Pendahuluan
🔴 'Alarm dari RI: USU Masuk Zona Merah Integritas Akademik'
Pada 9 Juli 2025, Research Integrity Risk Index (RI²)—indeks global yang mengukur integritas akademik—merilis laporan yang mengejutkan. Universitas Sumatera Utara (USU), salah satu perguruan tinggi negeri tertua dan terbesar di luar Pulau Jawa, dinyatakan masuk dalam “zona merah” dengan skor 0,400. Skor ini menjadikan USU sebagai salah satu dari lima kampus Indonesia dengan risiko pelanggaran etika riset tertinggi di dunia.
Kategori “zona merah” bukan sekadar label statistik, tetapi peringatan keras akan krisis integritas ilmiah yang sistemik: plagiarisme, fabrikasi data, dan publikasi di jurnal predator. Praktik-praktik ini tidak lagi insidental, tetapi telah menjalar ke dalam struktur dan budaya akademik, menggerogoti pondasi moral universitas yang seharusnya menjadi benteng keilmuan.
Etika yang Luntur: Tekanan Sistemik dan Budaya Kuantitatif
RI² menggunakan dua indikator utama dalam menetapkan skor integritas: retraction rate (R-rate), yakni rasio penarikan kembali artikel ilmiah karena pelanggaran, dan disreputable publication rate (D-rate), yaitu persentase artikel yang diterbitkan di jurnal tidak bereputasi atau predator. Dalam kedua indikator tersebut, USU menunjukkan angka mengkhawatirkan.
Dosen dan peneliti dihadapkan pada tekanan luar biasa untuk memenuhi target angka kredit publikasi (KUM/BKD). Namun, dalam ketiadaan pendampingan metodologis dan etika yang memadai, kewajiban ini justru memunculkan paradoks: publikasi meningkat secara kuantitatif, tetapi menurun secara kualitas. Jurnal predator menjadi pelarian, bukan karena semangat akademik, tetapi karena keterpaksaan struktural.
Maka, tidak mengherankan bila budaya riset di banyak fakultas beralih dari pencarian kebenaran menjadi perlombaan administratif. Di sinilah letak persoalan utamanya: universitas yang seharusnya menjadi ruang peradaban berubah menjadi pasar gelap publikasi.
Kepemimpinan Akademik yang Diam Saat Badai
Lebih memprihatinkan lagi, hingga laporan ini dirilis, belum ada pernyataan resmi dari Rektor USU, Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM), maupun Dewan Etik Akademik. Padahal, status “zona merah” adalah krisis reputasi yang menyentuh jantung kepercayaan publik terhadap dunia akademik.
Ketiadaan respon ini mencerminkan stagnasi moral di level kepemimpinan. Dalam perspektif sosiolog Prancis Pierre Bourdieu, universitas semestinya menjadi field of autonomy—ruang otonom dengan habitus ilmiah yang menjunjung kejujuran, objektivitas, dan integritas. Namun ketika pimpinan kampus tak mampu atau tak mau bersuara, maka yang tumbuh bukan otonomi, melainkan subordinasi: tunduk pada birokrasi, diam atas pelanggaran.
Ironi ini semakin dalam ketika universitas yang dulu menjadi mercusuar ilmu pengetahuan kini justru kehilangan keberanian etis untuk bersikap. Para pimpinan lebih sibuk menjaga citra institusi ketimbang menyelamatkan substansi akademik. Mereka melupakan bahwa dalam dunia ilmiah, diam bisa berarti turut serta dalam kejahatan epistemik.
Mengancam Asta Cita: Petinggi USU Tidur dan Keadaban Ilmiah dalam Bahaya
Krisis integritas akademik di Universitas Sumatera Utara bukan sekadar kegagalan institusional, tetapi ancaman langsung terhadap misi besar pembangunan nasional. Asta Cita Presiden Prabowo Subianto—khususnya agenda keenam tentang penguatan SDM melalui riset dan pendidikan—berdiri di atas prasyarat yang kini nyaris runtuh: kejujuran ilmiah. Bila salah satu kampus tertua dan terbesar di luar Jawa terjebak dalam zona merah pelanggaran etika, maka kepercayaan terhadap peta jalan pendidikan Indonesia patut dipertanyakan.
Lebih dari itu, publikasi tanpa integritas hanya akan melahirkan ilusi kemajuan. Data dimanipulasi, riset difabrikasi, dan jurnal menjadi sekadar formalitas birokrasi akademik. Dalam kondisi ini, apa yang disebut “inovasi” tak lebih dari statistik palsu yang mengabdi pada target administratif. Akademia tidak lagi menjadi benteng kebenaran, tetapi berubah menjadi industri citra yang membungkus kebusukan sistemik.
Sayangnya, hingga krisis ini mencuat, tak satu pun petinggi USU tampil ke publik dengan sikap transparan. Rektor diam, Dewan Etik pasif, dan LPPM tak bersuara. Ketika elite kampus tertidur di tengah badai etik, maka yang terancam bukan hanya reputasi institusi, tetapi juga keadaban ilmiah yang selama ini dijunjung tinggi oleh dunia pendidikan. Ketidakberanian untuk bertanggung jawab adalah bentuk kemunduran moral dalam wajah birokrasi akademik.
