Sumatera Utara tengah menghadapi darurat kemanusiaan yang memprihatinkan. Sepanjang tahun 2024, tercatat 2.978 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Angka ini bukan sekadar statistik, melainkan cermin retaknya jaring perlindungan sosial yang mestinya menjamin rasa aman bagi kelompok rentan. Ironisnya, dari ribuan kasus tersebut, hanya sekitar 65 persen yang berhasil ditangani. Artinya, sepertiga lebih sisanya mengendap tanpa kejelasan proses hukum maupun pemulihan bagi korban.
Fenomena ini bukan hal baru. Kekerasan terhadap anak dan perempuan di Sumatera Utara tumbuh dalam sistem yang permisif terhadap pelaku dan abai terhadap korban. Banyak korban mengalami reviktimisasi—diinterogasi dengan cara menyudutkan, minim pendampingan psikologis, hingga terhambatnya akses terhadap keadilan hukum. Negara tampak lamban merespons, bahkan kerap tertinggal dari inisiatif komunitas sipil yang bergerak dengan sumber daya terbatas.
Data dari siaran pers Kemenko Polhukam No.115/SP/HM.01.02/POLKAM/6/2025 mengungkap bahwa sepanjang tahun lalu, terdapat pula 24 kasus perdagangan orang di wilayah Sumut, melibatkan 38 tersangka dan menyelamatkan 113 korban. Korban terbanyak berasal dari modus pengiriman Pekerja Migran Indonesia (PMI) secara ilegal serta eksploitasi seksual terhadap anak. Ini adalah bukti telanjang bahwa sindikat kejahatan terorganisir menjadikan Sumut sebagai lintasan gelap perdagangan manusia.
Celakanya, banyak dari kasus tersebut berlangsung dalam senyap. Korban—terutama anak-anak—jarang memiliki keberanian bersuara, terlebih ketika pelaku adalah orang terdekat atau berasal dari lingkungan pendidikan dan keluarga. Hal ini diperparah oleh minimnya literasi hukum dan akses layanan bantuan hukum di daerah-daerah pinggiran. Padahal, Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (yang telah diperbarui melalui UU No. 35 Tahun 2014) jelas menegaskan kewajiban negara dalam melindungi anak dari segala bentuk kekerasan, baik fisik, psikis, seksual, maupun eksploitasi.
Namun, implementasinya di Sumut masih jauh panggang dari api. Lembaga-lembaga seperti Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) di tingkat Polres kerap kali kekurangan personel terlatih, anggaran terbatas, dan sering mengabaikan perspektif korban. Akibatnya, banyak kasus yang tidak dilaporkan, tidak diproses tuntas, atau bahkan berakhir dengan damai semu melalui mediasi di luar hukum.
Advokasi hukum terhadap perlindungan anak dan perempuan mensyaratkan pendekatan holistik, bukan hanya hukum represif. Di sinilah peran teori partisipatif seperti Child Protection System (CPS) menjadi krusial, yang menempatkan negara, masyarakat, keluarga, dan anak sebagai subjek aktif dalam membangun ekosistem aman. Sayangnya, model ini belum terintegrasi dalam kebijakan daerah Sumatera Utara secara konsisten.
Masalah struktural lainnya adalah absennya sistem pendataan yang akurat dan terintegrasi antarinstansi. Banyak data kekerasan terhadap anak tersebar di Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, kepolisian, rumah sakit, dan LSM, tanpa mekanisme sinkronisasi yang solid. Ini membuat upaya mitigasi dan intervensi menjadi sporadis dan tidak berbasis bukti.
Pendidikan juga menjadi medan tempur yang diabaikan. Kurikulum sekolah belum sepenuhnya memasukkan pendidikan kesadaran hukum dan perlindungan anak sebagai bagian dari pembentukan karakter. Sementara itu, sebagian guru dan kepala sekolah justru menjadi pelaku kekerasan atau menutup-nutupi kasus di lingkungan sekolah. Ini adalah bentuk kekerasan institusional yang merusak masa depan anak-anak Sumut.
Kita juga tidak bisa mengabaikan faktor budaya patriarkis yang menormalisasi kekerasan terhadap perempuan. Relasi kuasa dalam rumah tangga, tekanan ekonomi, dan pembiaran sosial memperkuat siklus kekerasan. Dalam banyak kasus, perempuan dan anak dipaksa bertahan dalam lingkungan beracun demi menjaga “nama baik” keluarga atau komunitas. Korban dikorbankan dua kali.
Langkah-langkah konkret mesti segera diambil. Pemerintah provinsi harus membentuk gugus tugas darurat kekerasan terhadap anak dan perempuan yang beranggotakan lintas sektor—dari penegak hukum, psikolog, pendamping hukum, hingga aktivis lokal. Selain itu, alokasi APBD untuk layanan perlindungan korban harus ditingkatkan, termasuk layanan shelter, hotline darurat 24 jam, dan sistem pelaporan digital yang ramah anak.
Kepolisian dan kejaksaan juga perlu didorong untuk menggunakan instrumen hukum seperti UU Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) secara progresif. Pelaku harus dihukum berat dan jaringannya diungkap ke publik. Tidak boleh ada impunitas. Sejalan dengan itu, korban mesti mendapatkan restitusi, rehabilitasi, dan jaminan pemulihan.
Kekuatan masyarakat sipil harus dirangkul, bukan dicurigai. Organisasi perempuan, gereja, masjid, dan komunitas lokal telah lama menjadi garda terdepan dalam menyuarakan kekerasan yang terjadi di sekitar mereka. Kolaborasi dengan LSM dan advokat anak bisa menjadi kekuatan strategis dalam membangun sistem deteksi dini dan respons cepat terhadap potensi kekerasan.
Lebih dari itu, Sumatera Utara harus mulai menggeser paradigma: dari reaktif menjadi preventif. Membangun budaya anti kekerasan dimulai dari rumah, sekolah, tempat ibadah, hingga ruang publik. Narasi media pun perlu beralih dari eksploitasi sensasi ke edukasi hukum dan empati korban. Media massa bisa menjadi alat advokasi publik yang mengubah cara pandang masyarakat terhadap kekerasan.
Sumatera Utara tidak bisa terus diam. Kita sedang menyaksikan generasi masa depan yang dirampas hak-haknya dalam sunyi. Anak-anak dan perempuan adalah indikator moral sebuah bangsa. Ketika mereka dilukai tanpa perlindungan, maka seluruh sendi peradaban tengah roboh perlahan. Ini bukan hanya darurat kemanusiaan. Ini adalah ujian bagi negara hukum.
Jika negara tidak hadir, maka hukum hanyalah ilusi. Dan jika masyarakat terus membiarkan kekerasan menjadi rutinitas, maka kita semua bersalah. Sudah waktunya Sumatera Utara bangkit dan berkata cukup.
Demikian.
Penulis Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH, Praktisi Hukum, Koordinator Bidang Advokasi Dan Litgasi Woman Crisis Center Sahabat Forhati Sumut dan Wakil Sekretaris Bidang Hukum Dan HAM MW KAHMI Sumut.
______________
Daftar Pustaka
Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan. Siaran Pers No.115/SP/HM.01.02/POLKAM/6/2025. Jakarta: Kemenko Polhukam, 2025.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Save the Children. Child Protection Systems in Indonesia. Jakarta: SC Indonesia, 2020.
Komnas Perempuan. Catatan Tahunan Kekerasan terhadap Perempuan 2024. Jakarta: Komnas Perempuan, 2025.
Posting Komentar
0Komentar