Kompetisi Moral Dalam Pemilihan Rektor USU: Mewujudkan Kampus Yang Berdampak

Media Barak Time.com
By -
0

 



Selayang Pandang


Medan tengah memasuki fase penting dalam perjalanan Universitas Sumatera Utara (USU): pemilihan rektor periode 2026–2031. Sesuai ketentuan PP No. 16 Tahun 2014, proses ini harus dilakukan lima bulan sebelum jabatan rektor berakhir. Panitia Penjaringan dan Pemilihan yang telah dibentuk Majelis Wali Amanat (MWA) sejak 19 Agustus 2025 diharapkan mampu memastikan mekanisme berjalan transparan dan bermartabat.


Namun, pemilihan rektor bukanlah sekadar ritual administratif. Pertaruhan terbesar terletak pada integritas. Alumni yang tergabung dalam Forum Penyelamat USU menegaskan, calon rektor ideal bukan sosok yang tersangkut kasus hukum, khususnya korupsi di Sumatera Utara. Rektor juga dituntut menjaga jarak dari pusaran politik praktis, agar USU tidak terjebak dalam tarik-menarik kepentingan Pilpres maupun Pilkada yang kerap merusak independensi akademik.


Dengan kata lain, pemilihan rektor kali ini adalah ujian moral. Jika proses ini hanya menjadi arena lobi politik dan transaksi kepentingan, maka jargon “kampus berdampak” akan kehilangan makna. Sebaliknya, bila civitas akademika mampu menghadirkan kompetisi bermoral yang berlandaskan visi perubahan, USU berpeluang tampil sebagai universitas yang tidak hanya berkelas global, tetapi juga menjadi teladan etika publik di tengah carut-marut demokrasi bangsa


Integritas sebagai Fondasi


Pemilihan rektor adalah momentum strategis yang tidak boleh direduksi sekadar kompetisi administratif. Gelar akademik, daftar publikasi, atau jaringan politik yang luas memang penting, tetapi bukan inti persoalan. Fondasi utama terletak pada integritas—kemampuan seorang calon untuk menjaga kejujuran, mengedepankan etika, dan menolak praktik-praktik yang merusak marwah akademik. Universitas, pada hakikatnya, adalah benteng moral yang berdiri di atas nilai ilmu pengetahuan dan peradaban.


Godaan selalu ada. Politik uang, janji jabatan, hingga tekanan eksternal kerap membayangi setiap proses pemilihan. Jika calon rektor tergoda pada transaksi semacam itu, maka yang lahir bukanlah kepemimpinan akademik, melainkan rezim kampus yang tunduk pada kalkulasi politik dan kepentingan sempit. Pada titik ini, USU akan kehilangan arah: alih-alih menjadi “kampus berdampak”, ia justru terjebak dalam praktik banal yang melemahkan integritas institusi.


Integritas bukan sekadar jargon normatif, melainkan kompas yang membedakan pemimpin sejati dari manajer oportunis. Calon rektor yang bermoral akan berani menolak intervensi politik dan menegakkan meritokrasi di tengah tekanan. Ia tidak mencari popularitas instan, melainkan membangun fondasi akademik jangka panjang. Di sinilah publik kampus—mahasiswa, dosen, alumni—harus jeli membaca, apakah visi dan rekam jejak calon benar-benar selaras dengan prinsip kejujuran dan tanggung jawab.


Karena itu, integritas harus menjadi standar pertama dan utama. Tanpa itu, visi sebesar apa pun hanya retorika kosong. USU membutuhkan pemimpin yang bukan hanya cerdas, tetapi juga berkarakter; bukan sekadar berprestasi, tetapi juga berani menjaga marwah akademik dari godaan pragmatisme. Pemilihan rektor kali ini adalah ujian moral: apakah kampus mampu melahirkan pemimpin yang menjaga integritas, atau menyerahkan masa depannya kepada mereka yang pandai bermain di ruang gelap transaksi.


Transparansi sebagai Jalan Tengah


Pemilihan rektor USU tidak boleh dilihat semata sebagai rutinitas administratif. Panitia memang telah merancang tiga tahapan—penjaringan, penyaringan, dan pemilihan—namun mekanisme yang rapi hanya akan bermakna bila dijalankan secara transparan. Tahap penjaringan, yang meliputi seleksi administrasi hingga audisi, bukan sekadar ajang formalitas. Ia harus menjadi ruang pertarungan gagasan yang jujur, di mana publik kampus bisa menilai sejauh mana calon rektor memahami persoalan riil universitas dan menawarkan solusi konkret.


Justru di titik inilah transparansi diuji. Selama ini, proses audisi kerap ditutup rapat dan hanya jadi konsumsi elite kampus. Pertanyaan krusial: apakah mahasiswa, dosen, alumni, dan masyarakat diberikan akses yang cukup untuk menilai rekam jejak dan visi-misi calon? Tanpa keterbukaan, proses seleksi mudah berubah menjadi panggung elitis yang steril dari kritik publik. Padahal, universitas adalah milik bersama, bukan milik segelintir orang yang memiliki akses kekuasaan.


