Stanza Dokter Rizky Ardiansyah: Hak Kebebasan Berpendapat Dalam Triologi Dokumen HAM

Media Barak Time.com
By -
0




Selayang pandang, dr. Rizky Ardiansyah, M.Ked (Ped), Sp.A(K), bukan sekadar dokter anak. Ia teladan intelektual muda dunia medis yang memadukan kepakaran klinis, keberanian moral, dan integritas akademik. Lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara ini dikenal luas sebagai kader terpelajar Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang kritis namun santun. Ia tak hanya menyembuhkan pasien, tetapi juga menyuarakan nurani—bahkan ketika kritik itu diarahkan ke jantung kekuasaan: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.


Sebagai bagian dari tim RSUP H. Adam Malik, dr. Rizky berkontribusi dalam operasi pemisahan bayi kembar siam selama 12 jam yang melibatkan 50 dokter lintas disiplin—suatu prestasi kolektif yang tak ternilai. Namun alih-alih penghargaan, kritik konstruktifnya terhadap sistem pendidikan dokter anak justru dibalas pemecatan dan cap "tidak disiplin". Ini ironi yang menohok: ketika dedikasi dibalas dengan represi.


Dalam negara yang mengklaim diri sebagai demokrasi, kritik mestinya menjadi bagian dari dinamika sehat kehidupan berbangsa. Namun ironi muncul saat seorang dokter spesialis anak, dr. Rizky Ardiansyah, Sp.A, justru diberhentikan dari RSUP H. Adam Malik Medan, dan dicap tidak disiplin, hanya karena menyampaikan pendapatnya secara tertulis terhadap kebijakan Kolegium Ilmu Kesehatan Anak (KKA) di bawah Kementerian Kesehatan RI. Ini bukan sekadar pemecatan administratif, melainkan tamparan terhadap nalar kebebasan sipil.


Apa yang disuarakan Rizky bukan ujaran kebencian, bukan hoaks, bukan juga agitasi liar. Ia menyampaikan kritik berbasis argumen ilmiah terhadap Koligium Kesehatan  Anak (KKA) Kementerian Kesehatan yang menurutnya tidak sejalan dengan prinsip keadilan dan akuntabilitas. Namun sistem menjawab bukan dengan dialog, melainkan stempel “pembangkang”. Bukankah ini justru contoh buruk dari otoritarianisme teknokratis?


Dalam jejak peradaban, hak menyampaikan pendapat dijunjung tinggi oleh nilai-nilai universal. Nilai-nilai Universal ini tercatat dalam Triologi Dokumen Hak Asasi Manusia yakni Piagam Madinah, Bill Of Right dan Dekralasi Umum Hak Asasi Manusia. Piagam Madinah, sebagai dokumen konstitusional pertama dalam sejarah masyarakat madani, menjamin hak setiap kelompok untuk menyuarakan pendapat dan mendapatkan tempat dalam kehidupan bersama. Bahkan di tengah masyarakat multikultural, Nabi Muhammad SAW menjadikan dialog sebagai mekanisme utama dalam menyelesaikan konflik dan menyampaikan kritik.


Di Barat, tradisi ini diteruskan oleh Bill of Rights Inggris (1689) dan Konstitusi Amerika Serikat (1791) yang menjadikan kebebasan berbicara sebagai tiang utama demokrasi. Hal ini kemudian dikukuhkan Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang diturunkan pada International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) 1966 yang telah diratifikasi Indonesia melalui UU No. 12 Tahun 2005. Pasal 19 ICCPR jelas menyatakan bahwa setiap orang berhak menyampaikan pendapat tanpa tekanan.


Namun di Indonesia, kebebasan berpendapat sering kali dipahami sempit dan represif. Aparatur negara, termasuk dalam sistem kesehatan dan pendidikan, masih kerap alergi terhadap kritik. Mereka lupa, bahwa demokrasi bukan hanya soal pemilu lima tahunan, tapi juga ruang yang terbuka bagi pendapat berbeda, termasuk dari seorang dokter spesialis.


Pemecatan dokter Rizky bukan hanya tindakan administratif; ia adalah bentuk penghukuman terhadap kebebasan berpikir. Ketika seorang profesional medis menyampaikan keberatannya secara tertulis dan justru dipecat, maka yang dikriminalisasi bukan tubuhnya, tetapi akal sehatnya. Lembaga pelayanan publik telah berubah menjadi mesin sensor.


Kritik Rizky terhadap Kolegium Ilmu Kesehatan Anak bukanlah bentuk pembangkangan, tapi tanggung jawab intelektual terhadap masa depan profesi dan mutu layanan publik. Menyuarakan ketimpangan atau keganjilan dalam sistem adalah bagian dari etika profesional yang seharusnya diapresiasi, bukan disingkirkan.


Di titik inilah publik harus bersikap. Bila kritik dibalas dengan pemecatan, maka rumah sakit berubah menjadi panggung represi. Jika dunia medis — yang mestinya berbasis sains dan keterbukaan — saja sudah dikekang, bagaimana nasib profesi lain? Ini bukan lagi soal dokter Rizky, tapi tentang nasib kebebasan akademik dan profesional di republik ini.


