Menjelang delapan puluh tahun kemerdekaannya, Indonesia seakan berdiri di simpang jalan sejarah yang getir dan penuh ironi. Kemerdekaan yang diperjuangkan oleh rakyat dengan darah dan nyawa, justru tidak ditempuh lewat jalur "Indonesia Merdeka 100%" seperti yang digariskan Tan Malaka. Sebaliknya, elit politik yang enggan mengambil risiko revolusioner memilih jalan kompromi. Dimulai dari Perundingan Linggarjati tahun 1946 yang justru disabotase oleh Agresi Militer Belanda I, dilanjutkan dengan Perjanjian Renville 1948 yang mempersempit wilayah kedaulatan Indonesia hanya sebatas Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Sumatera. Politik akomodasi semu ini semakin mengebiri semangat kemerdekaan sejati.
Puncak kompromi itu terjadi dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949, saat Indonesia dipaksa menerima status sebagai Republik Indonesia Serikat (RIS) dalam ikatan Uni Indonesia-Belanda. Kedaulatan diakui, tetapi dengan harga yang sangat mahal: negara yang baru berdiri diwajibkan menanggung utang kolonial sebesar 4,3 miliar gulden. Inilah warisan paling pahit dari politik negosiasi: kemerdekaan yang lahir dalam jerat utang, bukan hasil dari pembebasan total. Sejak saat itu, Indonesia memulai babak baru sebagai bangsa yang merdeka secara formal, tapi terbelenggu secara struktural—sebuah kompromi yang menjadi awal dari keterjajahan baru dalam bentuk ekonomi dan politik.
Kompromi itu terus menjalar dan membentuk watak negara pasca-merdeka: tunduk pada modal asing, melayani kepentingan elite, dan menindas rakyat kecil. Kini, bentuknya bukan lagi pasukan militer Belanda, melainkan korporasi tambang, pengembang properti, dan regulasi yang dibentuk untuk melanggengkan kekuasaan segelintir orang. Penjajahan berubah wajah menjadi kontrak karya, izin konsesi, dan proyek strategis nasional.
Sumber daya alam (SDA) Indonesia dijadikan jaminan pembangunan, padahal lebih menyerupai eksploitasi massal. Menurut Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), lebih dari 10.000 izin tambang aktif tersebar di seluruh nusantara, mencakup lebih dari 44 persen daratan Indonesia. Namun, kontribusi sektor pertambangan terhadap kesejahteraan rakyat hampir nihil—justru menyisakan kerusakan lingkungan, konflik sosial, dan pengusiran paksa.
Di balik deretan tambang emas, batu bara, nikel, dan timah itu, ada petaka yang menghancurkan ruang hidup rakyat. Data Koalisi Rakyat untuk Keadilan Agraria (KPA) menunjukkan 2.896 konflik agraria terjadi sepanjang satu dekade terakhir. Mayoritas disebabkan oleh perluasan tambang, sawit, dan proyek infrastruktur besar. Petani dan masyarakat adat kehilangan tanah, hanya untuk digantikan dengan buldoser dan pagar seng milik korporasi.
Beban lingkungan tidak datang sendiri—ia membawa serta beban fiskal. Pemerintah terus menumpuk utang luar negeri untuk membiayai pembangunan yang sebagian besar berorientasi pada ekstraksi SDA. Menurut laporan Bank Dunia tahun 2024, utang Indonesia mencapai Rp 8.250 triliun, sementara pembayaran bunga dan cicilan utang menyedot lebih dari 17 persen APBN. Generasi mendatang diwarisi bukan hanya hutang, tetapi juga lubang tambang dan udara yang tercemar.
Kondisi ini diperparah oleh sistem perpajakan yang tidak berkeadilan. Dirjen Pajak mencatat, pendapatan pajak tahun 2024 mencapai Rp2.155 triliun, sebagian besar berasal dari PPN dan pajak penghasilan karyawan. Sementara itu, kontribusi pajak dari korporasi besar masih rendah, bahkan banyak yang menikmati tax holiday. Negara lebih memilih mengejar rakyat kecil ketimbang mengejar konglomerat pengemplang pajak.
Lebih menyakitkan lagi, kini amplop kondangan pun dibidik untuk dipajaki. Sebuah wacana yang dulu terdengar seperti lelucon kini dibahas serius dalam lingkaran birokrasi fiskal. Negara seolah kehabisan akal, memilih menggali kantong rakyat yang sudah berlubang. Pajak bukan lagi alat redistribusi, melainkan instrumen pemiskinan struktural.
