Pendahuluan
> 'Ketika negara dan korporasi berjalan beriringan, rakyat kecil di garis depan perjuangan agraria harus memilih: tunduk pada tali asih atau berdiri menjaga hak hidupnya'.
Sudah lebih dari dua dekade rakyat Penunggu yang tergabung dalam Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI) berjuang mempertahankan ruang hidupnya di Kampung Kuala Begumbit. Di atas tanah yang mereka garap sejak akhir 1990-an, tumbuh bukan hanya tanaman pangan, tapi juga harapan—bahwa suatu hari negara akan berpihak pada keadilan, bahwa hukum akan menjadi tameng, bukan senjata korporasi. Namun sejarah berkata sebaliknya. Negara lebih cepat hadir dalam bentuk aparat dan surat somasi, tetapi lamban dalam melindungi hak-hak rakyat yang tertindas.
Sesungguhnya, tuntutan redistribusi tanah oleh BPRPI terhadap bekas lahan Hak Guna Usaha (HGU) PTP IX bukanlah tuntutan instan. Ini adalah babak panjang konflik struktural yang telah berlangsung lintas dekade dan rezim kekuasaan. Sejak 1964, telah terjadi gelombang besar perjuangan penguasaan lahan oleh rakyat Penunggu yang secara turun-temurun telah mengelola wilayah tersebut sebagai ruang hidup. Mereka bukan perambah, melainkan pewaris sah sejarah dan tanah yang telah ditinggikan nilai sosialnya jauh sebelum negara dan korporasi datang membawa konsep HGU.
Negara sebenarnya telah memberi isyarat pengakuan sejak awal 1980-an. Surat Gubernur Sumatera Utara No. 14233 tahun 1980 secara eksplisit memerintahkan Tim Penyelesaian Tanah Garapan dan PTP IX untuk menyeleksi serta menyerahkan tanah negara yang kosong kepada BPRPI. Tak lama berselang, Keputusan Mendagri Cq Dirjen Agraria No. 44/DJA/1981 bahkan lebih tegas lagi: melepaskan 9.085 hektare dari HGU PTP IX untuk diserahkan kepada masyarakat penggarap, dengan rincian 2.000 hektare di Kabupaten Langkat dan 7.085 hektare di Kabupaten Deli Serdang.
Komitmen ini diperkuat oleh Surat Kepala Direktorat Agraria No. 592.17321.70/2/1983, yang menetapkan bahwa lahan tersebut harus segera didistribusikan kepada masyarakat, yaitu 7.475 hektare di Deli Serdang untuk 25.866 kepala keluarga dan 1.698 hektare di Langkat untuk 6.223 kepala keluarga. Dokumen-dokumen resmi ini menunjukkan bahwa secara administratif, negara telah memiliki pijakan hukum yang kuat untuk menyelesaikan konflik agraria ini melalui pendekatan keadilan distribusi tanah.
Namun yang terjadi justru sebaliknya. Hingga pertengahan 1990-an, redistribusi tanah tak kunjung dilakukan. Bahkan, pada 6 Agustus 1996, BAKORSTANAS Daerah Sumatera Bagian Utara kembali mengeluarkan Undangan Rapat Koordinasi dengan nomor: B/361/VIII/1996 yang ditujukan kepada Ketua BPRPI untuk hadir dalam pertemuan resmi di Makodam I/BB Medan. Rapat ini menjadi bukti bahwa konflik antara BPRPI dan PTP IX bukanlah konflik biasa, melainkan konflik agraria struktural yang telah mengundang perhatian lintas lembaga, termasuk militer, pemerintah daerah, dan kementerian teknis.
Surat-surat ini bukan sekadar arsip birokrasi, melainkan bukti betapa negara sebenarnya telah menyadari keabsahan tuntutan rakyat Penunggu sejak lama. Namun komitmen itu berhenti pada kertas, tidak pernah turun ke tanah. Negara gagal menepati janjinya kepada rakyat, bahkan membiarkan tanah yang telah diperintahkan untuk didistribusikan kepada petani justru kembali diklaim dan dikelola oleh korporasi negara, tanpa dasar hukum yang sah.
