> “Tanah bukan sekadar ruang hidup, melainkan napas peradaban. Bila tanah adat dirampas, maka manusia dirampas dari sejarah, budaya, dan martabatnya.”
Hadirnya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No 5, tahun 1960 merupakan tonggak sejarah pertanahan yang mengakui tanah adat . UU ini lahir dari semangat dekolonisasi: mencabut warisan hukum kolonial yang mengabaikan hak-hak rakyat atas tanah. Namun, cita-cita itu kini nyaris menjadi romantisme hukum semata.
Dalam praktiknya, UUPA justru sering kali diabaikan. Negara lebih gemar menjadi pelayan kepentingan korporasi ketimbang pelindung rakyat. Salah satu potret kegagalan agraria itu tergambar gamblang dalam konflik panjang antara BPRPI (Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia) dan PTPN IX, kemudian berubah menjadi PTPN II serta berubah menjadi PTPN I di Sumatera Utara.
Konflik ini bukan sekadar sengketa lahan, melainkan luka struktural yang diwariskan dari zaman kolonial. Ia lebih tua dari UUPA itu sendiri. Akar masalahnya tertanam dalam perjanjian konsesi antara Kesultanan Deli dan perusahaan-perusahaan Belanda pada akhir abad ke-19.
Kala itu, lahan seluas 250.000 hektare di antara Sungai Wampu dan Sungai Ular disewakan kepada onderneming Belanda untuk budidaya tembakau Deli. Namun, perjanjian ini tidak sepenuhnya mengabaikan hak masyarakat adat, khususnya kelompok yang kemudian dikenal sebagai Rakyat Penunggu.
Dalam rotasi tanam tembakau, yang hanya berlangsung satu tahun, tanah dibiarkan bera selama enam tahun berikutnya. Pada masa inilah rakyat lokal diberi ruang bercocok tanam—palawija, sayur-mayur, padi ladang. Ruang ini dikenal dengan sebutan Tanah Jaluran.
Tanah Jaluran bukan belas kasih kolonial. Ia bagian sah dari kontrak perdata antara kerajaan dan perusahaan. Rakyat Penunggu mengelola tanah ini turun-temurun, dengan relasi yang tidak hanya produktif, tapi juga kultural dan religius.
Namun segalanya berubah drastis pasca kemerdekaan. Lewat UU No. 86 Tahun 1958, negara menasionalisasi lahan-lahan konsesi dan menyerahkannya kepada perusahaan negara, cikal bakal PTPN II. Di sinilah tragedi agraria mulai bertumbuh.
Alih-alih mengembalikan tanah kepada rakyat, negara justru mengambil alih sepenuhnya. Tidak ada mekanisme kompromi, tidak ada pengakuan terhadap hak ulayat. Tanah rakyat adat diklaim sebagai milik negara.
Dalam hitungan politik, ini disebut nasionalisasi. Dalam kacamata keadilan, ini adalah bentuk baru dari kolonialisme—versi republik.
Rakyat penunggu tergabung dalam BPRPI lahir sebagai respons atas pengingkaran ini. Dibentuk tahun 1953, bahkan sebelum UUPA disahkan, BPRPI dipimpin tokoh-tokoh lokal seperti Ustaz Abdul Kadir Nuh dan Afnawi Nuh. Uniknya, organisasi ini mendapat restu langsung dari Sultan Deli di Istana Maimoon.
Namun, sejarah mencatat ironi pahit: perjuangan rakyat yang dilandasi dokumen hukum dan pengakuan historis justru dianggap ilegal oleh negara. Upaya reclaiming tanah dilabeli sebagai gangguan ketertiban.
Tenda-tenda perjuangan dirubuhkan, petani ditangkap, tanaman diratakan. Negara tidak hadir sebagai penengah, melainkan menjadi algojo kepentingan korporasi.
Padahal rakyat Penunggu tidak melawan dengan batu atau senjata. Mereka mengangkat dokumen hukum: Akta Konsesi 1898, serta Putusan Mahkamah Agung No. 1734K/Pdt/2001 yang secara eksplisit mengakui eksistensi mereka di atas tanah eks-HGU.
