Menjelang 80 Tahun Kemerdekaan RI: Rakyat Diam Asetnya Disita Negara, Rakyat Bergerak Dipalak Negara

Media Barak Time.com
By -
0

 



Delapan dekade setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, bangsa ini masih bergelut dengan ironi sosial dan ketimpangan struktural. Negara yang konon merdeka atas nama rakyat, kini semakin menjauh dari makna sejatinya: kedaulatan di tangan rakyat. Rakyat kecil yang diam dan patuh, justru disita tanahnya. Sementara yang bergerak menuntut keadilan, dipalak dengan pajak, retribusi, dan pungutan yang membebani. Ini bukan negara hukum yang adil, melainkan negara pemalak.


Di desa-desa, jutaan petani tak punya sertifikat. Lahan yang mereka kelola puluhan tahun kini disita atas nama HGU, PSN, atau proyek strategis yang tak pernah mereka pahami. Di kota-kota, rakyat kecil yang mencari nafkah dari kaki lima, justru ditertibkan, digusur, tanpa solusi. Semua atas nama "aturan". Tapi mengapa aturan selalu tajam ke bawah dan tumpul ke atas?


Bukan hal asing lagi ketika masyarakat adat yang hidup secara turun-temurun di wilayah ulayatnya justru dituduh menyerobot tanah negara. Di Sumatera Utara, Papua, hingga Kalimantan, ribuan hektare tanah ulayat disulap menjadi kawasan industri, tambang, atau pariwisata elit. Di atas nama investasi, tanah rakyat dihilangkan dari peta.


Sementara itu, negara begitu sigap menagih utang rakyat lewat pajak, iuran, denda, dan pungutan lainnya. Petani yang menjual hasil buminya dikenai retribusi. Pedagang pasar dikejar pungutan. Warteg ditagih PBB. Bahkan bantuan sosial pun dikenai potongan. Ini bukan pelayanan publik, ini pemalakan legalistik.


Kita menghadapi realitas ironis: rakyat yang diam tak melawan kehilangan haknya. Tapi ketika rakyat bersuara dan bergerak, justru dituduh radikal, makar, bahkan terorisme. Perlawanan dianggap kejahatan. Padahal diam tak menyelamatkan apa-apa. Negara mencaplok di kala sunyi, dan menindas di kala gaduh.


Penegakan hukum hanya berpihak pada pemodal dan penguasa. Ketika korporasi besar melanggar lingkungan, negara kompromi. Tapi ketika rakyat menanam pohon di tanah sengketa, ia dipenjara. Lembaga peradilan hanya menjadi tempat formalitas, bukan arena keadilan. Hakim tunduk pada teks, bukan nurani.


Rakyat yang membangun rumah di tanah warisan tanpa sertifikat disebut ilegal. Tapi pengembang besar yang mencaplok kawasan hutan dilindungi. Rakyat disebut melanggar aturan, sementara oligarki menciptakan aturan sendiri lewat kekuasaan. Hukum dibuat bukan untuk melindungi yang lemah, tapi mengamankan yang kuat.


Jika keadilan hanya tersedia bagi yang mampu membayar, dan hukum hanyalah legitimasi kekuasaan, maka negara telah berubah bentuk. Ia bukan lagi alat rakyat, tapi instrumen tirani. Negara tidak netral. Ia berpihak. Dan sayangnya, keberpihakan itu bukan kepada rakyat, tapi kepada modal dan birokrasi predatoris.


Pemerintah kerap berdalih bahwa semua dilakukan demi pembangunan. Tapi pembangunan untuk siapa? Jalan tol dibangun, tapi sawah dirampas. Bendungan dibangun, tapi kampung ditenggelamkan. Pariwisata elit digenjot, tapi rakyat terusir. Pembangunan tanpa keadilan hanya menghasilkan luka.


Kita menyaksikan bahwa kedaulatan ekonomi rakyat telah disubordinasikan oleh akumulasi modal. Negara membanggakan pertumbuhan ekonomi, tapi lupa menjelaskan bahwa yang tumbuh hanya untuk 1 persen penduduk. Sisanya, 99 persen rakyat ditinggalkan dalam statistik kemiskinan dan utang rumah tangga.


