Pendahuluan
dr. Rizky Ardiansyah, M.Ked (Ped), Sp.A(K), bukan sekadar dokter anak. Ia adalah teladan intelektual muda di dunia medis yang memadukan kompetensi klinis, keberanian moral, dan integritas akademik. Lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara ini dikenal luas di lingkungan kampus sebagai kader terpelajar Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang kritis, namun santun. Di ruang praktiknya sebagai Konsultan Kardiologi Anak di Columbia Asia Hospital Medan, dr. Rizky memperlihatkan kelasnya sebagai profesional yang terus berpikir dan tak gentar bersuara, bahkan ketika kritik itu mengarah ke jantung kekuasaan: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Nama dr. Rizky tidak asing di dunia pediatri nasional. Ia tercatat sebagai bagian dari tim dokter RSUP H. Adam Malik Medan yang sukses memisahkan bayi kembar siam dalam operasi kompleks yang berlangsung 12 jam dan melibatkan 50 dokter lintas disiplin. Dalam keberhasilan itu, terselip dedikasi, ilmu, dan empati tinggi terhadap nyawa manusia—sebuah simbol kerja kolektif medis yang tak boleh direndahkan oleh manuver politik birokrasi. Namun ironisnya, setelah semua kontribusi itu, justru kritik konstruktifnya terhadap sistem pendidikan dokter anak dibalas dengan pemecatan dan cap “tidak disiplin”.
Reaksi Kemenkes RI terhadap pendapat ilmiah dr. Rizky layak disebut sebagai bentuk abuse de droit—penyalahgunaan kewenangan administratif yang dibalut dengan alasan disiplin kerja. Padahal, substansi kritik dr. Rizky adalah soal keilmuan, menyangkut tata kelola pendidikan spesialis anak yang tertutup dan minim transparansi. Kritiknya berbasis data, tidak menyerang pribadi, dan merupakan bagian dari hak konstitusional warga negara sebagaimana dijamin Pasal 28E UUD 1945. Alih-alih dibalas dengan dialog akademik, negara justru memilih jalur represif yang membungkam dan memecat.
Kasus ini menyimpan pesan genting bagi seluruh profesi intelektual di Indonesia: bahwa bersuara dalam kapasitas keilmuan bisa dianggap subversif jika menyentuh kepentingan kekuasaan. Bila seorang dokter yang menyelamatkan nyawa bayi kembar siam bisa disingkirkan hanya karena mengkritik sistem, bagaimana nasib para tenaga medis muda lainnya yang ingin memperbaiki dunia kesehatan? Republik ini jelas sedang kehilangan akal sehatnya ketika birokrasi lebih memilih stabilitas semu daripada pembaruan sistemik.
dr. Rizky Ardiansyah adalah cerminan dokter ideal: klinis mumpuni, sosial progresif, dan intelektual kritis. Maka ketika negara memperlakukan tokoh semacam ini dengan cara yang pongah dan sewenang-wenang, sesungguhnya negara sedang mencederai dirinya sendiri. Kasus dr. Rizky bukan hanya soal pemecatan, tetapi sinyal terang bahwa kebebasan berpikir di dunia kesehatan sedang terancam oleh tangan kekuasaan yang anti kritik dan anti ilmu. Jika dibiarkan, maka bukan hanya profesi medis yang mati perlahan, tetapi juga demokrasi dan keadaban republik ini.
Ketika Kekuasaan Kesehatan Menjadi Alat Represi
Di negeri yang mengaku demokratis, kritik ilmiah seorang intelektual justru dianggap subversif. Seorang dokter anak bersuara demi kemajuan profesinya, lalu dihukum seperti pembangkang. dr. Rizky Ardiansyah—dokter konsultan kardiologi anak dengan integritas akademik—dijatuhkan sanksi pemutusan kontrak oleh RSUP H. Adam Malik Medan hanya karena menyampaikan pendapat keilmuan soal tata kelola profesi dokter anak di Indonesia. Tidak ada ujaran kebencian. Tidak ada penghinaan. Yang ada hanyalah suara ilmiah seorang intelektual muda yang merasa negara perlu dibenahi.
