80 Tahun RI, Tanah Masih Dikuasai Korporasi: Negara Gagal Menepati Janjinya pada Rakyat Penunggu

Media Barak Time.com
By -
0

 




Selayang Pandang


 “Tanah bukan sekadar ruang hidup, melainkan napas peradaban. Bila tanah adat di rampas, maka manusia di rampas dari hubungan magis, religius dan sejarahnya.”


Republik Indonesia telah memasuki usia 80 tahun. Namun, sejarah belum benar-benar berpihak pada rakyat, terutama masyarakat adat Melayu di Sumatera Timur. Mereka masih hidup dalam bayang-bayang konsesi kolonial yang direproduksi oleh negara sendiri melalui kebijakan agraria yang lebih melayani korporasi dibanding warga. Di tanah-tanah bekas Karesidenan Sumatera Timur yang dulu dipenuhi kerajaan Melayu, seperti Deli, Serdang, Langkat, hingga Panai dan Batubara, rakyat seperti tak pernah benar-benar merdeka.


Kawasan ini, yang awalnya bagian dari Residentie Riau, kemudian dipisah pada tahun 1873 menjadi Residentie Oostkust van Sumatera. Wilayah ini tidak hanya mencakup Medan, Langkat, Asahan, Serdang, dan Deli, tetapi juga kerajaan-kerajaan Melayu lain seperti Siak, Gunung Sahilan, Tambusai, Kunto Darussalam, dan Kepenuhan. Namun pada 1 Januari 1940, kerajaan-kerajaan Melayu itu dilepaskan dan digabung ke wilayah baru: Kerajaan Melayu Riau.


Sejarah pemetaan ini penting karena menunjukkan bahwa sebelum negara hadir dengan institusi modernnya, tanah-tanah ini telah dikelola oleh masyarakat adat melalui struktur kerajaan dan kedatukan. Mereka bukan penghuni liar. Mereka adalah bagian sah dari sejarah penguasaan wilayah yang di kemudian hari dilanggar oleh sistem Hak Guna Usaha (HGU), sebuah produk kolonial yang kini diwarisi oleh negara.


BPRPI: Perlawanan Adat atas Penegasian Tanah Ulayat


Kehadiran Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI) bukanlah reaksi instan. Ia adalah manifestasi dari sejarah panjang pengingkaran terhadap perjanjian adat yang telah disahkan dalam Akte Konsesi antara Kesultanan Deli dan perusahaan perkebunan Belanda sejak 1874.


Dalam akta itu termaktub hak-hak agraria masyarakat Melayu Deli—yang kini dikenal sebagai Rakyat Penunggu—untuk bercocok tanam palawija selama masa bera, saat tanah tembakau dibiarkan kosong. Sistem ini merupakan bagian dari rotasi tanam khas perkebunan tembakau Deli yang terkenal di dunia. Namun, pasca nasionalisasi 1958, ketika lahan eks-konsesi jatuh ke tangan PT Perkebunan Nusantara II (Persero), hak-hak itu dilenyapkan begitu saja oleh negara.


Ironisnya, negara bukan hanya lalai melindungi hak-hak historis rakyat adat. Ia menjadi aktor aktif dalam pemutusan hubungan rakyat dengan tanah leluhur mereka. BPRPI sendiri lahir pada 1956, bahkan sebelum nasionalisasi, sebagai respons terhadap pengusiran rakyat dari tanah-tanah jaluran—wilayah penyangga kehidupan yang telah digarap turun-temurun. Dididirikan oleh Ustaz Abdul Kadir Nuh, organisasi ini bukan kelompok liar, melainkan diresmikan oleh Sultan Deli di Istana Maimoon. Ini menegaskan bahwa perjuangan BPRPI berakar pada legitimasi adat dan sejarah yang sah.


Namun kekuatan historis itu tak pernah diindahkan negara. Dengan bersandar pada dalih hukum formalistik, negara menempatkan rakyat adat sebagai penyusup di tanahnya sendiri. Padahal, Akte Konsesi adalah perjanjian perdata murni yang memuat hak dan kewajiban timbal balik. Sebagai dokumen hukum, ia tidak kehilangan daya ikat hanya karena usianya. Negara mestinya menghormati akta itu sebagaimana prinsip pacta sunt servanda—perjanjian harus ditepati. Mengabaikannya berarti menjadikan negara sebagai pewaris semangat kolonial, bukan pelurus sejarah.


