Memperingati 80 Kemerdekaan RI : USU Butuh Pemimpin Berkarakter Kuat, Bukan Sekadar Pejabat Akademik"

Media Barak Time.com
By -
0

 




Selayang Pandang


Dalam sejarah panjang Universitas Sumatera Utara (USU), reputasi akademik selalu menjadi kebanggaan utama. Namun, memasuki era persaingan global, universitas tidak cukup hanya dipimpin seorang profesor dengan sederet gelar akademik. Yang lebih mendesak adalah kehadiran pemimpin berkarakter kuat—seorang rektor yang tak hanya mumpuni secara intelektual, tetapi juga berintegritas, visioner, dan tahan uji menghadapi godaan kekuasaan.


Namun, krisis kepercayaan publik terhadap dunia pendidikan tinggi, termasuk USU, kian menguat. Sejumlah kasus yang menyeret nama rektor dan pejabat kampus membuktikan bahwa gelar akademik tinggi tidak otomatis berbanding lurus dengan moralitas. Pemimpin tanpa karakter menjadikan kampus sebagai panggung kekuasaan, bukan pusat pencarian kebenaran dan ilmu pengetahuan. Fenomena ini kini kembali menghantam USU.


Sorotan publik belakangan tertuju pada Rektor USU, Prof. Dr. Muryanto Amin. Deretan kontroversi menghiasi pemberitaan: kasus self-plagiarism, keterlibatan cawe-cawe politik dalam Pilpres dan Pilgubsu 2024, hingga temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebesar Rp28 miliar yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Lebih jauh, kebun sawit USU di Madinah dilaporkan merugi sejak 2012 hingga 2025, namun anehnya justru berhasil mendapatkan kredit Rp228 miliar dari Bank BNI dengan jaminan lahan sawit yang merugi. Dugaan “bancakan” proyek kolam retensi USU pun tak kalah ramai dipersoalkan publik.


Klimaksnya, pada Jumat, 15 Agustus 2025, Muryanto Amin dipanggil Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait operasi tangkap tangan (OTT) Topan Ginting, Kepala Dinas kesayangan Wali Kota Medan Bobby Nasution, dalam kasus proyek jalan di Sumatera Utara. Fakta ini kian menegaskan bahwa persoalan di USU tidak lagi sebatas akademik, melainkan telah menjalar ke ranah integritas dan moralitas. Universitas yang seharusnya menjadi benteng akal sehat bangsa justru terjerat praktik kekuasaan yang korosif.


Publik pantas bertanya: sampai kapan dunia pendidikan tinggi dibiarkan terjebak dalam kubangan penyimpangan yang merusak marwah akademik? USU tidak butuh pejabat yang lihai memainkan kekuasaan, melainkan seorang pemimpin berkarakter kuat yang menempatkan integritas di atas segala kepentingan. Tanpa itu, universitas hanya akan melahirkan ironi: lembaga yang berbicara tentang etika, tetapi abai menegakkannya di rumah sendiri.


Integritas dan Konsistensi: Fondasi yang Tak Bisa Ditawar


Rektor sebuah universitas bukan sekadar pejabat administratif yang menandatangani dokumen atau menghadiri seremoni akademik. Ia adalah simbol moral yang mencerminkan wajah institusi. Karena itu, integritas menjadi fondasi yang tidak bisa ditawar. Integritas bukan jargon kosong, melainkan komitmen nyata untuk menjaga kejujuran, transparansi, serta tidak menyalahgunakan jabatan demi kepentingan pribadi maupun kelompok. Tanpa integritas, universitas akan terjerumus menjadi ladang kepentingan yang menodai marwah akademik.


