulasi turunan yang direvisi atau dibuat baru cenderung menempatkan “kepastian investasi” sebagai mantra utama, bahkan jika itu berarti mengorbankan prinsip keberlanjutan sosial. Alih-alih memaknai “menguasai” sebagai amanah publik, negara justru mengadopsi tafsir transaksional yang membuka ruang lebar bagi privatisasi aset tanah negara melalui skema konsesi jangka panjang.
Cara pandang Prof. Dr. A.P. Parlindungan, SH, dalam melihat problem ini sebagai kegagalan konseptual. Ia mengkritik penerapan lex specialis seperti Peraturan Pemerintah tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum yang sering berubah fungsi menjadi alat legitimasi penggusuran. Dengan dalih pembangunan, tanah-tanah rakyat dialihkan secara paksa, sementara mekanisme kompensasi lebih berorientasi pada formalitas administrasi daripada keadilan substantif.
Konsep “menguasai” pun terdegradasi menjadi “memiliki” secara de facto. Negara, yang seharusnya menjadi pengelola amanah publik, berubah peran menjadi landlord raksasa yang memonopoli tanah untuk kemudian melepasnya ke sektor swasta. Pola ini bukan saja menciptakan ketimpangan penguasaan lahan yang akut, tetapi juga menimbulkan alienasi masyarakat dari tanah yang secara historis dan kultural menjadi bagian dari identitas mereka.
Jika transformasi “hukum hidup” menjadi “hukum mati” ini terus berlanjut, maka UUPA hanya akan tinggal simbol di atas kertas. Keberadaan pasal-pasal progresifnya tak lagi bermakna ketika tafsirnya dikendalikan oleh kepentingan modal. Keadilan agraria yang pernah menjadi cita-cita pendiri republik akan bergeser menjadi sekadar jargon, sementara rakyat kecil kehilangan haknya bukan karena hukum tak ada, tetapi karena hukum dipelintir untuk mengabdi pada logika pasar.
.
Kembali Ke Jalan UUPA No. 5 Tahun 1960
Pemulihan mandat konstitusional dalam pengelolaan tanah menuntut langkah yang tegas, bukan sekadar retorika politik. Moratorium perpanjangan Hak Guna Usaha (HGU) di atas tanah yang bermasalah atau tidak produktif harus menjadi prioritas. Langkah ini bukan anti-investasi, melainkan memastikan bahwa hak menguasai negara tidak disalahgunakan untuk memperpanjang monopoli lahan yang merugikan rakyat. Tanpa moratorium, ketimpangan struktural akan terus memburuk, dan konflik agraria akan menjadi warisan permanen bagi generasi mendatang.
Inventarisasi tanah terlantar adalah tahap krusial berikutnya. Data Kementerian ATR/BPN menunjukkan ribuan hektar lahan HGU dibiarkan terbengkalai atau berubah fungsi tanpa izin. Redistribusi tanah-tanah ini kepada petani kecil, masyarakat adat, dan warga miskin kota akan menjadi implementasi nyata dari Pasal 33 UUD 1945. Tanah yang produktif di tangan rakyat bukan hanya mengurangi ketimpangan, tetapi juga memperkuat kedaulatan pangan nasional.
Penguatan peran hak ulayat sebagai sumber hukum positif juga tidak bisa ditunda. Hak ulayat bukan sekadar warisan budaya, tetapi sistem hukum yang hidup dan diakui oleh UUPA. Menempatkan hak ulayat setara dengan hukum negara berarti mengakui kedaulatan komunitas adat atas ruang hidup mereka. Tanpa itu, negara hanya melestarikan relasi kolonial dalam wajah baru, di mana otoritas pusat mengabaikan kearifan lokal demi kepentingan modal.
Transparansi data pertanahan adalah fondasi pengawasan publik. Selama peta penguasaan tanah hanya tersimpan di lemari birokrasi dan tidak dapat diakses publik, monopoli lahan akan terus bersembunyi di balik dokumen resmi. Membuka data berarti memberi rakyat alat untuk mengontrol negara, sekaligus menutup ruang bagi praktik land banking oleh korporasi yang mencari keuntungan dari spekulasi tanah.