Konflik antara BPRPI dan PTPN II yang telah berlangsung lebih dari 70 tahun bukan sekadar soal klaim kepemilikan tanah. Ini adalah konflik legitimasi antara hukum negara yang berwatak positifistik dan hukum adat yang berakar pada sejarah dan moralitas lokal. Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 yang seharusnya menjadi jembatan antara keduanya malah terjebak dalam tafsir sempit hukum warisan Belanda. Hukum adat diakui, namun dikerdilkan oleh aturan turunan yang mengutamakan sertifikat dan legalitas formal.


Tanah, dalam konteks ini, tidak lagi dipahami sebagai ruang hidup, melainkan komoditas. Negara berdiri bukan di tengah sebagai penengah, melainkan sebagai pihak yang memihak pada kapital. Apalagi ketika ada pihak yang mengenakan jubah bangsawan adat—Tuan Ku—untuk menggugat rakyat sendiri demi jalan negosiasi dan kompensasi. Maka, tragedi agraria ini menjadi potret jelas kolonialisme gaya baru, di mana konsesi tidak lagi berbentuk plakat perjanjian, tapi surat keputusan yang disahkan atas nama pembangunan.


BPRPI berdiri sebagai simbol perlawanan terhadap itu semua. Ia menegaskan bahwa tanah bukan milik negara, bukan milik korporasi, tapi milik masyarakat adat dari rakyat penunggu yang telah menjaga, mengolah, dan menghidupi tanah itu selama berabad-abad. Jika negara terus menutup mata dan memaksakan instrumen hukum yang kosong dari keadilan, maka tudingan bahwa kolonialisme hari ini hadir dalam wujud BUMN bukanlah hiperbola—melainkan kenyataan yang telanjang.


Perjuangan BPRPI adalah pertanyaan besar bagi kita semua: untuk siapa tanah ini merdeka? Jika rakyat penunggu masyarakat adat terus dipinggirkan, maka kemerdekaan yang dibanggakan tiap 17 Agustus hanyalah seremoni tanpa substansi. Dan selama itu pula, republik ini masih berhutang kepada rakyatnya sendiri.


Negara Melegitimasi, Tapi Tak Menunaikan


Konflik agraria antara BPRPI (Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia) dan PT Perkebunan IX (PTP IX) bukan sekadar perselisihan tanah, melainkan potret telanjang kegagalan negara dalam menunaikan keadilan agraria. Sejak 1964, masyarakat Penunggu yang telah mengelola tanah secara turun-temurun terus menyuarakan hak mereka. Ironisnya, negara yang semestinya menjadi pelindung hak rakyat, justru hanya berhenti pada pengakuan administratif tanpa aksi nyata di lapangan.


Tahun 1980 menjadi momen penting ketika Surat Gubernur Sumatera Utara No. 14233/1980 memerintahkan agar tanah kosong bekas HGU PTP IX diserahkan kepada BPRPI. Ini bukan surat biasa—melainkan perintah struktural dari otoritas daerah untuk memulai proses redistribusi. Tak lama kemudian, Keputusan Mendagri Cq Dirjen Agraria No. 44/DJA/1981 memperkuat mandat itu: 9.085 hektare lahan eks HGU harus diberikan kepada rakyat—2.000 hektare di Langkat, 7.085 hektare di Deli Serdang.


Dokumen ketiga, Surat Kepala Direktorat Agraria No. 592.17321.70/2/1983, mengatur dengan jelas distribusi kepada 32.089 kepala keluarga. Ini adalah peta keadilan yang dirancang negara sendiri. Namun seperti banyak kebijakan agraria lainnya, ia mandek di tataran wacana. Tanah yang telah dijanjikan tetap saja dikunci oleh korporasi, sementara rakyat hanya bisa menatapnya dari luar pagar.


Pengakuan legal tanpa eksekusi hanyalah tipu daya administratif. Ia memberikan harapan, tapi juga menegaskan bahwa birokrasi kita lebih lihai menunda daripada menyelesaikan. Negara, dalam hal ini, telah melegitimasi perjuangan rakyat penunggu, namun tidak pernah benar-benar menunaikan janjinya.


Delapan dekade kemerdekaan seharusnya menjadi momen reflektif: apakah negara ini masih setia pada mandat konstitusionalnya, atau justru telah berubah menjadi alat pelindung bagi kepentingan modal, meninggalkan rakyat yang dulu menjadi fondasi perjuangan bangsa.


