Jejak Sang Jenderal: Dua Makam, Satu Takdir Gelap"

Media Barak Time.com
By -
0

 




Prolog: Kabut di Dua Tanah

Batavia, 25 Mei 1949. Kabut pagi menggantung tipis di atas kota ketika Dr. Stufkens tergopoh menuju kamar Letnan Jenderal Simon Hendrik Spoor. Panglima tertinggi KNIL itu terbujur kaku, matanya terbuka menatap langit-langit kamar yang retak. “Serangan jantung,” bisik sang dokter kepada ajudan yang pucat pasi. Demikianlah versi resmi yang disiarkan Den Haag—sederhana, tanpa darah, tanpa dentuman senjata.


Namun 1.300 kilometer jauhnya, di Dolok Simago-mago, Sipirok, Sumatera Utara, kabut pagi menyimpan kisah yang lain. Menurut penuturan masyarakat, sehari sebelumnya konvoi Belanda ditembaki laskar republik. Seorang perwira tinggi, yang diyakini Spoor, roboh dihantam peluru. Bahkan, warga Manduran masih mengingat bagaimana tentara Belanda meminta kasur untuk komandan mereka yang “tertembak.” Cerita rakyat ini, meski tidak pernah masuk arsip resmi, tetap hidup dan diwariskan lintas generasi sebagai bagian dari memori kolektif.


Kontroversi kematian Spoor merefleksikan benturan dua dunia: catatan dingin birokrasi kolonial versus narasi heroik rakyat desa. Sejarawan Belanda seperti JA de Moor menuliskan biografi Spoor dengan sangat detail—dari masa mudanya, kekagumannya pada budaya militer Jerman, hingga kariernya sebagai komandan KNIL di masa perang kemerdekaan. Spoor digambarkan sebagai perwira disiplin, cerdas, bahkan intelektual yang rajin menulis artikel ilmiah tentang politik kolonial. Gambaran ini jelas berjarak dengan narasi Sipirok yang menempatkannya sebagai “macan Belanda” yang akhirnya tumbang di tangan laskar muda.


Di balik figur militernya, Spoor juga terikat oleh tarik-menarik politik Den Haag. Ia bukan hanya berperang melawan Republik, tetapi juga melawan elite politik Belanda yang gamang dan terpecah soal kolonialisme. Sementara di medan perang, ia menuntut disiplin militer ala Jerman yang pernah ia kagumi, di ruang politik ia berhadapan dengan negeri induk yang lelah berperang dan semakin kehilangan legitimasi kolonial. Dalam dilema itu, Spoor sering kali tampil bukan sekadar jenderal perang, melainkan simbol benturan antara ambisi militer dan realitas politik.


Maka, ketika kabar kematiannya diumumkan, wajar bila muncul dua tafsir: ia gugur sebagai korban kelelahan seorang perwira yang terlalu banyak memikul beban, atau ia tewas di tangan laskar republik di Simago-mago. Dua narasi itu tidak pernah berdamai, dan hingga kini kabut sejarah tetap menyelimuti. Bagi Belanda, Spoor dikenang sebagai jenderal sukses sekaligus tragis. Bagi rakyat Sipirok, Sahala Muda Pakpahan-lah yang menutup kisah hidup sang panglima kolonial—sebuah luka sekaligus kebanggaan dari tanah Tapanuli.


Pahlawan dari Sipirok, Tapanuli Selatan


Sehari sebelum kabar wafatnya Simon Hendrik Spoor mengguncang Batavia, sebuah kisah lain lahir di lereng terjal Sibolga–Sipirok. Di balik batu vulkanik, Letnan Muda Sahala Muda Pakpahan bersama Kompi VI pasukan republik mengendap. Sorban merahnya menyatu dengan tanah laterit, matanya tajam menatap konvoi Belanda yang mendaki. “Mereka bawa komandan besar,” ujar Kapten Henri Siregar. Nama yang disebut membuat napas tertahan: Spoor—panglima KNIL yang jadi momok republik muda.