Fenomena di USU sebagaimana tergambar dalam berbagai kontroversi belakangan justru menunjukkan rapuhnya fondasi tersebut. Rektor yang seharusnya berdiri tegak sebagai penjaga integritas malah terseret dalam pusaran kepentingan politik, proyek bermasalah, dan dugaan penyalahgunaan keuangan. Dari kasus self-plagiarism, temuan BPK Rp28 miliar yang tak bisa dipertanggungjawabkan, hingga dugaan “bancakan” proyek kolam retensi, semua itu memperlihatkan lemahnya konsistensi kepemimpinan akademik.


Lemahnya integritas moral menandakan rapuhnya karakter kepemimpinan. Seorang rektor yang tidak konsisten antara ucapan dan tindakan, yang mudah terjebak kompromi transaksional, sejatinya telah gagal menjalankan mandat akademik. Alih-alih menjaga otonomi kampus, ia justru membiarkan intervensi eksternal merongrong independensi universitas. Dalam situasi ini, USU tidak lagi dipandang sebagai pusat keilmuan yang bermartabat, melainkan institusi yang dipertanyakan kredibilitasnya.


Universitas membutuhkan pemimpin yang berani menolak cawe-cawe politik, transparan dalam mengelola sumber daya, dan konsisten memegang teguh prinsip kejujuran. Sebab, hanya dengan integritas dan konsistensi, USU dapat kembali menegakkan wibawa akademiknya. Tanpa itu, universitas akan terus terseret dalam pusaran krisis kepercayaan publik yang makin dalam, dan kehilangan peran strategisnya sebagai benteng ilmu pengetahuan di Sumatera Utara.


Visi yang Jelas, Bukan Retorika Kosong


Universitas bukanlah perusahaan musiman yang mengejar keuntungan jangka pendek, melainkan institusi pengetahuan yang harus berpikir lintas generasi. Karena itu, visi seorang rektor harus jelas, terukur, dan berorientasi pada masa depan. Pemimpin yang hanya pandai berbicara dengan retorika indah tanpa arah strategis hanya akan menyeret kampus dalam stagnasi. Rektor berkarakter kuat harus mampu menjawab tantangan globalisasi pendidikan tinggi dengan langkah nyata, bukan sekadar pidato seremonial.


Sayangnya, banyak perguruan tinggi di Indonesia terjebak dalam jebakan “visi kertas”—dokumen rencana strategis yang gemerlap dalam bahasa, tetapi kosong dalam implementasi. USU, dengan segala potensi riset dan sumber daya akademiknya, membutuhkan visi konkret: internasionalisasi riset yang kompetitif, penguatan tata kelola yang transparan, serta keberpihakan nyata pada mahasiswa dan dosen sebagai pilar universitas. Tanpa itu, visi hanya menjadi poster di dinding kampus, kehilangan makna sebagai arah perubahan.


Visi yang jelas bukan hanya soal dokumen, tetapi tentang kemampuan pemimpin menginspirasi. Seorang rektor berkarakter kuat harus bisa mengomunikasikan cita-cita akademik dengan cara yang membangkitkan semangat sivitas akademika, bukan sekadar memenuhi syarat akreditasi. Kampus hanya akan bergerak maju bila visi kepemimpinan benar-benar menyala di benak dosen, mahasiswa, dan tenaga kependidikan. Tanpa itu, universitas hanyalah menara gading yang indah di luar, tetapi rapuh di dalam.


Ketegasan dalam Keputusan


Kepemimpinan di universitas besar seperti USU bukanlah jalan lurus tanpa rintangan. Konflik internal senat, tarik-menarik kepentingan dalam proyek pembangunan, hingga tekanan politik eksternal sering kali menguji integritas seorang rektor. Dalam situasi seperti ini, pemimpin berkarakter kuat dituntut tidak gamang. Ia harus berani mengambil keputusan yang mungkin tidak populer, tetapi adil, strategis, dan berpihak pada kepentingan akademik jangka panjang.


