Pendahuluan
Menjelang delapan dekade Indonesia merdeka, cita-cita keadilan agraria yang dijanjikan dalam UUD 1945 dan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960 tampak semakin menjauh. Sumatera Utara, salah satu provinsi kaya sumber daya alam, menjadi cermin buram dari kegagalan negara dalam mewujudkan kedaulatan rakyat atas tanah.
Berdasarkan Catatan Akhir Tahun 2023 dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Sumatera Utara masuk tiga besar wilayah dengan konflik agraria tertinggi di Indonesia. Setidaknya 42 kasus tercatat sepanjang tahun itu, melibatkan ribuan hektare lahan dan puluhan ribu warga yang kehidupannya bergantung pada tanah sebagai ruang hidup, bukan sekadar aset ekonomi.
Konflik agraria di Sumut memiliki karakter struktural dan historis. Warisan kolonialisme, ekspansi perkebunan besar, konsesi tambang dan industri energi, serta pengabaian hak-hak adat merupakan bara lama yang terus ditiup oleh penetrasi korporasi swasta dan negara. Ironisnya, negara justru kerap menjadi alat legitimasi kepentingan modal, bukan pelindung rakyat. Kritik A.P. Parlindungan Lubis pada 1989 bahwa "semangat UUPA tercerabut dari praksisnya" tetap relevan hingga hari ini.
Rakyat Penunggu: Tujuh Dekade Menanti Pengakuan
Di Deli Serdang dan Serdang Bedagai, komunitas adat Rakyat Penunggu telah memperjuangkan pengakuan atas tanah adat mereka sejak 1950-an. Namun hingga kini, pengakuan itu tak kunjung tiba. Laporan BPRPI (2021) menyebutkan lebih dari 5.000 hektare tanah adat Rakyat Penunggu masih diklaim sebagai HGU oleh perusahaan swasta dan BUMN. Tak ada partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan, melanggar asas free, prior, and informed consent.
Dalam perspektif hukum progresif Satjipto Rahardjo, hukum seharusnya menjadi institusi pemerdeka rakyat. Tetapi dalam konteks ini, hukum justru tampil sebagai instrumen represi dan penggusuran. Di wilayah Tapanuli Selatan dan Padang Lawas, alih fungsi tanah pertanian menjadi kawasan tambang dan industri dilakukan secara eksesif. Kajian ekologis dan sosial nyaris tak ada, warga dipaksa angkat kaki demi investasi yang mengabaikan prinsip keadilan sosial.
Kriminalisasi Petani, Pecah Belah Rakyat Dan Komodifikasi Tanah
Konflik agraria di Asahan, Deli Serdang, Binjai, dan Langkat menunjukkan wajah gelap dari kegagalan negara menjamin hak konstitusional warganya atas tanah. KontraS Sumut mencatat bahwa sedikitnya 16 petani dipidana antara 2021–2024 hanya karena mempertahankan lahan garapan yang secara historis mereka kelola, namun secara administratif diklaim oleh korporasi. Kriminalisasi ini bukan sekadar persoalan hukum, tetapi instrumen represi sistemik terhadap gerakan rakyat yang menuntut keadilan agraria.
Proyek Strategis Nasional (PSN) seperti pembangunan jalan tol Binjai–Langsa memperparah ketegangan. Penggusuran dilakukan secara sepihak, tanpa dialog dan tanpa prinsip free, prior and informed consent sebagaimana disyaratkan dalam standar HAM internasional. Negara, yang seharusnya menjadi penengah, justru tampil sebagai aparat represif yang mengawal ekskavator, bukan keadilan. Ketika petani bertanya, negara mengutus polisi; ketika petani menuntut hak, negara menjerat dengan pasal pidana.
Lebih ironis lagi, data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menunjukkan bahwa 1% elite menguasai lebih dari 60% lahan produktif di Sumatera Utara. Ketimpangan ini menunjukkan betapa negara lebih berpihak pada korporasi daripada petani. Reforma agraria yang seharusnya menjadi koreksi historis justru diingkari dan dikerdilkan menjadi proyek sertifikasi belaka, tanpa menyentuh akar konflik struktural yang berlangsung sejak Orde Baru.