Apa yang dilakukan Kemenkes melalui RSUP Adam Malik bukan sekadar tindakan administratif. Ia telah menjadi praktik abuse de droit—penyalahgunaan wewenang oleh penguasa terhadap hak dasar warga negara. Dalam kerangka konstitusi, ini adalah pelanggaran terang terhadap Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Dalam kerangka hukum internasional, tindakan ini juga mencederai International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang telah diratifikasi Indonesia melalui UU No. 12 Tahun 2005.
Dr. Adnan Buyung Nasution, tokoh konstitusionalis Indonesia, menegaskan bahwa hak untuk menyatakan pendapat adalah bagian dari the very soul of democracy. Dalam pandangannya, konstitusi bukan hanya dokumen hukum, tetapi juga janji moral negara kepada rakyatnya. Ketika kekuasaan justru menindas hak konstitusional warga, maka negara telah melanggar janji dasarnya sebagai rechtsstaat dan berubah menjadi machtsstaat. Kritik ilmiah seperti yang dilakukan dr. Rizky adalah fondasi hidupnya demokrasi, bukan bentuk pembangkangan.
Dalam teori konstitusi yang dibangun Adnan Buyung, negara tidak boleh mencampuradukkan ketertiban birokrasi dengan pembungkaman ekspresi akademik. Kritik bukan tindakan indisipliner, tetapi bagian dari tanggung jawab moral intelektual terhadap publik. Maka, menjatuhkan sanksi kepada seorang dokter hanya karena suara intelektualnya adalah tanda otoritarianisme birokratik yang mengancam kebebasan berpikir di sektor strategis seperti kesehatan.
Hari ini dr. Rizky dikorbankan. Besok mungkin dosen yang bersuara. Lusa, peneliti yang jujur. Ini bukan kasus personal—ini soal prinsip demokrasi. Jika negara tidak bisa membedakan kritik dan pembangkangan, maka kita sedang menapak jalan sunyi menuju negara tanpa nalar. Republik bukan milik penguasa, tetapi milik warganya yang berpikir. Dan kebebasan berpikir adalah batas terakhir sebelum demokrasi benar-benar runtuh.
Abuse de Droit: Ketika Kekuasaan Merasa Tak Bisa Dikritik
Pemecatan sepihak terhadap dr. Rizky Ardiansyah oleh RSUP H. Adam Malik bukan sekadar keputusan manajerial. Ia adalah bentuk nyata dari abuse de droit—penyalahgunaan kewenangan administratif yang bersumber dari kesewenang-wenangan kekuasaan negara. Dalam perspektif hukum administrasi menurut Prof. Philipus M. Hadjon, tindakan pejabat pemerintahan hanya sah apabila tunduk pada prinsip legalitas dan perlindungan hak-hak warga negara. Ketika kekuasaan melangkahi prinsip tersebut, maka tindakan itu telah masuk dalam wilayah pelanggaran hukum oleh pemerintah sendiri.
Menurut Hadjon, setiap tindakan pemerintahan harus memenuhi asas due process of law, yaitu prosedur yang adil, terbuka, dan menjamin hak pembelaan. Namun dalam kasus dr. Rizky, kritik berbasis keilmuan justru dibalas dengan vonis “tidak disiplin” tanpa transparansi, tanpa pembuktian yang proporsional, dan tanpa ruang pembelaan sejajar. Ini adalah praktik administratif yang cacat secara hukum maupun etika. Kritik terhadap sistem profesi bukanlah pelanggaran kerja, apalagi delik etik. Ia adalah ekspresi tanggung jawab intelektual terhadap publik.
Sjachran Basah, dalam kerangka hukum pengawasan kekuasaan negara, menyebut tindakan semacam ini sebagai bentuk detournement de pouvoir—penyimpangan wewenang oleh pejabat publik yang menggunakan kekuasaan bukan untuk kepentingan umum, melainkan untuk membungkam suara berbeda. Dalam konteks dr. Rizky, negara telah menggunakan kewenangan administratif rumah sakit untuk melindungi ego birokrasi, bukan demi keadilan atau profesionalisme tenaga kesehatan.
