Pendahuluan
> " Keadilan dan Keadilan tanpa keberanian akan menjelma jadi pertunjukan kepalsuan."
Publik Sumatera Utara kembali dipertontonkan pada panggung penegakan hukum yang pincang. Nama-nama seperti TOP, RES, hingga RAY memang penting dalam konteks pelaksanaan proyek infrastruktur. Namun, mereka bukanlah pengambil keputusan strategis. Di balik proyek jalan yang diduga disusupi praktik suap itu, terdapat kekuatan politik yang membentangkan pengaruh dari pusat hingga daerah. Sosok-sosok yang mengendalikan narasi anggaran dan kuasa formal di lingkaran kekuasaan lokal—terutama yang berafiliasi dengan elite nasional—masih tak tersentuh.
Fenomena ini tidak asing dalam praktik hukum Indonesia. Dalam perspektif criminology of power, seperti yang dijelaskan oleh Michel Foucault, kekuasaan tidak hanya beroperasi secara kasat mata melalui jabatan, tetapi juga bekerja dalam bentuk relasi yang mengatur siapa yang bisa ditangkap dan siapa yang kebal. OTT KPK kali ini menunjukkan bahwa hukum masih tunduk pada hierarki kekuasaan, bukan prinsip equality before the law. Pion dikorbankan, sementara dalang disamarkan dalam kabut kekuasaan.
Bobby Nasution, Gubernur Sumatera Utara dan menantu Presiden Joko Widodo, memang tidak disebut dalam pusaran kasus ini. Namun, penangkapan orang-orang dekatnya membuka celah kritik publik yang menguat pasca turunnya Jokowi dari tampuk kekuasaan. Dalam politik patronase, perlindungan kekuasaan bersifat situasional. Ketika pelindung telah pergi, maka eksistensi para pelindung lokal pun mulai diuji. KPK, sadar atau tidak, masuk dalam momentum ini—mengambil kesempatan untuk menunjukkan “taring” setelah bertahun-tahun diragukan independensinya.
Sayangnya, yang ditangkap bukanlah aktor utama, melainkan pelaksana teknis dan pelobi proyek. Ini bukan semata ketidaksengajaan, melainkan gejala lama yang tak kunjung sembuh: hukum dipakai sebagai alat pertunjukan moral, bukan pembongkar struktur korupsi. Prof. Romli Atmasasmita menekankan bahwa keadilan yang dijalankan tanpa menyentuh akar kekuasaan hanyalah bentuk "penegakan hukum kosmetik", yang hanya mempercantik wajah negara tanpa memperbaiki isi.
Dalam suasana seperti ini, masyarakat mulai lelah membedakan antara penegakan hukum dan panggung sandiwara. Bila hukum hanya menjaring nama-nama kecil demi statistik pemberantasan korupsi, maka kepercayaan terhadap institusi negara akan terus terkikis. Yang dibutuhkan bukan sekadar OTT simbolik, melainkan keberanian struktural untuk menyentuh yang tak tersentuh.
Hukum Sebagai Arena Kekuasaan
Penangkapan sejumlah pejabat teknis dalam OTT KPK di Sumatera Utara sekali lagi memperlihatkan wajah klasik penegakan hukum di Indonesia: represif ke bawah, kompromistis ke atas. Tidak ada nama tokoh politik besar yang disentuh, meski skema proyek dan alokasi anggaran sangat mungkin tak lepas dari otoritas strategis di lingkaran kekuasaan. Fenomena ini sejalan dengan teori Critical Criminology yang menilai bahwa hukum kerap kali menjadi alat legitimasi kekuasaan dominan, bukan instrumen keadilan substantif.
Michel Foucault dalam analisisnya menyatakan bahwa hukum tak ubahnya jaringan kepatuhan yang diproduksi oleh rezim pengetahuan dan kekuasaan. Dalam OTT KPK kali ini, yang ditangkap adalah mereka yang tidak punya kuasa melawan wacana tersebut. Sementara elite politik yang mungkin punya peran dalam proses pengambilan keputusan besar, justru tetap nyaman di balik legitimasi formal—bahkan seolah tak terganggu oleh sorotan publik dan media.