Sayangnya, yang sering terjadi justru sebaliknya. Banyak pemimpin universitas terjebak dalam kompromi jangka pendek, mengorbankan nilai akademik demi keuntungan sesaat atau kepentingan politik. Keragu-raguan dalam memutuskan tidak hanya memperlambat laju universitas, tetapi juga menggerus kepercayaan publik. USU, yang seharusnya berdiri sebagai menara ilmu pengetahuan, justru berisiko berubah menjadi arena tarik-ulur kepentingan bila rektor tidak memiliki ketegasan moral.


Ketegasan dalam keputusan bukan berarti otoriter. Ia adalah sikap berani memikul tanggung jawab atas arah universitas, sekaligus siap menghadapi konsekuensi. Pemimpin akademik yang tegas akan menempatkan kepentingan sivitas di atas segala kalkulasi politik. Sebab, hanya dengan ketegasan yang berlandaskan integritas, USU dapat keluar dari lingkaran stagnasi dan kembali menegakkan marwahnya sebagai pusat ilmu pengetahuan yang bermartabat.


Komunikasi yang Transparan


Salah satu akar persoalan di banyak perguruan tinggi adalah komunikasi yang kaku, tertutup, dan elitis. Kebijakan kampus kerap dirumuskan di ruang sempit birokrasi, jauh dari partisipasi sivitas akademika. Akibatnya, mahasiswa, dosen, bahkan publik, sering kali hanya menjadi penonton kebijakan yang sudah jadi tanpa pernah diajak berdiskusi. Pola komunikasi seperti ini bukan hanya usang, tetapi juga melahirkan jarak dan ketidakpercayaan.


Pemimpin berkarakter kuat membalikkan situasi itu dengan membangun komunikasi yang transparan dan inklusif. Transparansi bukan sekadar menyebarkan informasi, tetapi menciptakan ruang dialog yang sehat: dari forum akademik, konsultasi terbuka, hingga mekanisme pengawasan publik. Dengan komunikasi yang jelas dan jujur, rumor serta fitnah dapat ditepis sejak awal, sementara konflik internal bisa dikelola tanpa meledak menjadi krisis. Transparansi, pada titik ini, adalah fondasi kepercayaan.


USU membutuhkan rektor yang tidak hanya piawai berpidato, tetapi juga berani mendengar kritik, menyerap aspirasi, dan menjawab pertanyaan dengan lugas. Komunikasi yang sehat adalah energi sosial yang memperkuat solidaritas kampus. Tanpanya, universitas akan terus diselimuti kabut kecurigaan, menjadi ladang gosip, dan kehilangan wibawa moralnya di mata publik. Transparansi komunikasi, dengan demikian, bukan sekadar gaya kepemimpinan, melainkan kebutuhan mendasar untuk menyelamatkan marwah akademik USU.


Kepemimpinan yang Melayani


Hakikat kepemimpinan akademik bukanlah soal jabatan yang penuh privilese, melainkan soal pengabdian. Rektor dengan karakter kuat menempatkan dirinya sebagai pelayan akademik, memastikan dosen mendapat ruang riset yang layak, mahasiswa memperoleh hak belajar yang bermutu, dan masyarakat merasakan kontribusi nyata universitas. Model servant leadership inilah yang menjadi kunci terbentuknya budaya akademik yang sehat, egaliter, dan berorientasi pada pengabdian.


Sebaliknya, pemimpin yang mengedepankan arogansi justru melahirkan praktik kepemimpinan yang abusif. Alih-alih melayani, ia menuntut untuk dilayani. Fenomena penggabungan tiga rumah dosen menjadi satu rumahan sang pimpinan di kawasan perumahan dosen USU , misalnya, mencerminkan pola pikir kekuasaan yang sempit: mengatur berdasarkan kepentingan segelintir pihak, bukan atas dasar kebutuhan kolektif sivitas akademika. Kebijakan yang semacam ini hanya memperlihatkan betapa jauhnya jarak antara retorika kepemimpinan dan realitas pelayanan.