Ketika jip pertama melintas, seorang perwira tinggi dengan janggut rapi mengangkat teropong. Ciri khas itu tak salah lagi: Spoor. “Bunuh dia!” teriak August Marpaung dari sayap kiri. Senapan mesin tua meledak. Kaca jip pecah, tubuh perwira terpelanting, konvoi porak-poranda. Ledakan mesiu mengguncang lembah yang sebelumnya sunyi. Bagi Sahala, putra Sipirok berusia 24 tahun, momen itu bukan sekadar tembakan—melainkan simbol bahwa penjajah bisa dilawan, bahkan dihabisi.


Namun kemenangan itu berumur singkat. Belanda, murka atas penyergapan, menyisir Simago-mago dengan brutal. Hanya dalam hitungan jam, Sahala ditangkap di sebuah gubuk kayu. Tanpa pengadilan, tanpa tanya, peluru menutup hidupnya. Ironisnya, Spoor di Batavia justru diumumkan tewas akibat serangan jantung. Dua versi lahir bersamaan: narasi kolonial yang menutup rapat aib seorang panglima, dan cerita rakyat yang memahat heroisme seorang pemuda desa.


Kisah itu tak hanya hidup dalam ingatan, melainkan juga dalam syair rakyat. Lagu “Sai Selamat Ma Sineger-negeri" menyebar dari Sipirok hingga Tapanuli, menuturkan bagaimana konvoi Belanda dipimpin Spoor dari Siantar, Sipirok, hingga Fort de Kock. Liriknya sederhana, tapi sarat perlawanan: pengakuan bahwa rakyat menolak tunduk pada bendera tiga warna, dan memilih jalan senjata meski dengan risiko nyawa. Inilah cara rakyat menjaga ingatan—bukan dengan arsip resmi, melainkan dengan lagu yang dinyanyikan di ladang, di pasar, di tengah pesta adat.


Bagi Belanda, Spoor dikenang sebagai jenderal yang gugur karena kelelahan di usia 47 tahun. Namun bagi rakyat Tapanuli, kematiannya terikat pada keberanian seorang anak muda yang tak gentar menghadapi kekuatan kolonial. Dua makam kini menjadi saksi: di Ereveld Menteng Pulo, Spoor dihormati dengan bunga krisan segar; di TMP Simago-mago, Sahala dikenang dengan nisan sederhana. Sejarah mungkin ditulis pemenang, tapi di Sipirok, rakyat tahu siapa yang benar-benar berani menantang “Macan Belanda.”


Dua Jenazah, Dua Perjalanan


Kabar wafatnya Letnan Jenderal Simon Hendrik Spoor, Panglima Tertinggi KNIL, dirilis penuh kehati-hatian di Batavia. Surat kabar De Volkskrant memilih kalimat samar: “Jenderal besar gugur oleh kelelahan.” Tidak ada kata tembakan, tidak ada penyebutan medan perang. Seolah sebuah tragedi pribadi, bukan pukulan telak terhadap militer kolonial yang tengah terdesak di republik muda.


Namun 1.300 kilometer di utara, di Sipirok, Sumatera Utara, desas-desus lain bergema. Mata-mata Belanda melaporkan kabar yang jauh lebih pahit: Spoor tumbang ditembak laskar republik di Dolok Simago-mago. Rumor itu membuat Den Haag gelisah. Sebab jika benar, maka jatuhnya panglima perang mereka bukan akibat takdir medis, melainkan hasil bidikan senapan seorang pemuda kampung.


Keesokan harinya, kapal perang Hr. Ms. Piet Hein meninggalkan pelabuhan Sibolga. Di lambungnya, sebuah peti timah berisi jasad Spoor yang sudah dibalsem terburu-buru. Di darat, KNIL melancarkan operasi balasan. Desa Manduran, Sipirok, menjadi sasaran penyisiran brutal. Tentara Belanda menyalakan api, memaksa rakyat mengungsi, dan memburu para pejuang yang diyakini terlibat dalam penyergapan.