Tahap penyaringan oleh Senat Akademik dan pemilihan final oleh MWA tidak boleh menjadi ruang gelap transaksi politik. Publik berhak tahu dasar pengambilan keputusan—mengapa tiga nama diajukan, dan apa pertimbangan hingga satu nama akhirnya terpilih. Transparansi di sini bukan sekadar laporan hasil akhir, melainkan juga keterbukaan proses: siapa mendukung siapa, apa argumen yang diajukan, dan bagaimana akuntabilitas dijaga.


Tanpa transparansi, pemilihan rektor akan kehilangan legitimasi moral. Ia akan dilihat hanya sebagai kompromi kepentingan, bukan keputusan akademik yang visioner. Sebaliknya, bila keterbukaan dijadikan jalan tengah, maka proses ini bukan hanya melahirkan pemimpin baru, tetapi juga meneguhkan kepercayaan publik bahwa USU benar-benar serius mewujudkan dirinya sebagai kampus berdampak.


Visi “Kampus Berdampak”


Majelis Wali Amanat (MWA) Universitas Sumatera Utara (USU) menegaskan bahwa pemilihan rektor periode 2026–2031 bukan hanya soal pergantian kepemimpinan, melainkan momentum menentukan arah kampus ke depan. Targetnya jelas: lahirnya rektor yang mampu menjawab tantangan global, menghimpun dana dari potensi internal, dan mendorong USU naik kelas di tingkat nasional maupun internasional. Tetapi visi ini akan tinggal jargon kosong bila tidak dibarengi kesadaran bahwa “kampus berdampak” sejatinya berarti memberi manfaat nyata bagi masyarakat sekitar, bukan sekadar mengejar peringkat dunia.


USU berdiri di jantung Sumatera Utara, sebuah wilayah dengan keragaman sosial, ekonomi, dan budaya yang kaya sekaligus penuh tantangan. “Kampus berdampak” berarti hasil penelitian dan inovasi benar-benar menyentuh kehidupan nyata: teknologi pertanian yang menjawab kebutuhan petani sawit di Labuhan Batu, kebijakan perikanan yang mendukung nelayan di Tapanuli Tengah, hingga model bisnis yang memperkuat daya saing UMKM di Medan. Tanpa keberpihakan pada realitas lokal, pencapaian global hanyalah prestasi semu yang terlepas dari akar sosialnya.


Lebih jauh, visi ini juga menuntut keberanian moral. Kampus berdampak bukan sekadar mencetak lulusan berprestasi, tetapi juga mendidik mereka menjadi intelektual yang berani membela kebenaran, menolak tunduk pada arus politik sesaat, dan menjaga independensi akademik. USU tidak boleh menjadi alat legitimasi kekuasaan, melainkan mercusuar kritis yang mengawal demokrasi dan pembangunan di Sumatera Utara.


Salah satu syarat untuk mewujudkan visi itu adalah keberanian menertibkan dan mengelola aset universitas secara efektif serta efisien. Selama ini, banyak aset USU tidak termanfaatkan optimal, bahkan berpotensi menimbulkan masalah hukum. Jika aset-aset tersebut dikelola secara profesional, hasilnya dapat dialokasikan untuk pembiayaan kuliah mahasiswa—menekan beban Uang Kuliah Tunggal (UKT)—dan mendukung kegiatan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Dengan demikian, kemandirian finansial USU tidak lagi bergantung sepenuhnya pada negara, tetapi juga pada pengelolaan aset yang transparan dan akuntabel.


Pada akhirnya, visi “kampus berdampak” tidak boleh berhenti pada pidato indah atau dokumen strategis. Ia harus diwujudkan melalui kepemimpinan yang berintegritas, manajemen aset yang efektif, riset yang aplikatif, dan keberanian menjaga independensi akademik. Pemilihan rektor kali ini adalah kesempatan bagi USU untuk membuktikan bahwa ia bukan hanya universitas dengan nama besar, tetapi juga institusi yang benar-benar membawa perubahan positif bagi masyarakat Sumatera Utara dan bangsa Indonesia.


Kompetisi Moral: Kesadaran Kolektif


Pemilihan rektor Universitas Sumatera Utara (USU) tidak bisa direduksi hanya menjadi prosedur administratif. Ia adalah arena yang jauh lebih fundamental: kompetisi moral. Proses ini menuntut kesadaran kolektif dari seluruh unsur—panitia, senat, Majelis Wali Amanat (MWA), Dewan Guru Besar, alumni, hingga mahasiswa. Tanpa kesadaran bersama, pemilihan mudah terjebak dalam praktik transaksional yang merusak legitimasi dan marwah akademik.