USU membutuhkan pemimpin yang rendah hati, bukan yang membangun tembok pemisah antara dirinya dan komunitas kampus. Kepemimpinan yang melayani berarti hadir di tengah-tengah dosen, mahasiswa, dan tenaga kependidikan, mendengar aspirasi mereka, lalu mengubahnya menjadi kebijakan nyata. Hanya dengan model kepemimpinan yang demikian, universitas dapat mengembalikan marwah akademik, menjauh dari praktik kekuasaan yang korosif, dan benar-benar menjadi rumah ilmu pengetahuan bagi semua.


Belajar Dan Rendah Hati


Belajar dan rendah hati adalah inti dari kepemimpinan akademik yang sehat. Rektor yang memahami dirinya bukan sosok sempurna akan menjadikan kampus sebagai ruang dialog, bukan monolog. Ia membuka pintu bagi kritik, masukan, dan perbedaan pandangan, sehingga keputusan yang diambil mencerminkan kebijaksanaan kolektif, bukan sekadar keinginan personal. Inilah watak kepemimpinan yang melahirkan rasa memiliki di antara sivitas akademika.


Namun, sejarah kampus juga pernah mencatat ironi. Alih-alih menampilkan teladan kesederhanaan, ada rektor yang setelah dilantik justru tampil dengan simbol feodal: menunggang kereta kencana dari biro rektor menuju FISIP USU, layaknya Ken Arok yang haus legitimasi kuasa. Aksi simbolik semacam ini hanya mempertebal jarak antara pemimpin dengan komunitas akademiknya. Rektor seolah menjadi raja kecil, sementara kampus tereduksi menjadi arena pertunjukan status.


Universitas semestinya menjadi rumah kesetaraan, bukan panggung feodalisme. Kepemimpinan yang berorientasi pada simbol kekuasaan hanya akan merusak kultur akademik yang seharusnya egaliter. Belajar dan rendah hati bukan sekadar pilihan moral, melainkan kebutuhan struktural agar universitas tetap relevan. Seorang rektor yang tidak mampu menanggalkan ego feodalnya berisiko menyeret kampus ke dalam krisis kepercayaan, jauh dari cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa.


Keputusan Berbasis Data, Bukan Intuisi Nurani


Universitas Sumatera Utara (USU) tidak boleh lagi dikelola dengan pendekatan insting atau intuisi belaka. Di tengah derasnya arus globalisasi dan kompetisi antaruniversitas dunia, kepemimpinan kampus harus berpijak pada data yang terukur, bukan pada “bisikan hati nurani” atau kalkulasi politik sempit. Era universitas modern menuntut transparansi, akuntabilitas, dan pengambilan keputusan yang dapat diuji secara rasional.


Setiap langkah strategis—mulai dari arah penelitian, distribusi anggaran, hingga penyusunan kurikulum—menjadi taruhan reputasi kampus di tingkat nasional maupun internasional. Pemimpin yang berorientasi data mampu menempatkan kebijakan sesuai kebutuhan akademik, bukan sekadar memenuhi kepentingan kelompok. Tanpa itu, universitas akan terjebak dalam retorika tanpa substansi, sementara dunia terus berlari dengan inovasi dan riset berbasis bukti.


Rektor USU ditantang untuk keluar dari tradisi kepemimpinan feodal yang mengandalkan intuisi personal. Sebaliknya, ia harus menjadi manajer pengetahuan yang menyandarkan kebijakan pada riset, survei, dan indikator kinerja. Inilah jalan agar USU tidak sekadar bertahan, tetapi mampu menegaskan eksistensinya sebagai universitas riset berkelas dunia. Keputusan berbasis data adalah fondasi peradaban akademik yang sehat—dan USU tidak boleh abai terhadap itu.


