Dies Natalis USU: Menjelang Penangkapan Rektor USU Kasus Korupsi Jalan di Sumatera

Media Barak Time.com
By -
0





Selayang Pandang


Universitas Sumatera Utara (USU) memasuki usia ke-73 di tengah sorotan publik yang tajam. Alih-alih hanya disibukkan oleh semarak Dies Natalis, perhatian kini tertuju pada pemanggilan Rektor USU, Prof. Dr. Muryanto Amin, oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait kasus dugaan korupsi proyek jalan di Sumatera. Bagi masyarakat akademik, ini bukan sekadar isu hukum, melainkan ujian moral yang menyingkap rapuhnya integritas kepemimpinan di lembaga pendidikan tinggi.


Kampus, yang seharusnya menjadi benteng ilmu pengetahuan dan teladan etika publik, justru berpotensi terseret dalam pusaran praktik kotor yang selama ini menjerat birokrasi dan politik. Jika benar seorang rektor terindikasi dalam perkara korupsi, maka kerusakan yang ditimbulkan tidak hanya menyangkut kerugian negara, melainkan juga kehancuran simbol kepercayaan masyarakat terhadap dunia akademik. Di titik ini, USU berhadapan dengan paradoks: merayakan capaian usia emas sambil menanggung stigma integritas yang tercoreng.


Momentum Dies Natalis mestinya dimaknai sebagai refleksi akademik dan pengabdian sosial. Namun, realitas hukum menuntut lebih: keberanian universitas untuk menegaskan bahwa integritas institusi lebih utama daripada figur. Jika USU ingin tetap berdiri sebagai mercusuar moral di Sumatera, maka kampus tidak boleh menutup mata atas proses hukum yang berjalan. Justru, kesediaan untuk tunduk pada asas keadilan akan menjadi bukti bahwa ilmu dan moral tidak hanya diajarkan di ruang kuliah, tetapi juga dipraktikkan di ruang kepemimpinan.


Kampus dan Bayang-Bayang Korupsi


Dalam teori hukum pidana, korupsi dikategorikan sebagai extraordinary crime—kejahatan luar biasa yang merusak tatanan sosial, ekonomi, hingga moral bangsa. KUHP bahkan menempatkan delik korupsi dalam ruang lingkup tindak pidana khusus, diperkuat dengan lahirnya UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam norma hukum ini, siapapun yang secara langsung maupun tidak langsung menyalahgunakan kekuasaan untuk memperkaya diri atau orang lain dengan merugikan keuangan negara, dapat dijerat pidana.


Pertanyaannya, bagaimana jika dugaan keterlibatan itu menyeret seorang rektor? Seorang akademisi yang mestinya menjadi simbol integritas, kini justru berdiri di depan sorotan hukum pidana. USU bukan hanya sedang menghadapi ujian akademik, tetapi juga ujian moralitas.


Rektor dalam Pusaran Hukum


Pemanggilan rektor oleh KPK memang baru dalam kapasitas saksi. Namun, secara teori hukum pidana, keterlibatan seseorang dalam suatu perkara korupsi bisa berkembang dari status saksi menjadi tersangka jika terdapat bukti permulaan yang cukup. Hal ini sesuai dengan Pasal 184 KUHAP yang mengatur lima alat bukti sah: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.


Apabila rektor kelak ditetapkan sebagai tersangka, konsekuensinya bukan sekadar personal. Nama baik universitas ikut tercoreng. Di sinilah prinsip individual liability (pertanggungjawaban pidana perorangan) bersinggungan dengan institutional responsibility. Universitas memang tidak bisa dipidana, tetapi reputasinya menjadi collateral damage dari perilaku individu yang memimpin.


Momentum Dies Natalis yang Ironis


Dies Natalis seharusnya menjadi momentum refleksi: sejauh mana USU mengabdi bagi ilmu pengetahuan dan masyarakat. Namun, bayang-bayang pemanggilan rektor justru menodai semangat akademik. Ironis, di saat kampus merayakan usia matang, integritas akademiknya tengah dipertaruhkan.