Dalam sejarah panjang negeri ini, rakyat selalu menjadi korban narasi besar negara. Di zaman Orde Lama: revolusi. Di Orde Baru: stabilitas. Di reformasi: demokrasi. Tapi substansinya sama: rakyat selalu dikorbankan demi kekuasaan. Kini di era digital, narasi itu berubah jadi: pembangunan berkelanjutan. Tapi rakyat tetap jadi objek, bukan subjek.


Ketika rakyat meminta hak atas tanah, negara menyuruh mengurus sertifikat. Ketika rakyat ingin usaha, negara menyuruh izin berlapis-lapis. Ketika rakyat menuntut pendidikan, kesehatan, dan keadilan, negara jawab: anggaran terbatas. Tapi ketika oligarki minta insentif, negara gelontorkan triliunan rupiah. Ini bukan ketimpangan biasa, ini bentuk perampasan terstruktur.


Menjelang 80 tahun kemerdekaan, kita harus bertanya: merdekakah kita dari ketakutan terhadap negara? Masihkah rakyat percaya bahwa aparat negara melindungi, bukan menindas? Masihkah konstitusi dijalankan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia?



Rakyat yang terus menerus disita haknya, tapi dipaksa membayar kewajiban, akan sampai pada satu titik: frustrasi sosial. Ketika negara abai, maka perlawanan menjadi keniscayaan. Ketika hukum tak lagi adil, maka keadilan akan dicari lewat jalan lain. Dan itulah yang sedang terjadi hari ini, dari konflik agraria hingga ledakan protes sosial.


Negara tak boleh menganggap kesabaran rakyat sebagai kelemahan. Rakyat yang diam bukan berarti tak sadar. Dan rakyat yang bergerak bukan berarti makar. Negara harus kembali pada peran konstitusionalnya: melindungi segenap bangsa Indonesia, bukan sekelompok elite.


Kita butuh keberanian untuk meninjau ulang seluruh struktur kekuasaan yang timpang. Dari birokrasi yang korup, kebijakan yang diskriminatif, hingga aparat penegak hukum yang hanya tunduk pada kekuasaan, bukan kebenaran. Tanpa koreksi mendasar, negara akan kehilangan legitimasi.


Menjelang 80 tahun kemerdekaan, kita tidak butuh sekadar seremoni dan kembang api. Kita butuh negara yang hadir untuk rakyat. Negara yang bukan hanya pandai menagih, tapi juga adil dalam memberi. Negara yang tak hanya kuat menindas, tapi juga tulus melindungi. Sebab jika negara terus menjadi pemalak atas nama hukum, maka rakyat akan menulis sejarahnya sendiri—tanpa negara.


Menjelang delapan dekade Indonesia merdeka, publik layak bertanya: untuk siapa sebenarnya negara ini dibangun? Uni Soviet, yang digadang sebagai kekuatan dunia, bubar sebelum genap 80 tahun karena rakyatnya miskin dan elitnya korup. Indonesia, yang tak kalah megah dalam narasi pembangunan dan nasionalisme, justru memperlihatkan gejala serupa: kekayaan alam dikeruk habis-habisan, namun rakyat tetap terjebak dalam kemiskinan struktural, beban pajak yang menyesakkan, dan pemerintahan yang dikelilingi oleh praktik korupsi dari pusat hingga daerah. Ironi ini tak bisa terus dianggap wajar.


Puncaknya, pada tahun 2024, Presiden Joko Widodo disebut oleh OCCRP sebagai salah satu pemimpin paling korup karena membiarkan konflik kepentingan dan praktik politik dinasti. Tuduhan ini bukan sekadar skandal personal, tetapi cerminan dari bobroknya tata kelola negara. Ini bukan jalur cita-cita bernegara seperti digariskan dalam Pembukaan UUD 1945, melainkan bentuk pembodohan sistematis yang telah berlangsung hampir 80 tahun. Jika negara terus berjalan seperti ini, bukan tidak mungkin kita menyaksikan kegagalan sistemik yang akan membalik sejarah seperti yang pernah terjadi di belahan dunia lain.


Demikian.


Penulis Advokat. M.Taufik Umar Dani Harahap,SH.

Praktisi Hukum, Aktivis Musyawarah Rakyat Banyak, Anggota Badan Perkumpulan KontraS Sumut dan Wakil Sekretaris Bidang Hukum Dan HAM MW KAHMI Sumut.

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)