Di sebuah gubuk kayu di pinggiran hutan, Sahala Muda Pakpahan tertangkap. Usianya baru 24 tahun. Tanpa pengadilan, tanpa interogasi panjang, peluru ditembakkan untuk menutup hidupnya. Ia mati sebagai laskar, tanpa tanda jasa resmi, namun dengan keyakinan telah menumbangkan simbol kolonialisme. Di Batavia, Spoor dipulangkan dengan upacara kenegaraan; di Sipirok, Sahala dikuburkan rakyat dengan doa sederhana. Dua jenazah, dua perjalanan, dua tafsir sejarah.


Ironinya, pejabat Republik tak menampik kabar itu. Menteri Pertahanan ad interim Sri Sultan Hamengku Buwono IX—yang merangkap jabatan bersama Wakil Presiden Mohammad Hatta di tengah darurat perang—disebut membenarkan kabar bahwa Spoor gugur ditembak laskar di Sipirok. Pernyataan itu menjadi penegas, bahwa di balik diplomasi meja Bundar, ada nyawa rakyat kecil yang menulis sejarah dengan darah. Sejarah resmi Belanda boleh menyebut “kelelahan”, tapi republik menyimpan narasi lain: seorang jenderal jatuh oleh senapan seorang anak Sipirok.


Dua Makam, Dua Narasi


Sejarah kerap hadir dalam rupa yang tidak tunggal. Jenazah Jenderal Simon Hendrik Spoor—panglima tertinggi tentara Kerajaan Belanda di Hindia Belanda (1945–1949)—disemayamkan dengan segala kehormatan negara. Di Ereveld Menteng Pulo, makamnya terawat rapi, diberi nomor 1.1. Ratu Juliana berkabung, bendera setengah tiang berkibar, dan rombongan wisatawan Belanda berziarah dengan bisikan lirih: “pahlawan yang dikhianati politik.” Bagi negeri penjajah, Spoor adalah simbol pengorbanan militer yang ditelan intrik diplomasi internasional.


Namun, jauh di Sipirok, tanah Batak yang penuh luka kolonial, narasi lain ditulis. Sahala, seorang pemuda laskar, gugur ketika menyerang konvoi militer Belanda di Jembatan Nadua, Dolok Simago-mago, Desa Mandurana. Pada nisannya, kalimat sederhana terpahat: “Gugur Membunuh Macan Belanda.” Bagi rakyat setempat, inilah keadilan yang lahir dari darah: sang penjajah ditumbangkan oleh keberanian anak kampung. Dua makam itu menjadi saksi: satu dilindungi megah oleh negara bekas penjajah, satu lagi hanya dijaga doa dan ingatan rakyat.


Pertarungan narasi inilah yang kerap dilupakan. Di buku-buku sejarah Belanda, Spoor dikenang sebagai korban politik, bahkan dispekulasikan tewas karena diracun. Tetapi bagi rakyat Sipirok, kisahnya lain: sang jenderal mati oleh peluru laskar, bukti nyata bahwa perlawanan rakyat tak hanya simbolis, tetapi juga menorehkan luka serius pada tubuh kolonial. Sejarah kolonial selalu berusaha meredam suara desa, suara laskar, suara yang lahir dari tanah perlawanan.


Di sinilah ironi sejarah Indonesia terbentang. Makam Spoor tetap menjadi destinasi memorial, dijaga protokol negara, sedangkan makam Sahala hanya dikenang secara lokal, tanpa liputan media, tanpa upacara kenegaraan. Narasi yang resmi kerap mengangkat tokoh kolonial, sementara pengorbanan rakyat kecil diabaikan dari panggung besar republik. Pertanyaan yang menggantung: siapa sesungguhnya yang berhak atas gelar pahlawan?


Dua jasad, dua lanskap, dua sejarah—begitulah realitas memori kita. Sejarah tidak hanya ditulis oleh negara, tetapi juga oleh rakyat di desa yang berani menghadang konvoi kolonial dengan senjata seadanya. Narasi Sahala mungkin tak tercatat dalam arsip resmi Den Haag, tetapi ia hidup dalam ingatan rakyat Sipirok. Di titik inilah sejarah harus dirawat: dengan mengakui bahwa kemerdekaan bukan hanya hasil perundingan diplomatik, melainkan juga darah yang tumpah di jembatan kecil bernama Nadua.