Teori deterrence dalam hukum pidana mengingatkan bahwa hukuman bukan hanya untuk pelaku, tetapi juga berfungsi sebagai efek jera bagi publik. Jika seorang rektor akhirnya dijerat hukum, maka pesan moral yang sampai ke masyarakat jelas: siapapun, tak peduli jabatan dan kedudukannya, tidak kebal hukum.


Menjaga Marwah Akademik


Dalam tradisi akademik, integritas adalah harga mati. Kampus tidak boleh menjadi benteng pembenaran bagi perilaku menyimpang. Karena itu, langkah menonaktifkan rektor saat proses hukum berjalan bukan sekadar etika, melainkan kebutuhan menjaga marwah institusi. Universitas harus lebih besar dari individunya.


Hukum pidana mengajarkan equality before the law—semua orang sama di hadapan hukum. Jika seorang mahasiswa bisa di-drop out karena kasus plagiarisme, mengapa seorang rektor tidak bisa dinonaktifkan saat berhadapan dengan kasus korupsi? Prinsip keadilan menuntut konsistensi.


Jalan Panjang Antikorupsi


Kasus yang membelit Universitas Sumatera Utara hanyalah puncak dari gunung es: relasi rapuh antara dunia akademik dan politik anggaran. Banyak perguruan tinggi negeri yang semestinya steril dari praktik kotor justru terjebak dalam proyek infrastruktur yang sarat permainan rente. Dalam perspektif hukum pidana, inilah wajah state capture corruption—ketika birokrasi dan pendidikan tersandera kepentingan uang dan kekuasaan. Maka, tanggung jawab pemberantasan tidak bisa hanya dipikul KPK, tetapi juga harus lahir dari keberanian sivitas akademika menegakkan standar moral lebih tinggi dari sekadar prosedur hukum.


Dies Natalis USU tahun ini mestinya menjadi momentum kontemplasi, bukan sekadar perayaan seremonial. Ia harus menjawab pertanyaan fundamental: apakah universitas akan berdiri tegak sebagai mercusuar pengetahuan dan etika, atau menyerah pada pragmatisme kekuasaan? Jalan akademik yang bersih menuntut keberanian untuk menanggalkan figur yang terindikasi mencederai integritas, bahkan jika ia adalah rektor sekalipun. Sebab, reputasi universitas tidak boleh dikorbankan demi kepentingan individu.


Bayangkan ironi yang bisa terjadi: hanya berselang hari setelah dies natalis, seorang rektor berdiri di hadapan publik dengan baju oranye dan tangan terborgol. Gambaran itu bukan sekadar drama hukum, melainkan tragedi moral yang akan menodai nama baik kampus selama bertahun-tahun. Karena itu, USU harus memilih dengan tegas: melindungi marwah akademik atau membiarkan sejarah mencatat bahwa universitas sebesar ini tunduk pada kabut korupsi.


Penutup


Sejarah perguruan tinggi di Indonesia selalu lekat dengan peran moralnya. Jika USU ingin tetap di kenang sebagai pelopor ilmu pengetahuan di Sumatera, maka langkah berani harus diambil. Menjelang Dies Natalis ini, kampus punya pilihan: menutup mata atas kasus hukum yang membelit pimpinannya, atau menegakkan keadilan demi menjaga marwah akademik.


Demikian 


Pernyataan Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH, adalah Praktisi Hukum, Alumni Fakultas Hukum USU Stambuk' 92 Dan Ketua  Forum Penyelamat USU. 

___________


Daftar Pustaka


Andi Hamzah. Pemberantasan Korupsi melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005.


Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Laporan Tahunan KPK 2023. Jakarta: KPK RI, 2024.


Muladi dan Barda Nawawi Arief. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. Bandung: Alumni, 2010.


Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 No. 140.


Republik Indonesia. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Jakarta: Sekretariat Negara, 1981.


Transparency International. Corruption Perceptions Index 2024. Berlin: Transparency International, 2025.


Kompas. “Rektor USU Dipanggil KPK dalam Kasus Korupsi Jalan di Sumatera.” Harian Kompas, 16 Agustus 2025.

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)