UUPA 1960 telah memberi kerangka hukum yang ideal—memadukan nilai adat, prinsip keadilan sosial, dan mandat konstitusi. Yang absen bukanlah aturan, melainkan kemauan politik untuk menaatinya. Mengembalikan makna “menguasai” sebagai amanah publik adalah ujian keberpihakan negara. Gagal dalam ujian ini berarti membiarkan tanah menjadi sekadar instrumen akumulasi kapital, dan keadilan agraria akan selamanya tinggal di dalam teks undang-undang, bukan di bumi tempat rakyat berpijak.
Penutup
Negara harus kembali ke hakikat UUPA No. 5 Tahun 1960: tanah adalah ruang hidup rakyat, bukan komoditas untuk diperjualbelikan. Makna “menguasai” yang diamanatkan konstitusi adalah tugas menjaga, mengatur, dan memastikan setiap jengkal tanah memberi kemakmuran dan kesejahteraan sebesar-besarnya bagi seluruh rakyat Indonesia. Ketika tafsir ini bergeser menjadi hak prerogatif untuk melepas tanah kepada pemilik modal, maka Pasal 33 UUD 1945 dan UUPA No.5 Tahun 1960 berubah menjadi teks kosong—dan rakyat kehilangan pijakan di tanahnya sendiri.
Kita tidak boleh membiarkan hukum agraria kita kembali ke pola kolonial. Agrarische Wet 1870 menjadikan negara sebagai pemilik tanah dan memberi hak kepemilikan luas kepada perusahaan asing dan pemodal besar, meminggirkan rakyat dari tanah yang mereka garap turun-temurun. Indonesia merdeka drngan konstitusinya pasal 33 UUD 1945 dan UUPA No 5 Tahun 1960 seharusnya menjadi antitesis dari sistem itu: tanah adalah milik rakyat Indonesia, dikuasai negara sebagai pengemban amanah, mengatur, dikelola dan diperuntukan pada kemakmuran sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat Indonesia, bukan untuk akumulasi segelintir orang.
Sangatlah disayangkan dimana mendekati 80 tahun Indonesia merdeka cara berpikir aparatus negara masih pada konsep negara sebagai pemilik tanah, ini menunjukan republik ini merdeka pada tuanya umur namun praktik bernegara masih cara memakai pola penjajah dan bergaya feodal alias tuan tanah.
Begitupun eforma agraria sejati hanya dapat berjalan jika negara meninggalkan logika landlord dan kembali ke mandat konstitusionalnya. pasal 33 UUD 1945 yang pertegas dalam UUPA No . 5 Tahun 1960 bukan sekadar undang-undang, tetapi kontrak sosial antara negara dan rakyat. Mengkhianati makna “menguasai” sama artinya dengan mengkhianati kemerdekaan itu sendiri. Dalam hal ini, pilihan yang dihadapi negara sederhana: menjadi pengatur, pengelolaan dan pendistribusian tanah untuk rakyat, dan bukan menjadi pemilik tanah apalagi agen korporasi.
Demikian
Penulis:
Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH,
Praktisi Hukum, Mantan Tenaga Ahli Komisi II DPR RI, Aktivis Musyawarah Rakyat Banyak, Anggota Badan Perkumpulan KontraS Sumut, dan Wakil Sekretaris Bidang Hukum dan HAM MW KAHMI Sumut.
_____________
Daftar Pustaka
Gunawan Wiradi. Reforma Agraria: Perjalanan yang Belum Berakhir. Jakarta: Insist Press, 2009.
Parlindungan, A.P. Komentar atas Undang-Undang Pokok Agraria. Bandung: Alumni, 1994.
Republik Indonesia.Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.berbunyi, Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. .
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104.
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional. Statistik Pertanahan Tahun 2023. Jakarta: Kementerian ATR/BPN, 2023.
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). Catatan Akhir Tahun KPA 2023: Reforma Agraria di Persimpangan Jalan. Jakarta: KPA, 2023.
Posting Komentar
0Komentar