Kebebasan akademik dan kebebasan berpendapat—termasuk dalam lingkungan profesi medis—harus dipandang sebagai bagian dari hak dasar yang dilindungi konstitusi. Ketika seorang dokter diberhentikan hanya karena menyampaikan kritik ilmiah, maka rumah sakit dan kementerian tidak sedang menjalankan fungsi pelayanan publik, tetapi tengah menjalankan logika otoritarian dalam balutan administratif. Ini menciptakan preseden buruk: bahwa negara bisa menjatuhkan siapa pun yang berpikir berbeda.
Kita sedang berhadapan dengan birokrasi yang kebal kritik dan anti-reformasi. Kasus ini mengingatkan kembali pada peringatan klasik Philipus Hadjon: bahwa supremasi hukum tidak hanya diuji dalam tindakan besar negara, tetapi juga dalam perkara administratif sehari-hari—seperti bagaimana seorang dokter diperlakukan ketika menyuarakan pendapat. Dan hari ini, negara gagal lulus ujian itu.
Profesi Medis dan Peran Intelektual Kritis
Profesi dokter bukan sekadar urusan teknis klinis dan pengobatan individual. Ia adalah pilar peradaban, tempat di mana ilmu pengetahuan, etika, dan keberpihakan pada kemanusiaan bertemu. Dalam sejarahnya, para dokter selalu hadir sebagai pelopor perubahan—dari perjuangan melawan epidemi, perlawanan terhadap kolonialisme medis, hingga advokasi sistem kesehatan universal. Dalam kerangka itu, suara kritis dr. Rizky Ardiansyah bukan hanya sah, tapi vital. Ia menyuarakan hal yang jarang dibahas: tata kelola profesi dokter anak yang elitis, eksklusif, dan nyaris tak tersentuh evaluasi publik.
Dalam konteks global, model pendidikan kedokteran semakin menuntut transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi. Laporan Lancet Commission on the Education of Health Professionals (2010) menekankan pentingnya kolaborasi interdisipliner dan struktur pelatihan yang terbuka agar pelayanan kesehatan berkualitas dapat diakses merata. Apa yang disuarakan dr. Rizky sejalan dengan prinsip itu: ia menggugat sistem tertutup yang menghambat regenerasi dokter anak dan menutup ruang meritokrasi dalam pendidikan spesialis. Kritik seperti ini bukan hanya wajar, tapi dibutuhkan dalam ekosistem profesi yang sehat.
Pierre Bourdieu, dalam teorinya tentang intelektual dan kekuasaan simbolik, menyebut peran intelektual sebagai agen moral yang harus “mengungkap dominasi simbolik” dalam sistem sosial yang mapan. Dalam hal ini, dr. Rizky tengah menyingkap struktur dominasi simbolik dalam profesi medis—yang seringkali dibungkus jargon profesionalisme, namun menyembunyikan konflik kepentingan, oligarki akademik, dan eksklusi sosial. Maka, ketika suara intelektual semacam itu dibungkam, sesungguhnya negara sedang membungkam kesadaran kritis kolektif.
Dalam dunia kedokteran, kritik terhadap sistem bukan ancaman, melainkan alarm etis untuk reformasi. Ketika institusi medis menjadi terlalu nyaman dalam zona elitis dan kekuasaan absolut, maka profesi itu sendiri akan kehilangan makna sosialnya. Seorang dokter yang berani bersuara—apalagi dengan kompetensi ilmiah seperti dr. Rizky—bukan musuh sistem, tetapi justru benteng moral dari degradasi institusional. Jika rumah sakit dan kementerian lebih memilih menghukum ketimbang mendengar, maka yang runtuh bukan hanya nama baik seseorang, tapi kredibilitas sistem itu sendiri.