Dalam logika pembangunan kapitalistik, tanah tidak lagi dipahami sebagai ruang hidup, tetapi sebagai barang dagangan. Inilah wajah komodifikasi agraria yang menghancurkan solidaritas rakyat melalui pecah-belah, intimidasi, dan kriminalisasi. Tanpa keberanian politik untuk menempatkan keadilan agraria sebagai fondasi pembangunan, maka konflik akan terus membusuk, dan negara perlahan kehilangan legitimasinya di mata rakyat.
Ketiadaan Data, Tumpang Tindih Regulasi
Masalah semakin kompleks karena ketiadaan peta konflik agraria resmi, serta lemahnya data spasial partisipatif. Proses sertifikasi dan redistribusi tanah tanpa basis data transparan membuka ruang korupsi dan manipulasi. Sementara itu, tumpang tindih kewenangan antara ATR/BPN, KLHK, dan Kementerian Pertanian menunjukkan ego sektoral yang akut. Reforma agraria gagal karena negara tak punya kepemimpinan tunggal yang kuat dan berpihak.
Sejak masa Orde Baru, pembangunan dijalankan dengan menyingkirkan petani dari ruang hidupnya. Kuasa negara menjadi instrumen penguasaan elit terhadap tanah. Dalam konteks Sumut, model ini belum berubah. Meski Presiden Jokowi mencanangkan reforma agraria sebagai prioritas nasional, realitasnya tak menyentuh akar konflik: redistribusi tak berjalan, sertifikasi tak menyentuh kelompok marjinal, HGU yang sudah habis dan bermasalah dibiarkan seolah-olah hidup.
Reforma Agraria: Keadilan Transisional, Bukan Sertifikat
Reforma agraria yang sejati bukanlah seremoni bagi-bagi sertifikat tanah yang kerap dijadikan alat pencitraan politik. Ia adalah proses keadilan transisional yang menuntut rekonsiliasi antara sejarah perampasan tanah dan cita-cita kemerdekaan ekonomi rakyat. Artinya, reforma agraria harus menyasar akar persoalan struktural melalui restitusi hak-hak adat, pembatalan Hak Guna Usaha (HGU) yang melanggar hukum, pemulihan ekosistem yang rusak akibat ekspansi industri ekstraktif, serta penguatan posisi petani dan masyarakat adat sebagai subjek utama dalam tata kelola agraria nasional.
Jika tidak menyentuh dimensi-dimensi tersebut, keadilan agraria hanya akan berakhir sebagai ilusi birokratis. Di berbagai wilayah Sumatera Utara, komunitas adat kehilangan situs sakralnya, petani terusir dari lahan garapan, dan relasi sosial tercerabut oleh arus kapitalisme yang merampas ruang hidup. Penggusuran tak hanya menghapus peta ekonomi rakyat, tetapi juga menghancurkan fondasi kultural dan spiritual komunitas lokal. Dalam kerangka ini, konflik agraria bukan sekadar persoalan tanah—melainkan benturan antara peradaban rakyat dan proyek ekonomi elitis.
Pemerintah daerah dan DPRD Sumatera Utara tidak bisa terus menerus menyembunyikan ketidakberdayaannya di balik retorika kewenangan pusat. Mereka justru memiliki tanggung jawab moral dan politik untuk menjadi motor penyelesaian konflik. Ketika rakyat dianiaya atas nama hukum dan investasi, sikap diam para penyelenggara daerah bukan hanya bentuk kelalaian, tetapi juga pengkhianatan terhadap amanat konstitusi. Mereka dituntut bukan hanya hadir secara fisik, tetapi mengambil posisi politik yang tegas—berpihak pada keadilan.
Ironisnya, negara yang seharusnya menjalankan fungsi korektif terhadap ketimpangan justru memfasilitasi korporatisasi lahan secara masif. Reforma agraria kemudian dikerdilkan menjadi proyek teknokratik yang tidak menyentuh akar persoalan struktural. Padahal, keadilan transisional dalam sektor agraria menuntut pengakuan atas luka sejarah, rekonstruksi kelembagaan, dan penataan ulang relasi kekuasaan antara negara, pasar, dan rakyat.