Penegakan hukum yang tebang pilih tak hanya mengikis kepercayaan rakyat, tetapi juga membiarkan korupsi struktural terus hidup dalam sistem birokrasi. Antonio Gramsci mengingatkan bahwa dominasi tak hanya hadir lewat kekuatan koersif, tetapi juga melalui hegemoni kultural—termasuk keyakinan bahwa hukum selalu bekerja untuk semua. Ketika hukum hanya menjerat bawahan, sementara atasan tak tersentuh, maka keadilan menjelma menjadi mitos belaka.
Pakar hukum pidana, Prof. Dr. Romli Atmasasmita, menyatakan bahwa “negara hukum kehilangan legitimasinya ketika penegakan hukum lebih ditentukan oleh kalkulasi politik ketimbang kebenaran hukum.” Kalimat ini relevan untuk membaca dinamika penindakan di Medan. Ada semacam garis tak kasat mata yang membatasi sejauh mana aparat penegak hukum bisa masuk ke ranah kekuasaan politik—apalagi jika menyangkut figur yang masih punya pengaruh kekerabatan dengan elite nasional.
Jika situasi ini dibiarkan, maka hukum bukan lagi ruang mencari keadilan, melainkan arena kompromi antara aktor-aktor kuasa. KPK seharusnya tidak hanya berani membongkar jaringan suap proyek, tetapi juga menelusuri siapa yang berada di balik sistem yang melahirkan korupsi tersebut.
Keadilan Semu dan Pertunjukan OTT
OTT KPK di Sumatera Utara kembali mencuatkan pertanyaan klasik: siapa yang ditangkap, dan siapa yang tidak? Pada akhir Juni 2025, KPK menangkap Kepala Dinas PUPR Sumut, Kepala UPTD Gunung Tua, dan sejumlah pihak swasta rekanan proyek. Penangkapan itu dilakukan dengan narasi pembenahan dan bersih-bersih birokrasi. Namun di tengah euforia penindakan, publik justru melihat satu hal yang ganjil: elite tetap tak tersentuh.
Pasca-revisi UU KPK pada 2019, kepercayaan publik terhadap lembaga antirasuah ini mengalami penurunan drastis. Lembaga yang dulu dianggap garang, kini lebih selektif menyentuh kekuasaan. OTT menjadi alat rekonstruksi citra, tapi dengan pola repetitif: pelaku teknis ditindak, sementara aktor utama kerap luput dari jerat hukum. Ini membuka ruang kritik bahwa KPK tak lagi berani menghadapi kekuasaan, melainkan hanya bermain aman.
Laporan ICW 2024 menyatakan bahwa 80 persen OTT KPK dalam dua tahun terakhir menyasar ASN dan kontraktor. Ini indikasi defisit keberanian struktural. Yang ditindak adalah operator birokrasi, bukan perancang sistem. Penegakan hukum kehilangan makna jika hanya menjadi ajang pertunjukan prosedural.
Nama Bobby Nasution tak bisa dihindari dari sorotan. Kini menjabat Gubernur Sumatera Utara, Bobby adalah figur simbolik dari keberlanjutan kekuasaan pasca-Jokowi. Meski tidak tercantum dalam berkas OTT, namanya tetap beredar di ruang publik. Mahfud MD bahkan mengungkap bahwa Bobby sempat dipanggil oleh KPK. Namun keberanian untuk melangkah lebih jauh masih diragukan. Ini sejalan dengan teori proximity of power: semakin dekat seseorang dengan pusat kekuasaan, semakin besar kemungkinan ia dilindungi.
Bobby mencoba memosisikan diri sebagai kepala daerah yang taat hukum. Ia langsung menonaktifkan Topan Obaja Putra Ginting dari jabatan Kadis PUPR dan menyatakan tidak akan memberikan bantuan hukum dalam bentuk apa pun. Ini dapat dibaca sebagai strategi jaga jarak sekaligus menjaga citra.