Pertarungan Narasi


Kematian Jenderal Simon Hendrik Spoor pada 25 Mei 1949 di Batavia menyisakan ruang gelap dalam sejarah. Jurnalis kolonial kala itu justru menulis dengan nada saling bertolak belakang. Harian Provinciale Zeeuwse Courant menepis kabar Spoor ditembak sebagai “hoax Republiken,” sementara mingguan Varie menegaskan ia tewas dihajar pejuang Tapanuli. Dua media Belanda yang sama-sama berangkat dari pusat kolonial justru menampilkan wajah kebenaran yang saling meniadakan.


Kesaksian lapangan menambah keruwetan. Mayor Bedjo, salah seorang perwira TNI, mengaku melihat sendiri tubuh Spoor terjungkal dari jip dengan seragam basah oleh darah. Namun bantahan datang dari Dr. Vink, dokter militer Belanda di Batavia, yang menyatakan Spoor meninggal bukan karena luka tembak, melainkan serangan jantung mendadak. Dua narasi ini kemudian membentuk poros pertentangan: apakah Spoor gugur sebagai korban peluru republik, atau tumbang oleh kelelahan dirinya sendiri.


Sejarawan Belanda cenderung menutup versi luka tembak dengan menegaskan bahwa jenderal mereka mati akibat serangan jantung. Sebaliknya, sejarawan Indonesia justru membaca logika lain. Jika memang tidak ada peristiwa kontak senjata, mengapa Belanda begitu cepat mengeksekusi Sahala Muda Pakpahan—pemuda Sipirok yang dituding menembak Spoor—tanpa proses panjang? Eksekusi kilat itu sendiri sudah menjadi isyarat adanya sesuatu yang ingin segera ditutup rapat.


Pertarungan narasi ini menunjukkan bagaimana sejarah bukan hanya soal fakta, tetapi juga arena kuasa. Belanda berusaha menjaga martabat militernya dengan menolak kemungkinan jenderal besarnya gugur di tangan republik, sementara Indonesia menyimpan kebanggaan tersembunyi atas keyakinan bahwa ada anak muda Tapanuli yang sempat menjatuhkan sang panglima perang. Kebenaran tetap terpecah, tetapi narasi itu sendiri sudah menjadi bagian dari medan perjuangan bangsa.


Antara Fakta dan Simbol


Sejarah kerap berdiri di persimpangan antara fakta dan simbol. Di satu sisi, catatan resmi kolonial menyebut Jenderal Simon Hendrik Spoor wafat pada Mei 1949 karena kelelahan dan sakit dalam memimpin agresi militer Belanda. Di sisi lain, ingatan rakyat Sipirok menyimpan narasi berbeda: bahwa Spoor gugur dalam serangan gerilyawan muda Sahala Muda Pakpahan. Dua versi ini mungkin tak pernah sepenuhnya dipertemukan, tetapi keduanya memperlihatkan bagaimana sejarah dibentuk oleh perspektif, kuasa, dan ingatan kolektif.


Di Belanda, Spoor dipuja sebagai pahlawan yang berkorban di tanah jajahan, sebuah citra yang menopang narasi “misi peradaban” kolonial. Namun di Indonesia, khususnya di Sipirok, tokoh muda Sahala tampil sebagai simbol perlawanan rakyat—seorang pemuda bersenjata sederhana yang mampu menandingi militer modern. Kontradiksi ini bukan sekadar pertentangan data, melainkan pertarungan makna: siapa yang dianggap pahlawan, siapa yang ditulis sebagai pelaku utama, dan siapa yang dikesampingkan dalam arsip sejarah resmi.