Akibat dari semua ini, angka kemiskinan stagnan. Data BPS menyebut 25 juta penduduk masih hidup di bawah garis kemiskinan pada tahun 2024, dengan mayoritas tinggal di wilayah kaya SDA seperti Papua, Nusa Tenggara, Aceh, Sumut dan Kalimantan. Ironi terjalin kuat: tanah emas melahirkan rakyat papa. Rakyat hanya menikmati debu tambang, bukan dividen.
Kondisi hidup yang memburuk juga tercermin dari fakta paling menyedihkan: rakyat Indonesia kini memakan plastik dalam nasi mereka. Penelitian Fakultas Kesehatan Masyarakat UI (2023) menyebutkan bahwa hampir 95 persen sampel nasi dari warung makan di Jakarta, Bandung, Medan, Banda Aceh, Makasar dan Surabaya mengandung mikroplastik dengan kadar mencapai 90 partikel per 100 gram. Plastik hadir di piring makan, diserap tubuh, dan mengancam generasi yang akan datang.
Negara yang gagal mengelola sampah dan produksi plastik justru mengalihkannya ke tubuh rakyat. Konsumsi plastik per kapita Indonesia naik dua kali lipat dalam satu dekade terakhir, sementara pengelolaan sampah daur ulang masih di bawah 10 persen. Pemerintah lebih sibuk membuat peraturan impor limbah plastik ketimbang membangun sistem daur ulang nasional.
Di saat rakyat dipaksa menelan mikroplastik dalam setiap suapan nasi, elite politik justru sibuk menumpuk kuasa lewat rangkap jabatan dan konsolidasi dinasti. Pemilu tak lagi menjadi ajang artikulasi kehendak rakyat, melainkan arena investasi kekuasaan di mana modal menentukan siapa yang duduk, bukan kualitas gagasan. Kursi politik dijadikan tiket menuju akses sumber daya, dan negara pun dipetak-petakkan bak ladang bisnis oleh para pemenang kontestasi. Demokrasi berubah menjadi transaksi politik elite—rakyat hanya diminta memilih, bagi-bagi sembako bukan menentukan arah kehidupan bangsa kedepan.
Indeks Demokrasi Indonesia tahun 2024 yang merosot ke angka 6,17 menurut The Economist Intelligence Unit (EIU) menandai kemunduran serius dari semangat reformasi 1998. Penurunan ini bukan kebetulan, melainkan akibat sistemik dari represi terhadap kritik publik, pelemahan KPK secara bertahap, dan intervensi kekuasaan dalam lembaga yudikatif yang terang-benderang melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No. 90/PUU-XXI/2024. Ketika organisasi internasional seperti OCCRP menempatkan Presiden Joko Widodo sebagai salah satu tokoh dalam daftar pemimpin paling korup, citra demokrasi Indonesia makin tercoreng. Oligarki kian mencengkeram, institusi pengawasan lumpuh, dan hukum berubah menjadi alat kekuasaan. Di tengah krisis integritas ini, loyalitas aparatur di bangun bukan pada prinsip transparansi dan akuntabilitas, tetapi pada budaya "asal bapak senang" yang merusak etika pelayanan publik dan membunuh nurani reformasi.
Pada saat bersamaan, korupsi merajalela. Data Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat kerugian negara akibat korupsi mencapai ribuan triliun rupiah pada tahun 2024. Penindakan hukum berjalan lambat, tebang pilih, bahkan ironisnya menyasar para whistleblower. Hukum bukan menjadi pelindung rakyat, tetapi tameng kekuasaan.
Negara seakan menjelma menjadi entitas yang asing bagi rakyatnya sendiri. Pelayanan publik kian mahal dan buruk, pendidikan tinggi menjelma menjadi hak istimewa kaum mampu, sementara data pribadi warga negara diperlakukan serampangan tanpa perlindungan yang memadai. Layanan kesehatan makin terkomersialisasi, dan ketika ada dokter yang bersuara kritis, ia justru dipecat dan dicap tidak disiplin. Pemerintah lebih sibuk membangun citra digital di media sosial daripada membenahi realitas sosial yang karut-marut. Di layar televisi, angka pertumbuhan ekonomi terus digembar-gemborkan, namun di dapur rakyat, panci tetap kosong, dan di luar sana, PHK terjadi di mana-mana.
Apa arti kemerdekaan jika perut rakyat tetap lapar dan dompetnya terus diperas lewat pajak yang membabi buta? Untuk siapa sebenarnya parade 17 Agustus digelar megah, jika di kampung-kampung para orang tua harus memaksa anaknya berhenti sekolah karena tak sanggup membayar SPP? Di mana makna sejati NKRI jika petani penggarap dikriminalisasi hanya karena bertahan hidup di tanah yang sejak lama mereka olah, dan warga adat terusir dari tanah leluhurnya atas nama investasi dan proyek strategis nasional? Jika negara hadir hanya untuk merayakan simbol, tapi absen dalam substansi keadilan, maka kemerdekaan itu patut dipertanyakan.