Ketika hukum tertinggi di negeri ini berpihak pada rakyat, mengapa pelaksanaannya justru dipasung? Apakah supremasi hukum hanya berlaku jika menguntungkan korporasi?
Negara berdalih bahwa semua telah diatur. Tapi dalam realitas, aturan hanya berlaku selektif. Ketika rakyat menggugat, mereka dianggap pengganggu. Tapi ketika investor datang, mereka disambut dengan karpet merah.
Kasus BPRPI menunjukkan dengan jelas: konflik agraria bukan soal batas lahan semata. Ia tentang eksistensi. Tentang relasi antara masyarakat, tanah, dan sejarahnya.
Pandangan Prof. Mahadi, dalam karya monumentalnya “Uraian Singkat Tentang Hukum Adat Sejak RR 1854”, menegaskan bahwa tanah ulayat adalah harta komunal masyarakat adat. Bukan properti individu, melainkan entitas kolektif yang mengandung nilai spiritual.
Dalam hukum adat, tanah tidak bisa dimiliki sembarang orang. Bahkan pemanfaatan oleh pihak luar wajib disertai izin komunitas adat. Jika tidak, itu adalah perampasan.
Rakyat Penunggu adalah manifestasi konkret dari konsep ini. Mereka adalah komunitas hukum adat Melayu Deli yang memiliki relasi historis dengan tanah Jaluran. Tanpa tanah, mereka kehilangan identitas.
Sayangnya, pengakuan ini hanya hidup di teks, bukan di lapangan. UUD 1945 Pasal 18B ayat (2) dengan gamblang menyebut pengakuan negara terhadap masyarakat hukum adat. Tapi dalam pelaksanaannya, negara justru menjadi pelanggar utama.
UUPA Pasal 3 dan 5 pun menjamin penghormatan terhadap hukum adat. UU HAM, UU Kehutanan, bahkan Peraturan Menteri ATR No. 18 Tahun 2019 memberi dasar legal bagi pengakuan tanah ulayat. Tapi semuanya tumpul di hadapan kapital.
Negara justru membuka jalan bagi hadirnya pemilik sertifikat misterius, kelompok ormas bersenjata, dan mafia tanah yang merampas hak-hak rakyat adat. Konflik vertikal antara rakyat dan negara dibumbui konflik horizontal antarkelompok sipil.
Dalam konteks ini, negara kehilangan wajahnya sebagai penjaga keadilan. Ia lebih mirip makelar kepentingan. Di satu sisi bicara reforma agraria, di sisi lain memfasilitasi perpanjangan HGU diam-diam kepada pemodal.
Ironisnya, segelintir elite adat pun ikut dalam lingkaran ini. Mereka berubah menjadi broker tanah yang menggugat di pengadilan bukan untuk membela perjuangan rakyat penunggu tapi untuk gutan dipengadilan dijadikan alat bernegosiasi demi kepentingan pribadi. Ini adalah bentuk pengkhianatan kolektif.
Ketika para 'tuan ku' menari di atas penderitaan rakyatnya, tak ada lagi benteng moral perjuangan. Yang tersisa hanya BPRPI—berdiri sendiri melawan gelombang sok kuasa aparatus.
Ketika HGU habis, semestinya rakyat penunggu diberi hak prioritas. Itu amanat UUPA. Tapi yang terjadi justru sebaliknya: tanah diubah fungsinya menjadi perumahan elite, lahan industri, atau dialihkan ke korporasi baru.
Studi Budi Agustano dalam “Orang Eropa di Sumatera Utara” mencatat bahwa sistem konsesi Belanda sejak awal telah menggusur eksistensi masyarakat adat. Negara pasca kolonial tidak memperbaikinya—justru mewarisi model eksploitatif tersebut.
Kesultanan yang dulu menyewakan, kini digantikan negara yang mengonsesikan. Sistemnya sama. Otoritasnya berpindah tangan. Tapi korban utamanya tetap rakyat penunggu Yanga merupakan masyarakat adat.
Kini, BPRPI tetap bertahan dan terus melawan. Bukan hanya dengan semangat sejarah, tapi dengan dokumen hukum dan bukti sosiologis yang kuat. Namun aparatus seolah saja tak bergeming.