Konflik Kuala Begumbit bukan sekadar soal tumpang tindih kepemilikan, tapi soal pengkhianatan terhadap prinsip keadilan agraria yang termaktub dalam UUD 1945. Negara yang seharusnya menjadi pelindung hak konstitusional rakyat kecil, justru abai dan cenderung tunduk pada tekanan modal. Maka ketika rakyat berdiri menjaga tanahnya, mereka tidak melawan hukum—mereka justru menuntut negara menegakkan hukum yang telah dibuatnya sendiri.
Negara Hadir: Tapi Tidak untuk Melindungi
Peristiwa pembongkaran pondok-pondok warga oleh aparat bersenjata tanpa surat resmi pada tahun-tahun awal perjuangan adalah sinyal bahwa negara memilih posisi. Bukan sebagai pelindung warga, melainkan sebagai ekor dari korporasi. Tindakan represif tanpa prosedur hukum menunjukkan detournement de pouvoir—penyimpangan kekuasaan dari tujuan hukum demi kepentingan non-negara.
Alih-alih menjembatani konflik, negara menghadirkan ketakutan. Di mana perlindungan terhadap masyarakat adat yang dijanjikan dalam UUD 1945 Pasal 18B ayat (2)? Di mana keberpihakan terhadap petani seperti diamanatkan Pasal 33 UUD 1945 yang menempatkan bumi dan kekayaan alam dikelola untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat?
Surat demi Surat: Kekerasan Administratif
Perjalanan kepemimpinan dalam BPRPI sejak Ibni Hajar hingga Irwansyah adalah catatan panjang perlawanan yang tak putus. Tapi alih-alih penghargaan, mereka disuguhi tali asih bernilai Rp2 juta per hektare. Tawaran itu lebih mirip ejekan ketimbang solusi.
Lebih ironis lagi, pada 2025, terkuak bahwa klaim penguasaan lahan oleh PTPN tak memiliki dasar yuridis yang sah. Kantor Wilayah BPN menyatakan bahwa tidak ada pengajuan aktif HGU (Hak Guna Usaha) di wilayah tersebut. Maka pertanyaannya: atas dasar hukum apa pengosongan hendak dilakukan?
Jika negara membiarkan penggusuran berlangsung tanpa dokumen HGU yang sah, maka yang dipertaruhkan bukan hanya nasib petani, tapi juga integritas negara sebagai rechtsstaat—negara hukum.
Hukum Dibungkam, Modal Dibela
BPRPI telah berulang kali membuka pintu dialog: kepada pemerintah, aparat, bahkan lembaga internasional seperti PBB. Namun janji-janji pertemuan dari pihak korporasi dan negara seringkali tak tertulis dan tak terlaksana. Dan setiap kali janji itu gagal ditepati, datang surat somasi yang mengancam, seakan-akan warga adalah penyusup di tanah yang mereka pelihara puluhan tahun.
Logika hukum menjadi absurd. Korporasi yang tak mampu menunjukkan HGU bisa menuntut pengosongan. Masyarakat adat yang hidup turun-temurun dianggap liar.
Ini bukan semata konflik tanah. Ini adalah konflik paradigma: antara hak komunal dan kepentingan kapital, antara keadilan sosial dan dominasi struktural.
Keadilan Agraria: Janji yang Terus Diingkari
Pemerintah kerap mengumandangkan reforma agraria sebagai simbol keberpihakan pada rakyat. Namun, ketika masyarakat adat seperti BPRPI di Kuala Begumbit justru terus-menerus diusir dari tanah yang mereka garap secara turun-temurun, maka janji reforma itu kehilangan makna. Negara seolah lebih sibuk merapikan dokumen legalitas korporasi ketimbang memastikan hak-hak rakyat dilindungi oleh konstitusi. Perlindungan hukum menjadi barang langka, apalagi ketika aparat sendiri kerap tampil sebagai ujung tombak penggusuran, bukan penjaga keadilan.