Kita sedang menyaksikan wajah lain dari penjajahan: bukan oleh bangsa asing, melainkan oleh kebijakan yang tidak berpihak. Kemerdekaan telah direduksi menjadi seremoni, bukan substansi. Negara hadir bukan sebagai pelindung, tetapi sebagai beban. Dari kompromi meja bundar hingga kompromi APBN, rakyat selalu dikorbankan.
Jika 80 tahun kemerdekaan hanya melahirkan rakyat yang makan nasi berbalut mikroplastik, dipajaki hingga helaan napas terakhir, menyaksikan alamnya dijarah, negaranya terjerat utang, dan para intelektual kampus menjelma menjadi "pelacur intelektual" dalam perhelatan pilpres dan pilkada, maka jelas ini bukan sekadar kegagalan pembangunan—ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap cita-cita kemerdekaan itu sendiri. Ketika korupsi merajalela tanpa rasa malu, petani digusur dari tanahnya, PHK menjadi pemandangan harian, dan suara rakyat dikebiri demi kekuasaan, maka kemerdekaan hanya jadi seremoni tanpa substansi. Bung Karno pernah berkata, "Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah." Kini, perjuangan rakyat jauh lebih berat karena harus melawan bangsanya sendiri yang bermental kolonial: menghisap, merampas, dan menindas dengan wajah hukum dan dalih pembangunan. Elite pun menari-nari di atas luka rakyat, menyulap penderitaan menjadi panggung kekuasaan. Tan Malaka sudah mewanti-wanti sejak awal: tidak ada kompromi dengan pencuri rumah sendiri. Maka jawabannya jelas—Indonesia harus merdeka 100%, bukan dari Belanda lagi, tapi dari para pengkhianat cita-cita republik.
Demikian.
Penulis Advokat. M.Taufik Umar Dani Harahap,SH.
Praktisi Hukum, Aktivis Musyawarah Rakyat Banyak, Anggota Badan Perkumpulan KontraS Sumut dan Wakil Sekretaris Bidang Hukum Dan HAM MW KAHMI Sumut.
______________
Daftar Pustaka
Badan Pusat Statistik (BPS). 2024. Profil Kemiskinan di Indonesia Maret 2024. Jakarta: BPS. https://www.bps.go.id
Bank Dunia. 2024. Indonesia Economic Prospects: Navigating Uncertainty. Jakarta: World Bank Indonesia. https://www.worldbank.org/en/country/indonesia
Dirjen Pajak (DJP). 2024. Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pajak Tahun 2023. Jakarta: Kementerian Keuangan Republik Indonesia. https://www.pajak.go.id
Economist Intelligence Unit (EIU). 2024. Democracy Index 2023: Age of Conflict. London: The Economist Group. https://www.eiu.com
Indonesia Corruption Watch (ICW). 2025. Catatan Akhir Tahun 2024: Tren dan Pola Korupsi di Indonesia. Jakarta: ICW. https://www.antikorupsi.org
Jaringan Advokasi Tambang (JATAM). 2023. Peta Dosa Tambang: Konsesi, Konflik, dan Kerusakan Ekologis di Indonesia. Jakarta: JATAM. https://www.jatam.org
Jokowi pemimpin korup versi OCCRP ,https://www.hukumonline.com/berita/a/begini-klarifikasi-occrp-masukan-jokowi-dalam-nominasi-tokoh-terkorup-lt677b73f889a90/
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Agraria (KPA). 2024. Catatan Akhir Tahun 2023: Konflik Agraria dan Kekerasan terhadap Rakyat. Jakarta: KPA. https://www.kpa.or.id
Universitas Indonesia, Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM UI). 2023. Laporan Riset Kandungan Mikroplastik dalam Nasi Konsumsi Rumah Tangga Jabodetabek. Depok: FKM UI.
Rangkuman Lengkap,
https://wartakota.tribunnews.com/2021/07/21/ini-rangkuman-lengkap-hasil-perjanjian-linggarjati-renville-roem-royen-dan-konferensi-meja-bundar
Indonesia Merdeka 100% - Tan Malaka, https://www.mandailingonline.com/merdeka-100-persen-ala-tan-malaka/
WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia). 2024. Laporan Nasional Krisis Lingkungan dan Iklim di Indonesia. Jakarta: WALHI. https://www.walhi.or.id
Posting Komentar
0Komentar