Negara Membisu, Korporasi Berkuasa


Fakta bahwa redistribusi tidak kunjung terjadi hingga pertengahan 1990-an adalah ironi besar. Sebaliknya, justru korporasi perkebunan negara terus memperluas klaimnya, bahkan tanpa dasar hukum yang sah. Negara diam. Sementara masyarakat ditekan, dimarjinalkan, bahkan dikriminalisasi.


Pada 6 Agustus 1996, BAKORSTANAS Daerah Sumatera Bagian Utara mengundang Ketua BPRPI ke rapat koordinasi di Makodam I/BB. Pertemuan ini tidak biasa. Keterlibatan militer dalam urusan agraria memperlihatkan betapa konflik ini bukan soal sengketa lahan biasa, tetapi telah menjadi persoalan struktural yang menyentuh akar relasi kuasa antara negara, korporasi, dan rakyat penunggu masyarakat adat Melayu Deli.


Redistribusi Yang Tak Pernah Nyata


Rangkaian dokumen dari 1980 hingga 1996 semestinya cukup menjadi dasar bagi negara untuk menunaikan kewajiban moral dan yuridisnya. Tapi sampai hari ini, rakyat penunggu masih menunggu. Tanah yang seharusnya menjadi sumber hidup justru dikuasai oleh entitas ekonomi yang mengklaim legalitas, padahal keabsahan historis dan sosialnya sudah lama gugur.


Lebih dari itu, negara telah gagal menjawab amanat konstitusi, khususnya Pasal 33 UUD 1945, yang menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Apakah penguasaan oleh PTP IX sekang menjadi PTPN 1 lebih mencerminkan kemakmuran rakyat dibanding redistribusi kepada angota masyarakat adat yang tergabung dalam BPRPI, dimana telah hidup dan berjuang sebagai rakyat penunggu, sejak tahun 1953.


Peringatan 80 Tahun Kemerdekaan Yang Pahit


Delapan dekade setelah Indonesia merdeka, masyarakat Melayu di Deli dan sekitarnya justru dihadapkan pada ironi sejarah: tanah yang menjadi warisan leluhur dan ruang hidup turun-temurun kini dianggap sebagai milik negara atau aset korporasi. HGU yang diterbitkan atas nama pembangunan tak lebih dari instrumen pemutusan memori sejarah. Padahal, tanah-tanah itu tak pernah kosong tanpa HGU. Ia menyimpan jejak budaya, struktur sosial, dan sistem agraria adat yang sudah ada jauh sebelum republik berdiri.


Data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat bahwa konflik agraria di sektor perkebunan menjadi salah satu penyumbang terbesar sengketa lahan nasional. Dari 212 letusan konflik agraria sepanjang 2023, sebagian besar terjadi di wilayah konsesi BUMN perkebunan. Sumatera Utara, khususnya Deli Serdang dan Langkat, menjadi titik panas lama yang belum pernah benar-benar dipadamkan. Dalam lanskap ini, rakyat penunggu masyarakat adat Melayu Deli seperti BPRPI tak pernah menuntut lebih—mereka hanya ingin tanah adatnya kembali sebagai ruang hidup yang berhubungan magis,relegius dan historis.


Sayangnya, negara terus terjebak dalam pendekatan legal-formal yang kering dari rasa keadilan. HGU yang sudah habis  dan sudah alih fungsi dari tanaman perkebunan berubah menjadi pengelola bangunan yang tidak pernah dibicarakan di dewan perwakilan rakyat ,-dan sertifikat alih fungsi yang diagunkan disendikasi bank diperlakukan sebagai alat legitimasi tunggal, sementara sejarah dan hukum adat dianggap noise dalam wacana pertanahan. 


Padahal, UUPA 1960 secara tegas mengakui eksistensi hukum adat sebagai sumber hukum agraria nasional. Sayangnya, pasal demi pasal dalam UUPA justru dikerdilkan oleh tafsir birokratis yang menempatkan negara sebagai pemilik tunggal untuk diserahkan pada korporasi swasta.