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Namun dalam praktiknya, pasal ini justru ditafsirkan secara menyimpang untuk mengukuhkan investasi dan eksploitasi sumber daya alam. Kini saatnya amanat konstitusi itu tidak sekadar dikutip dalam pidato, tetapi diwujudkan dalam keberpihakan nyata kepada petani, masyarakat adat, dan rakyat kecil—mereka yang selama ini justru paling terpinggirkan dari tanahnya sendiri.
Negara Berutang, Petani Tergusur dan Penguasa Korup
Ironi terbesar dalam perjalanan menuju 80 tahun kemerdekaan adalah kenyataan bahwa penguasaan tanah dan sumber agraria oleh segelintir elite tidak membawa kemakmuran, melainkan kemiskinan struktural. Ketimpangan agraria justru melahirkan kriminalisasi terhadap petani, penggusuran atas nama investasi, dan hancurnya ruang hidup rakyat. Namun hasilnya? Negara tetap miskin. Data Bank Dunia menempatkan Indonesia dalam kategori negara berpendapatan menengah bawah, dengan tingkat utang yang terus meningkat, angka kemiskinan yang memburuk, dan rakyat yang kini bahkan mengonsumsi nasi mengandung mikroplastik—sebuah simbol konkret dari kegagalan struktural.
Sementara rakyat kehilangan tanah dan pekerjaan, gelombang PHK massal terus terjadi, dan korporasi terus meluaskan wilayah kekuasaan ekonomi mereka. Negara bukan saja gagal membagi keadilan, tetapi justru aktif memperkuat dominasi segelintir penguasa atas sumber daya. Ketika aparat negara berdiri di barisan depan penggusuran rakyat, pertanyaannya bukan lagi siapa yang menguasai tanah, tetapi siapa yang dikuasai oleh tanah dan kekuasaan itu sendiri.
Lebih dari sekadar kemiskinan, Indonesia juga tengah menghadapi krisis moral dalam kepemimpinan. Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP) secara terang menyebut Presiden Joko Widodo sebagai salah satu pemimpin paling korup versi 2024. Pernyataan ini bukan sekadar isu reputasi pribadi, melainkan sinyal kuat bahwa korupsi telah menjadi sistemik hingga ke pucuk kekuasaan. Dalam refleksi kemerdekaan yang ke-80, kita dipaksa bertanya: untuk siapa kemerdekaan itu diperjuangkan—untuk rakyat, atau untuk melanggengkan oligarki dalam selubung demokrasi?
Penutup
Menjelang delapan dekade kemerdekaan, Sumatera Utara masih terbelenggu konflik tanah yang membusuk dalam diam. Tanpa keberanian politik, tanpa rekonstruksi paradigma pembangunan, dan tanpa hukum yang berpihak pada rakyat kecil, cita-cita kemerdekaan akan terus di rampas oleh segelintir elite.
Reforma agraria harus dikembalikan pada akarnya: sebagai alat pembebasan ekonomi rakyat. Sebagai jalan menuju kemerdekaan ekonomi rakyat yang sejati — bukan hanya dari penjajah asing, tetapi juga dari penghisapan yang rakus terus bercokol dalam struktur negara dan kuasa.
Demikian.
Penulis Advokat. M.Taufik Umar Dani Harahap,SH.
Praktisi Hukum, Aktivis Musyawarah Rakyat Banyak, Anggota Badan Perkumpulan KontraS Sumut dan Wakil Sekretaris Bidang Hukum Dan HAM MW KAHMI Sumut.
______________
Daftar Pustaka
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). Catatan Akhir Tahun 2023. Jakarta: KPA, 2023.
Lubis, A.P. Parlindungan. Masalah Agraria dalam Pembangunan. Jakarta: LP3ES, 1989.
BPRPI. Laporan Tahunan 2021: Perjuangan Tanah Adat Rakyat Penunggu. Medan: BPRPI, 2021.
Serikat Petani Indonesia (SPI). Laporan Advokasi Reforma Agraria 2022. Jakarta: SPI, 2022.
KontraS Sumut. Laporan Kriminalisasi Petani 2021–2024. Medan: KontraS, 2024.
Bank Dunia. Indonesia Economic Prospects. Washington DC: World Bank, 2024.
OCCRP. “The World’s Most Corrupt Leaders in 2024.” https://www.occrp.org/
Posting Komentar
0Komentar