Kompetisi moral menuntut bahwa rektor dipilih bukan karena kekuatan pendukung atau afiliasi politik, melainkan karena gagasan visioner, integritas pribadi, serta rekam jejak pengabdian. Universitas tidak membutuhkan pemimpin yang lihai melobi, tetapi sosok yang berani menjaga independensi akademik dan menolak intervensi kekuasaan. Pada titik ini, USU sedang menguji dirinya sendiri: apakah kampus mampu melahirkan pemimpin yang bermartabat, atau justru tunduk pada kalkulasi pragmatis.


Lebih dari itu, moralitas berarti keberanian menolak segala bentuk kecurangan. Manipulasi data, politik uang, hingga praktik suap adalah racun yang mematikan integritas kampus. Jika dibiarkan, universitas hanya akan melahirkan generasi yang terbiasa dengan kompromi moral. Sebaliknya, jika ditolak, pemilihan rektor dapat menjadi teladan demokrasi internal yang bersih dan bermartabat—sebuah contoh yang amat dibutuhkan di tengah krisis etika politik bangsa.


Karena itu, pemilihan rektor kali ini sejatinya bukan sekadar menentukan siapa yang duduk di kursi tertinggi USU. Ia adalah momentum uji komitmen: apakah civitas akademika benar-benar ingin mewujudkan “kampus berdampak” melalui kepemimpinan yang jujur dan transparan, atau rela menjadikan universitas besar ini sekadar panggung perebutan kepentingan. Di sinilah letak tanggung jawab moral seluruh komunitas USU untuk menjaga agar sejarah tidak mencatat kampus ini gagal dalam ujian integritasnya.


Penutup


Pemilihan Rektor USU periode 2026–2031 sejatinya menjadi cermin: apakah universitas ini mampu menegakkan nilai akademik yang luhur atau justru tunduk pada pragmatisme politik. Di ruang inilah integritas diuji. Rektor bukan sekadar jabatan administratif, melainkan simbol kepemimpinan moral yang menentukan arah universitas dan, pada gilirannya, arah peradaban bangsa.


Jika proses pemilihan dinodai kecurangan, suap, atau sekadar bagi-bagi kursi, maka runtuhlah legitimasi akademik yang seharusnya menjadi fondasi USU. Slogan “kampus berdampak” akan kehilangan substansinya, menjadi retorika tanpa makna, dan hanya menambah jarak antara cita-cita dan kenyataan. Krisis moral di pucuk kepemimpinan akademik pada akhirnya hanya akan memperlebar erosi kepercayaan publik terhadap dunia pendidikan tinggi.


Sebaliknya, bila USU mampu menjaga proses pemilihan dengan jujur, transparan, dan bertanggung jawab, maka kampus ini akan menegaskan dirinya sebagai mercusuar intelektual dan moral. Keberhasilan itu bukan hanya kemenangan USU, melainkan juga kontribusi nyata bagi demokrasi Indonesia. Pilihan ada di tangan civitas akademika: menjadikan pemilihan rektor sekadar ritual lima tahunan, atau momentum kebangkitan moral yang akan dikenang jauh melampaui satu periode kepemimpinan.


Demikian.


Pernyataan Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH, adalah Praktisi Hukum, Alumni Fakultas Hukum USU Stambuk' 92 Dan Ketua  Forum Penyelamat USU. 

___________


Daftar Pustaka 


Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.


Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 53 Tahun 2023 tentang Statuta Universitas Sumatera Utara.


Nurcholish Madjid (1999). Tradisi Akademik dan Integritas Moral. Jakarta: Paramadina.


Transparency International Indonesia (2024). Indeks Persepsi Korupsi di Indonesia: Tren dan Tantangan.


KPK. Laporan Tahunan 2024: Pengawasan Pendidikan Tinggi dan Pencegahan Korupsi di Perguruan Tinggi Negeri. Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi, 2024.


Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Audit Keuangan dan Penerimaan Mahasiswa Baru PTN 2023–2024. Jakarta: Kemendikbudristek, 2024.


“KPK Tuntas Periksa Eks Kajati Sumut dalam Kasus Korupsi Proyek Jalan, Peran USU Juga Diusut.” Kajian Berita, 19 Agustus 2025. https://www.kajianberita.com/2025/08/kpk-tuntas-periksa-eks-kajati-sumut.html.


Kompas. “Pungutan Liar Penerimaan Mahasiswa di Perguruan Tinggi Masih Tinggi, KPK Awasi Ketat.” Kompas.com, 12 Juni 2024. https://www.kompas.com/edukasi/read/2024/06/12/pungli-ptn.


Tempo. “Politik Uang dalam Pemilihan Rektor dan Praktik Korupsi di Kampus.” Tempo.co, 25 Mei 2024. https://www.tempo.co/politik/korupsi-kampus.


Tempo. “Rektor USU Muryanto Amin Mangkir dari Pemeriksaan KPK.” Tempo.co, 15 Agustus 2025. https://www.tempo.co/hukum/kriminal.

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)