Kini, saat bangsa memperingati 80 tahun kemerdekaan, negara tak bisa lagi bersembunyi di balik dalih hukum kekuasan yang tidak berdasar. Keadilan substantif harus menjadi dasar penyelesaian. Itu berarti pengakuan atas tanah adat masyarakat Melayu  Deli - Langkat, penyelesaian konflik berbasis rekognisi sejarah, redistribusi aset yang adil, serta penguatan kelembagaan rakyat penunggu pada anggota masyarakat adat seperti BPRPI. Tanpa itu, kemerdekaan yang dirayakan setiap 17 Agustus hanya akan menjadi seremoni tahunan—sementara rakyat adat tetap menjadi penonton pada tanahnya sendiri.


Penutup: Bukan Sekadar Tanah, Ini Soal Martabat


Perjuangan BPRPI bukan semata urusan hektare atau legalitas kepemilikan. Ini adalah perkara martabat rakyat adat yang dipinggirkan oleh negara yang mestinya melindungi. Jika negara abai pada dokumen resmi, menutup mata terhadap sejarah, dan menjadikan janji hanya sebagai retorika, maka pertanyaannya bukan lagi soal hukum—tapi soal kemanusiaan. Kedaulatan agraria seharusnya tak berakhir pada lembar sertifikat yang cenderung sulap  (tanah perkembunan menjadi bangunan) dan acamanan senjata, pengusiran serta kriminalisasi, tapi bermuara pada keberpihakan pada rakyat penungggu masyarakat adat Melayu Deli.


Sudah delapan dekade berlalu sejak republik ini berdiri, namun anggota  masyarakat adat yang tergabung dalam rakyat penunggu BPRPI, dimana masih menanti keadilan yang tak kunjung datang. Di tengah penantian itu, justru muncul paradoks: Tuan Ku (elite adat) yang seharusnya menjadi penjaga tanah ulayat malah berdiri di pengadilan menggugat tanah leluhurnya sendiri. Gugatan di pengadilan yang seolah mewakili adat, namun pada hakikatnya melakukan jalan negosiasi untuk memperkaya dirinya, dimana telah mengorbankan perjuangan anggota masyarakat adat dalam menegakkan tanah ulayatnya.


Tanah bagi anggota masyarakat adat BPRPI bukan alat produksi, melainkan sebagai alas produksi dimana menjadi ruang hidup yang terikat relasi magis dan religius. Tanah adalah identitas. Maka ketika tanah itu hilang dan dirampas bukan hanya ruangnya yang hilang, tetapi juga jiwa. Jika negara tetap memilih diam, maka sejarah akan mencatat bahwa kemerdekaan ini belum selesai—dan bangsa ini masih berutang kepada rakyatnya sendiri. 'Hentikan menari-nari di atas penderitaan perjuangan rakyat penunggu.

Akhirnya rakyat penunggu masyarakat adat melayu yang tergabung dalam BPRPI menegaskan 'Tak Melayu Hilang di Bumi'


Demikian.


Penulis Advokat. M.Taufik Umar Dani Harahap,SH.

Praktisi Hukum, Mantan Tenaga Ahli Komisi II DPR RI, Aktivis Musyawarah Rakyat Banyak, Anggota Badan Perkumpulan KontraS Sumut dan Wakil Sekretaris Bidang Hukum Dan HAM MW KAHMI Sumut.

______________


Daftar Pustaka


Pemerintah Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Lembaran Negara RI Tahun 1960 No. 104.


Surat Gubernur Sumatera Utara No. 14233/1980


Keputusan Mendagri Cq Dirjen Agraria No. 44/DJA/1981


Surat Kepala Direktorat Agraria No. 592.17321.70/2/1983


Arsip Undangan BAKORSTANAS No. B/361/VIII/1996


Data sejarah Residentie Oostkust van Sumatera (1873–1940)


Barak Time. “80 Tahun RI, Masyarakat Melayu Masih Tergusur: BPRPI dan Mimpi yang Tak Pernah Merdeka.”

https://www.baraktime.com/2025/08/80-tahun-ri-masyarakat-melayu-masih.html


Komnas HAM. Laporan Tahunan Komnas HAM: Konflik Agraria dan Hak Masyarakat Adat. Jakarta: Komnas HAM RI, 2021.


Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). Catatan Akhir Tahun 2023: Reforma Agraria dalam Ancaman Oligarki. Jakarta: KPA, 2024. https://kpa.or.id/publikasi/baca/laporan/1295/Catatan-Akhir-Tahun-2023-KPA

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)