Maka, tak berlebihan jika publik menilai bahwa Asta Cita terancam hanya menjadi slogan kosong tanpa eksekusi bermakna. Visi sebesar “Indonesia Emas” tidak akan pernah terwujud bila kampus-kampus negeri terjerat dalam praktik plagiarisme dan riset bayangan. Saat dunia bergerak menuju ilmu berbasis integritas, Indonesia justru tertinggal oleh kelalaian yang dibiarkan mengakar di jantung universitasnya sendiri.
Jalan Reformasi: Etik, Regulasi, dan Keberanian Moral
Reformasi integritas riset tidak akan pernah berhasil jika dijalankan di atas fondasi kepemimpinan yang lemah secara moral. Publik tentu masih mengingat bahwa Rektor USU saat ini, Muryanto Amin, pernah dijatuhi sanksi atas dugaan plagiarisme dalam proses seleksi jabatan rektor, sebagaimana dilaporkan Kompas pada Januari 2021. Ketika pucuk pimpinan akademik sendiri tercoreng isu etika, sulit berharap universitas mampu berdiri sebagai penjaga kejujuran ilmiah. Di titik ini, krisis bukan hanya struktural, tetapi juga simbolik.
Karena itu, langkah pertama dan paling mendesak adalah pembentukan Satgas Nasional Integritas Riset yang tidak bisa diserahkan hanya kepada Kemenristekdikti, tetapi harus melibatkan BRIN, LLDIKTI, dan unsur masyarakat sipil. Satgas ini bertugas bukan hanya mengaudit pelanggaran, tetapi memulihkan etika keilmuan dan membongkar praktik sistemik yang selama ini disembunyikan di balik pencapaian administratif kampus. Tanpa mekanisme nasional yang independen, pelanggaran akan terus dilanggengkan dalam diam.
Khusus USU, perlu dilakukan audit akademik menyeluruh terhadap publikasi dosen selama lima tahun terakhir. Audit ini tidak bisa dikelola oleh pihak internal yang potensial memiliki konflik kepentingan. Keterlibatan pihak eksternal seperti akademisi independen, jurnalis riset, dan LSM pendidikan mutlak dibutuhkan. Di saat yang sama, negara harus mendorong lahirnya UU Etika Akademik yang memberi perlindungan kepada pelapor pelanggaran. Tanpa perlindungan ini, suara kebenaran akan terus terkubur oleh ketakutan struktural.
Namun, regulasi sehebat apa pun akan sia-sia bila tak disertai keberanian moral. Jika audit membuktikan adanya pelanggaran sistemik, maka pimpinan kampus harus berani mundur, bukan demi menjaga citra, melainkan demi memulihkan martabat intelektual yang rusak. Jabatan rektor bukan milik pribadi atau kelompok, melainkan amanah publik. Karena membangun kembali peradaban ilmiah tak bisa dimulai dari birokrat yang membisu, melainkan dari intelektual yang berani bertanggung jawab di hadapan sejarah.
Penutup
Angka 0,400 bukan sekadar skor, melainkan suara alarm bahwa sistem akademik kita sedang sekarat. Di tengah gempuran teknologi dan perang informasi global, integritas riset adalah satu-satunya benteng terakhir keilmuan. Jika integritas itu runtuh, maka semua yang tersisa hanyalah ilusi.
USU, sebagai representasi kampus besar di luar Jawa, memiliki dua pilihan: melanjutkan diam di tengah badai, atau bangkit menjadi pelopor pembenahan etika akademik nasional. Pilihan itu akan menentukan apakah kampus ini akan dikenang sebagai pusat ilmu, atau sekadar pabrik gelar.
Karena peradaban sejati tidak lahir dari jurnal berimpak tinggi semata, melainkan dari keberanian menyuarakan kebenaran—meski pahit, meski sunyi.
Demikian.
Tentang Penulis:
Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH adalah advokat, Ketua Forum Penyelamat USU, dan alumni Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Stambuk' 92
__________
Daftar Pustaka
Bourdieu, Pierre. The Logic of Practice. Stanford: Stanford University Press, 1990.
Research Integrity Risk Index (RI²). Laporan Indeks Risiko Integritas Riset Global 2025: Zona Merah PTN Indonesia. Jakarta: LLDIKTI dan BRIN, 2025.
Subianto, Prabowo. Asta Cita: Visi Indonesia Emas 2045. Jakarta: Gerindra Institute, 2023.
“Skandal Bangkit? Delapan Kampus Top Indonesia Masuk Zona Pelanggaran Riset.” Kalteng Pos, 2025. https://kaltengpos.jawapos.com
Siswanto, Yanuar. “Etika Akademik dan Pelanggaran Ilmiah di Perguruan Tinggi.” Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan 28, no. 2 (2023): 134–145.
Zubaidah, Ratna. Menguji Integritas Ilmiah: Perspektif Etika Penelitian. Jakarta: Prenadamedia Group, 2022.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Pedoman Pencegahan Pelanggaran Akademik di Perguruan Tinggi. Jakarta: Kemendikbudristek, 2021.
Pikiran Rakyat. “13 Kampus Indonesia Masuk Zona Risiko Integritas Riset.” Pikiran Rakyat Koran, Mei 2025. https://koran.pikiran-rakyat.com
https://www.kompas.id/baca/nusantara/2021/01/16/rektor-terpilih-usu-muryanto-dijatuhi-sanksi-plagiat?utm_source=link&utm_medium=shared&utm_campaign=tpd_-_android_traffic
Posting Komentar
0Komentar