Publik pun pelan-pelan melupakan mereka. Sebab media arus utama lebih sibuk memberitakan proyek strategis nasional dan investasi miliaran dolar. Perjuangan rakyat tidak cukup seksi untuk headline.
Padahal di sinilah inti demokrasi dan keadilan agraria diuji. Apakah negara berani berpihak pada rakyat penunggu, atau hanya jadi penyambung tangan modal?
Apakah kita ingin membangun negeri di atas reruntuhan martabat masyarakat adat?
Konflik panjang BPRPI merupakan cermin dari sistem agraria nasional yang belum kunjung berpihak. Ia juga mengingatkan bahwa dekolonisasi belum selesai, bahkan mungkin justru dikembalikan dalam wajah baru.
Lebih dari 60 tahun sejak UUPA diberlakukan, dan lebih dari satu abad sejak akta konsesi diteken, Rakyat Penunggu masih menjadi tamu di tanah leluhurnya sendiri.
Mereka menunggu—bukan belas kasih, tapi keadilan agararia yang dijanjikan konstitusi. Kejelasan hukum. Pengakuan terhadap hak ulayat yang hidup dalam budaya dan sejarah mereka.
Mereka tidak meminta keistimewaan. Mereka hanya ingin aparatus negara menjalankan apa yang sudah dijanjikan dalam undang-undang.
Dalam konteks ini, tanah bukan sekadar sumber ekonomi. Ia adalah simbol dari relasi sosial, sejarah perjuangan, dan identitas kultural.
Ketika tanah direbut, maka bukan hanya ekonomi yang hilang, tapi juga martabat manusia.
Negara semestinya menjadi pelindung, bukan perampas. Pihak yang netral dan adil, bukan operator korporasi. Apalagi jika korporasi itu justru hasil reinkarnasi dari sistem kolonial.
Jika BPRPI terus dipojokkan, berarti aparatus negara gagal sebagai institusi demokrasi. Gagal menjalankan amanat keadilan agraria. Gagal menjadi pelindung rakyat atas tanah ulayatnya.
Maka, konflik ini bukan sekadar kasus lokal. Ini adalah luka nasional yang sudah berpuluh-puluh tahun lamanya. Luka yang mengangah dan belum juga di jahit meski telah lama berdarah dan dilukai kembali lagi.
Dan selama tanah adat sebagai ruang hidup dan terhubung secara magis, religius masih di rampas aparatus dari tangan rakyat, maka napas peradaban itu pun terus melakukan perlawannya yang tidak pernah terputus dari generasi ke generasi. 'Tak Melayu Hilang di Bumi' tegas Hang Tuah.
Demikian.
Penulis:
Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH,
Praktisi Hukum, Mantan Tenaga Ahli Komisi II DPR RI, Aktivis Musyawarah Rakyat Banyak, Anggota Badan Perkumpulan KontraS Sumut, dan Wakil Sekretaris Bidang Hukum dan HAM MW KAHMI Sumut.
_______
Daftar Pustaka
Agustano, Budi. “Orang Eropa di Sumatera Utara.” Analisa Daily, 21 Maret 2018. https://analisadaily.com/berita/arsip/2018/3/21/524723/orang-eropa-di-sumatera-utara/
AMAN. “Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI): Mutiara Pengetahuan Perjuangan Masyarakat Adat Melayu.” https://aman.or.id/news/read/860
Konsorsium Pembaruan Agraria. “Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI).” https://anggota.kpa.or.id/anggota-or/badan-perjuangan-rakyat-penunggu-indonesia-bprpi/
Mahadi, Prof. Dr. Mr. Uraian Singkat Tentang Hukum Adat Sejak Regerings Reglement 1854. Medan: Pusat Studi Hukum Adat, 1983.
Mahadi, Prof. Dr. Mr. Tanah Ulayat dalam Perspektif Masyarakat Melayu di Sumatera Timur. Makalah Seminar Nasional Hukum Adat, Universitas Sumatera Utara, 1985.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria
Pemerintah Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 No. 165.
Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia. Putusan No. 1734K/Pdt/2001 tentang Tanah Jaluran Eks-HGU di Desa Sampali, Deli Serdang.
Peraturan Menteri ATR/BPN No. 18 Tahun 2019 tentang Tata Cara Penatausahaan Tanah Ulayat
Posting Komentar
0Komentar