Lantas, bagaimana kita memaknai Pasal 28E UUD 1945 yang menjamin kebebasan berpendapat? Apakah ia hanya berlaku untuk warga biasa, dan tidak untuk ASN atau profesional? Bila status kepegawaian menjadi alasan untuk membungkam suara, maka yang perlu diperiksa bukan individunya, tetapi sistem hukumnya.


Kejadian ini memperkuat tudingan bahwa Indonesia masih menerapkan budaya feodal dalam birokrasi. Di mana hierarki menjadi tirani, dan kritik dianggap pengkhianatan. Bahkan di dunia kesehatan, yang seharusnya terbuka terhadap inovasi dan evaluasi, justru dijalankan layaknya struktur militeristik tanpa ruang diskusi.


Asas due process of law yang seharusnya menjamin objektivitas dalam pemeriksaan disiplin ASN tampaknya tidak dijalankan secara transparan. Apakah ada forum etik yang melibatkan sejawat? Apakah pendapat Rizky diuji substansinya atau langsung disimpulkan sebagai indisipliner? Bila tidak, maka proses ini cacat dari akar.


Dalam sistem negara hukum yang demokratis, setiap tindakan administratif pemerintah harus memenuhi asas proporsionalitas, rasionalitas, dan akuntabilitas. Tindakan sepihak yang didasarkan pada kekuasaan tanpa landasan hukum yang jelas dan objektif berpotensi menjadi praktik detournement de pouvoir (penyimpangan kekuasaan) dan abuse de droit (penyalahgunaan hak). Ketika otoritas digunakan bukan untuk melindungi kepentingan publik, melainkan untuk membungkam suara-suara kritis yang sah, maka negara telah bergeser dari prinsip hukum menuju praktik otoritarianisme administratif yang membahayakan demokrasi.


Pemecatan seorang dokter dari RSUP H. Adam Malik karena menyampaikan pendapat kritis dan ilmiah terhadap Kebijakan Kesehatan Anak (KKA) yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan bukan hanya eksesif, tapi juga menciptakan preseden buruk dalam tata kelola profesi dan pelayanan publik. Tindakan tersebut mengirim pesan menakutkan bagi para profesional: bahwa integritas, kejujuran, dan tanggung jawab intelektual dapat dibalas dengan sanksi institusional. Dalam jangka panjang, hal ini merusak kultur keilmuan, menggerus ruang kebebasan akademik, dan menjerumuskan institusi negara ke dalam logika kekuasaan yang anti-kritik.


Perlakuan terhadap dokter Rizky juga mencerminkan absennya perlindungan terhadap whistleblower — orang-orang yang justru berani menunjukkan kegagalan sistem dari dalam. Bila negara tidak memiliki skema perlindungan terhadap mereka, maka ia sedang menciptakan zona senyap yang berujung pada stagnasi institusional.


Kementerian Kesehatan RI harus menyadari bahwa mendisiplinkan orang karena kritik tidak akan memperkuat institusi. Sebaliknya, itu justru merusak kepercayaan publik. Masyarakat akan menganggap bahwa sistem kesehatan hanya boleh didukung, tidak boleh diawasi. Padahal esensi pelayanan publik adalah accountability.


Sudah saatnya sistem birokrasi di sektor kesehatan membuka ruang kritik, bukan membungkamnya. Dunia medis bukan milik kolegium semata, melainkan tanggung jawab bersama demi mutu layanan dan keselamatan pasien. Suara dari lapangan seperti Rizky justru harus dijadikan referensi reformasi.


Kita berharap Mahkamah Etik dan lembaga Ombudsman, Komnas HAM, dan publik luas tidak tinggal diam. Kasus ini bukan hanya perkara rumah sakit, tapi cerminan kondisi demokrasi dan perlindungan hak-hak dasar warga sipil di ruang profesional. Bila suara ilmiah dianggap pelanggaran, maka kita sedang menuju negara bisu.


Dalam dunia yang ideal, profesionalisme bertemu dengan kebebasan intelektual. Dalam dunia yang sakit, profesionalisme dibungkam oleh otoritas. Mari kita perjuangkan agar kritik tidak dibalas dengan pemecatan, tetapi dengan perbaikan. Karena sejatinya, bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu mendengar suara dari dalam dirinya sendiri.


Demikian.


Penulis Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH, Praktisi Hukum, Anggota Badan Perkumpulan KontraS Sumut dan Wakil Sekretaris Bidang Hukum Dan HAM MW KAHMI Sumut.

______________


Daftar Pustaka


Asshiddiqie, Jimly. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: Rajawali Pers, 2019.


Hadjon, Philipus M. Perlindungan Hukum bagi Rakyat di Indonesia. Surabaya: Bina Ilmu, 1987.


Kelsen, Hans. General Theory of Law and State. Translated by Anders Wedberg. New York: Russell & Russell, 1961.


United Nations. International Covenant on Civil and Political Rights, 1966.


Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan ICCPR.


Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 28E.


Muhammad Hamidullah. The First Written Constitution in the World: The Constitution of Madina.


The English Bill of Rights, 1689.


Komnas HAM. Panduan Hak Sipil dan Politik di Indonesia.


Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Peraturan Terkait Kolegium dan Pendidikan Kedokteran Spesialis.

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)