Namun, sikap non-intervensi ini belum cukup menjawab satu hal besar: apakah penindakan hukum ini benar-benar menyasar ke akar, atau hanya sebatas pertunjukan untuk menjaga keseimbangan kekuasaan?
Diketahui, dalam penggeledahan tersebut KPK menemukan uang tunai sebesar Rp 2,8 miliar dan senjata api jenis Baretta beserta amunisinya. Uang tersebut diduga hendak dibagi-bagikan oleh Topan kepada pihak-pihak tertentu, yang kini sedang didalami oleh penyidik KPK. Pihak-pihak yang diduga terlibat tersebut dipastikan akan dipanggil secara patut menurut hukum ke kantor KPK di Jakarta.
Penutup
Sumatera Utara, sekali lagi, menjadi panggung pementasan hukum yang tidak selesai. Penangkapan TOP, RES, HEL, KIR, dan RAY bukanlah akhir dari cerita, tapi awal dari pertanyaan besar: siapa yang sebenarnya merancang skema anggaran proyek? Siapa yang mengatur relasi kuasa politik di balik proses tender dan alokasi APBD dan APBN ?
Jika hukum hanya berhenti pada pion-pion kecil, maka OTT bukanlah bentuk keadilan, melainkan simulasi moral di tengah kemerosotan integritas negara hukum. Di negeri para bedebah (Tere Liye, 2012), di mana kebenaran dan keadilan merupakan kemewahan bagi yang tak berkuasa. Dan bagi rakyat, kebenaran dan keadilan hanyalah tayangan berita—sementara yang sejatinya bertanggung jawab tetap tersenyum dari balik kursi kekuasaan korup.
Demikian.
Penulis Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH, Advokat dan Wakil Sekretaris Bidang Hukum Dan HAM MW KAHMI Sumut.
____________
Daftar Pustaka
Atmasasmita, Romli. Rekonstruksi Teori Hukum dan Teori Negara. Jakarta: Prenada Media, 2011.
Foucault, Michel. Discipline and Punish: The Birth of the Prison. New York: Vintage Books, 1995.
Gramsci, Antonio. Selections from the Prison Notebooks. New York: International Publishers, 1971.
Komisi Pemberantasan Korupsi. Laporan Tahunan KPK 2024. Jakarta: KPK RI.
Indonesia Corruption Watch (ICW). Laporan OTT dan Tren Korupsi Daerah 2024. Jakarta: ICW, 2025.
Kucing-kucinganTopan Ginting Dengan Penyidik KPK
https://www.tempo.co/politik/cerita-kucing-kucingan-topan-ginting-dengan-penyidik-kpk-1995307
Kompas.com. “Kronologi Kasus Kadis PUPR Sumut yang Terjaring OTT KPK.” 29 Juni 2025. https://nasional.kompas.com/read/2025/06/29/17043861
KPK Geledah Rumah Kadis PUPR Sumut Nonaktif Topan Ginting
https://www.antaranews.com/berita/4938577/kpk-geledah-rumah-kadis-pupr-sumut-nonaktif-topan-ginting
"KPK Beberkan Hasil Geledah Rumah Topan Ginting Kadis PUPR Sumut | KOMPAS SIANG" dari KOMPAS TV.
https://youtu.be/DZidSMdBJv4?si=n9Eqkee0V7I7h_NU
Negeri Para Bedebah (2012), https://archive.org/details/negeriparabedebahtereliye
Tumbal : kumpulan tulisan tentang Kebudayaan, perikemanusiaan dan kemasyarakatan / YB. Mangunwijaya ; pengantar: Mohammad Sobary, Yogyakarta: Bentang, 1994
YouTube. “Setelah Jokowi Tak Berkuasa, Nasib Bobby Nasution Kini Dipertanyakan.” Diakses 12 Juli 2025. https://www.youtube.com/watch?v=kQtzDf1wIeg
Posting Komentar
0Komentar