Forum Pemuda Peduli Sipirok Narobi (FPPSN) kini menggugat keheningan itu dengan mendorong Sahala Muda Pakpahan ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional. Upaya ini bukan sekadar soal penghargaan simbolik, melainkan juga pemulihan martabat sejarah lokal yang terpinggirkan. Jika Belanda membangun monumen untuk Spoor, mengapa Indonesia tak memberi ruang yang sama bagi Sahala, yang berjuang di tanah kelahirannya dengan keyakinan membela republik muda?


Buku “Sahala Sipirok dalam Pusaran Sejarah Revolusi Fisik” karya Budi P. Hatees menegaskan bahwa narasi heroik ini terus hidup dalam ingatan rakyat, meski arsip resmi kerap mengaburkannya. Inilah tantangan bangsa dalam membaca sejarah: berani mengakui bahwa ingatan rakyat sama sahihnya dengan catatan negara. Menetapkan Sahala sebagai Pahlawan Nasional bukan hanya mengoreksi ketimpangan sejarah, tetapi juga menegaskan bahwa republik berdiri berkat darah dan keberanian anak-anak muda desa, bukan semata strategi elite dan dokumen diplomasi.


Epilog: Kabut yang Tak Pernah Usai


Hari ini, makam Spoor di Menteng Pulo masih dijaga sejarah resmi dengan segala kehormatannya, lengkap dengan nisan bergaya militer dan bunga yang tak pernah absen. Di Simago-mago, makam Sahala hanya dikelilingi pinus dan sunyi, nyaris terlupa dari peta besar republik. Kontras itu mengingatkan kita, betapa sejarah selalu memilih siapa yang ditulis dan siapa yang dihapus dari halaman.


Namun, ingatan rakyat tak bisa sepenuhnya dibungkam. Di Sipirok, nama Sahala tetap hidup dalam bisik-bisik warung kopi dan cerita turun-temurun. Bagi mereka, ia bukan sekadar laskar muda yang gugur, melainkan simbol keberanian rakyat kecil yang menghadapi mesin perang kolonial. Di titik inilah, klaim resmi tentang “kematian karena serangan jantung” terasa kian absurd—kabut yang sengaja dipelihara untuk menutupi retaknya narasi kolonial.


Sejarah memang licin. Ia sering ditulis dengan tinta kekuasaan, bukan dengan darah yang tumpah di bumi. Seorang pejuang tua pernah menulis getir: “Sejarah adalah mayat yang diceritakan oleh pemenang. Tapi kadang, yang kalah punya kisah yang lebih heroik.” Kalimat itu menohok, sekaligus menjadi penanda bahwa kebenaran sejarah tak pernah tunggal.


Dan penulis mesti berucap: kematian seorang jenderal dari bangsa yang 350 tahun menjajah memang luka yang sukar ditutupi, apalagi jika ia jatuh di tangan laskar muda yang tak pernah sekolah perang. Di mata rakyat Sipirok, Jenderal Simon Hendrik Spoor bukan mati karena penyakit, melainkan roboh oleh peluru perlawanan saat konvoi di jalan berliku Tapanuli Selatan. Kabut sejarah mungkin belum terurai, tetapi ingatan rakyat akan selalu menyalakan obor kebenaran.


Demikian 


Penulis Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH, adalah Praktisi Hukum, Aktivis Musyawarah Rakyat Banyak dan Wakil Sekretaris Bidang Hukum Dan HAM MW KAHMI Sumut.

_________________


Daftar Pustaka 


Kroef, Justus M. van der. “Spoor, Simon Hendrik (1902–1949): Dutch Commander in Indonesia.” Pacific Affairs 23, no. 3 (1950): 283–289.


Nasution, Abdul Haris. Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia. Jilid 3. Bandung: Disjarah AD, 1978.


Budi P Hatees, "Sipirok Dalam Pusaran Sejarah Revolusi Fisik 1946-1949",Antara News sumut,https://sumut.antaranews.com ›


Misteri Terakhir Sang Jenderal : Dua Makam, Dua Cerita,https://www.facebook.com/share/p/16tCyJCvSy/

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)