Konflik agraria di Kuala Begumbit memperlihatkan betapa bias kekuasaan telah merasuki logika kebijakan tanah di Indonesia. Lahan yang sudah diperintahkan untuk didistribusikan kepada petani sejak awal 1980-an justru kembali diklaim oleh korporasi, tanpa proses hukum yang transparan. Tanpa dokumen HGU aktif, tanpa konsultasi publik, klaim atas tanah tetap dipaksakan dengan mekanisme "tali asih" yang tidak adil dan sepihak. Dalam kondisi seperti ini, reforma agraria lebih tampak sebagai proyek administratif yang kehilangan roh keadilan sosial.
Di tengah kabut birokrasi dan kekerasan legal, masyarakat adat didorong ke tepi sejarah. Mereka yang seharusnya menjadi subjek utama reforma agraria justru terus-menerus dicurigai, direpresi, dan dimarjinalkan. Hak atas tanah sebagai hak dasar manusia dicabut perlahan-lahan melalui surat somasi, intimidasi, dan pembiaran negara. Ketika negara membiarkan kekuasaan modal merampas ruang hidup rakyat, maka reforma agraria tak ubahnya mitos yang hanya hidup di pidato resmi dan rencana strategis.
Kampung Kuala Begumbit adalah cermin yang jujur bagi republik ini—betapa reforma agraria yang diidealkan sebagai koreksi atas ketimpangan struktural justru berubah menjadi alat normalisasi penggusuran. Dan selama negara gagal menegakkan keadilan atas tanah, maka rakyat akan terus berdiri, bukan untuk melawan negara, tapi untuk menagih janji-janji yang pernah dituliskan oleh negara itu sendiri.
Saatnya Negara Berpihak pada Perjuangan Rakyat Penunggu
Sudah terlalu lama masyarakat adat seperti yang tergabung dalam BPRPI (Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia) diperlakukan sebagai penghalang pembangunan. Padahal, mereka bukan musuh kemajuan, melainkan korban dari paradigma pembangunan yang menafikan keadilan dan keberlanjutan. Mereka tidak menolak pembangunan, melainkan menolak di gusur dari tanah yang telah mereka jaga secara turun-temurun. Tanah itu bukan sekadar objek ekonomi, melainkan ruang hidup yang melekat dengan sejarah, budaya, dan identitas mereka sebagai bagian dari bangsa Indonesia.
Tragisnya, kehadiran negara kerap justru menjadi mesin penggusuran, bukan pelindung konstitusional. Aparat diturunkan bukan untuk melindungi hak warga, melainkan mengawal alat berat, membungkam suara yang mempertahankan hak leluhur. Di satu sisi, perusahaan dengan mudah mengantongi izin; di sisi lain, rakyat yang merawat tanahnya dituduh melanggar hukum dan ditertibkan secara represif. Situasi ini bukan hanya mengoyak rasa keadilan sosial, tapi juga memperlihatkan betapa negara kerap absen dalam menjamin hak dasar warga terhadap tanah dan ruang hidup.
Sudah saatnya negara berhenti melihat tanah sebagai ruang kosong yang bebas dikavling atas nama investasi. Di dalam tanah itu tumbuh kehidupan, berlangsung ritus, dan berdiri sejarah. Memaksakan investasi dengan menggusur rakyat hanya akan menciptakan luka sosial yang dalam, dan memperkuat kesenjangan struktural antara pemilik modal dan pemilik hak historis. Pembangunan yang beradab seharusnya berpihak pada rakyat yang telah merawat tanahnya, bukan tunduk pada logika korporasi yang hanya mengejar akumulasi keuntungan.