Penutup


Dalam memperingati 80 Tahun Kemerdekaan RI, Rektor Universitas Sumatera Utara (USU) bukan sekadar administrator yang menandatangani surat keputusan atau hadir dalam seremoni akademik. Ia adalah wajah moral dan intelektual kampus, simbol kepercayaan publik terhadap dunia akademik. Karena itu, pemilihan rektor tidak boleh lagi terjebak dalam kompromi birokratis yang berbau transaksional, melainkan harus melahirkan sosok pemimpin berkarakter kuat yang menjaga marwah universitas sekaligus menuntunnya menuju standar nasional dan global.


Namun, sejarah belakangan ini memperlihatkan wajah muram: USU selama 5 tahun  di pimpin rektor yang menjadi bahan cibiran intelektual, alumni, hingga publik kritis. Rektor yang tak tahu malu yang mempertontonkan kebobrokan moral secara telanjang telah meruntuhkan martabat akademik. Kini, masyarakat kampus di tantang: apakah berani memutus pola lama dan melahirkan pemimpin teladan berkarakter kuat, atau tetap terjebak dalam lingkaran krisis integritas yang hanya akan mencatatkan USU dalam buku sejarah dengan tinta kelam.


Demikian.


Penulis Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH, adalah Praktisi Hukum, Alumni Fakultas Hukum USU Stambuk' 92, Ketua Kelas Grup A Dan Ketua  Forum Penyelamat USU.

________


 Daftar Pustaka 


Temuan Sistemik BPK dan IAW – Kerugian hingga Rp 28 Miliar (2015–2024)

Laporan hasil audit oleh BPK, BPKP, dan Kemendikbud mengungkap praktik penyimpangan di USU selama satu dekade terakhir—meliputi dana penelitian fiktif, aset “hantu”, hingga pungutan liar mahasiswa. Total kerugian negara ditaksir mencapai Rp 28 miliar, namun tidak ada pelaku yang dihukum.


“Kampus Surga Korupsi” – Kasus Tas Mewah, Kredit Rugi Kebun Sawit

Media BarakTime menggambarkan USU sebagai sumber ironi moral: dari pembelian tas Hermes seharga Rp 250 juta dengan dana promosi pendidikan hingga kebun sawit yang merugi sejak 2012 namun memperoleh kredit sebesar Rp 228 miliar dari BNI.


Skandal Transparansi – Penolakan Klarifikasi Terhadap Temuan BPK

USU mendapat kritik serius karena menolak memberikan klarifikasi publik atas temuan BPK senilai Rp 28,4 miliar. Institusi menolak merespons atas dasar formalitas media—seperti persyaratan sertifikasi wartawan—padahal isu ini menyangkut anggaran publik yang transparan untuk disampaikan.Poros Jakarta (2025).– USU dan 10 Tahun Korupsi ‘Dimaafkan’: Laporan BPK Ungkap Penyimpangan Rp28 Miliar.–URL:https://www.porosjakarta.com


Risiko Pelanggaran Integritas Riset Tinggi

USU termasuk dalam lima universitas di Indonesia dengan risiko pelanggaran integritas riset tertinggi menurut Research Integrity Risk Index (RI²). USU mengaku menghargai laporan ini sebagai bahan evaluasi dan berkomitmen memperbaiki tata kelola penelitian.


Rektor Dipanggil KPK sebagai Saksi Kasus Proyek Jalan di Sumut, Pada 15 Agustus 2025, Rektor USU, Prof. Dr. Muryanto Amin, dipanggil oleh KPK sebagai saksi terkait kasus korupsi proyek jalan nasional–provinsi di Sumatera Utara. Pemanggilan tersebut menjadi indikasi bahwa lingkaran dugaan korupsi telah menyentuh kalangan akademisi.ANTARA News. (2025, 15 Agustus). KPK Panggil Rektor USU Jadi Saksi Kasus Proyek Jalan Sumut. Diakses dari https://m.antaranews.com/berita/5040041/kpk-panggil-rektor-usu-jadi-saksi-kasus-proyek-jalan-sumut

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)