Perjuangan BPRPI hanyalah satu wajah dari ratusan bahkan ribuan konflik agraria yang membusuk di bawah karpet demokrasi. Jika negara terus memposisikan diri sebagai alat legitimasi kekuasaan ekonomi semata, maka kepercayaan rakyat akan terus terkikis. Reforma agraria bukan sekadar slogan di panggung politik atau dokumen resmi di meja birokrasi, melainkan tindakan nyata untuk mengembalikan hak rakyat atas tanah dan masa depannya. Negara tidak boleh lagi menjadi pemilik buldoser, tetapi harus menjadi penjaga keadilan.
Apalagi selama ini, sumber-sumber agraria justru lebih banyak diberikan kepada segelintir korporasi dengan dalih produktivitas dan pertumbuhan. Namun hasilnya jelas: kerusakan ekosistem, eksploitasi sumber daya, kemiskinan rakyat, dan utang negara yang terus membengkak. Ketika tanah hanya menjadi alat produksi dan rakyat disingkirkan dari perannya sebagai penjaga alam, maka pembangunan kehilangan maknanya. Saatnya negara berpihak pada rakyat, bukan pada mereka yang menjadikan tanah sebagai ladang akumulasi kekayaan.
Penutup
Jika negara ingin dipercaya sebagai negara hukum yang adil dan beradab, maka perlindungan terhadap masyarakat adat bukanlah bentuk belas kasih, melainkan kewajiban konstitusional yang mengikat. Pengakuan terhadap hak-hak masyarakat hukum adat—sebagaimana dijamin Pasal 18B ayat (2) UUD 1945—menjadi ukuran paling nyata sejauh mana negara menjalankan prinsip supremasi hukum dan keadilan sosial. Tanpa itu, hukum hanya akan menjadi alat kekuasaan, bukan instrumen keadilan.
Selama penggusuran, pembiaran, dan represi masih menjadi wajah kebijakan negara, maka perlawanan rakyat Penunggu di Kuala Begumbit akan terus menyala. Sebab ketidakadilan yang terus-menerus dibiarkan bukan hanya melahirkan luka kolektif, tetapi juga membangkitkan keberanian untuk melawan. Negara boleh menggunakan dalih pembangunan, tapi bagi rakyat Penunggu, setiap jengkal tanah adalah nyawa, sejarah, dan masa depan.
Bagi mereka, tanah bukan hanya alas produksi, melainkan ruang hidup yang sarat makna: tempat berpijak, berbudaya, bersosial, dan beribadah. Tanah itu menyimpan nilai magis-religius yang tak bisa dipisahkan dari identitas komunal. Maka, menggusur tanah adat bukan hanya merampas ruang ekonomi, tapi juga merobek ruh peradaban lokal. Di tengah gelapnya ketimpangan dan arogansi kekuasaan, api perlawanan rakyat Penunggu akan terus membara sebagai simbol keberanian mempertahankan hak yang sah.
Demikian.
Penulis Advokat. M.Taufik Umar Dani Harahap,SH.
Praktisi Hukum, Aktivis Musyawarah Rakyat Banyak, Anggota Badan Perkumpulan KontraS Sumut dan Wakil Sekretaris Bidang Hukum Dan HAM MW KAHMI Sumut.
______________
Daftar Pustaka
Kronologis Perjuangan Rakyat Penungggu di Kampung BPRPI Kuala Begumbit.
Komnas HAM. Laporan Konflik Agraria 2023. Jakarta: Komnas HAM, 2023.
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). Catatan Akhir Tahun 2024. Jakarta: KPA, 2024.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Badan Pertanahan Nasional. Sistem Informasi Pertanahan Nasional, 2025.
United Nations, Declaration on the Rights of Indigenous Peoples (UNDRIP), 2007.
World Bank. “Indonesia Economic Prospects: Fiscal Reform for a Stronger Future.” June 2023. https://www.worldbank.org.
Posting Komentar
0Komentar