Indonesia butuh lebih banyak dokter yang berpikir dan bersuara, bukan hanya yang patuh. Republik ini tidak bisa diselamatkan oleh keheningan birokratis. Ia hanya bisa diperbaiki oleh keberanian ilmiah dan keberpihakan etis. Dalam konteks itulah, dr. Rizky bukan sekadar korban, tapi simbol penting: bahwa profesi medis yang progresif dan demokratis hanya bisa lahir dari keberanian bersuara, meski harus berhadapan dengan kekuasaan yang pongah.
Ketika Kritik Dianggap Ancaman: Refleksi Sistemik
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tampaknya masih melihat kritik sebagai duri dalam daging, bukan sebagai alat koreksi kebijakan. Dalam banyak kasus, termasuk pemecatan sepihak terhadap dr. Rizky Ardiansyah, respons negara cenderung represif, bukan reflektif. Padahal, kritik dari kalangan profesional medis seharusnya dipandang sebagai manifestasi kepedulian terhadap keberlangsungan mutu layanan kesehatan publik. Ketika suara kritis dibalas dengan sanksi, maka birokrasi tidak sedang bekerja untuk rakyat, melainkan untuk melindungi kenyamanan kekuasaan.
Sistem rumah sakit vertikal yang berada langsung di bawah Kemenkes kerap kali menunjukkan gejala stagnasi: minim transparansi, tidak terbuka terhadap evaluasi internal, dan sangat hierarkis dalam struktur pengambilan keputusan. Laporan Indonesia Health System Review (WHO-SEARO, 2022) mencatat bahwa lemahnya partisipasi tenaga kesehatan dalam perumusan kebijakan menjadi salah satu faktor utama lambatnya reformasi sistem kesehatan di Indonesia. Di tengah kompleksitas masalah tersebut, suara dokter seperti dr. Rizky mestinya menjadi masukan berharga—bukan ancaman yang harus dibungkam.
Jika kritik internal terus disikapi secara defensif, maka kita akan menghadapi krisis sistemik: pembungkaman intelektual dalam dunia profesi. Ini berbahaya. Tanpa otonomi berpikir di kalangan tenaga medis, maka inovasi, evaluasi mutu, dan keberanian membela pasien akan lumpuh oleh rasa takut. Negara demokratis tidak lahir dari keseragaman, tetapi dari keberanian mempertahankan ruang perbedaan. Dalam konteks kesehatan, itu berarti mengakui hak tenaga medis untuk mengoreksi kebijakan yang merugikan publik.
Kasus dr. Rizky memperlihatkan bahwa institusi kesehatan kita belum dewasa menyikapi demokratisasi pengetahuan. Kritik ilmiah dijawab dengan pemutusan hubungan kerja, tanpa forum yang adil dan partisipatif. Ini mencerminkan bahwa sistem masih berpijak pada logika kekuasaan, bukan logika pelayanan. Bila kritik profesional dimaknai sebagai serangan pribadi, maka kita sedang menyaksikan kemunduran besar dalam tata kelola institusi publik.
Reformasi sistem kesehatan tidak akan pernah berhasil tanpa membangun budaya intellectual autonomy di kalangan tenaga medis. Dokter bukan sekadar operator klinis, tetapi aktor moral dan sosial dalam sistem kesehatan. Bila suara mereka terus direpresi, maka yang runtuh bukan hanya integritas profesi, tetapi juga hak masyarakat atas layanan kesehatan yang adil dan bermutu. Dan bila negara terus memelihara birokrasi yang anti-kritik, maka kesehatan rakyat akan terus dipertaruhkan atas nama stabilitas semu.
Mereka yang Membela Profesi Justru Disingkirkan
Alih-alih dihargai atas dedikasi dan keberanian intelektualnya, dr. Rizky Ardiansyah justru diberhentikan secara sepihak dari institusi tempat ia mengabdi. Tidak ada pelanggaran etik, tidak ada kegagalan klinis. Yang ada hanyalah keberanian menyuarakan persoalan struktural dalam tata kelola profesi medis. Pemecatan ini bukan sekadar keputusan administratif—ia adalah pesan intimidatif yang jelas: bahwa siapa pun yang bersuara di luar garis birokrasi akan disingkirkan. Ini bukan logika meritokrasi, tapi logika kuasa yang menakutkan.
Berdasarkan data dari Indonesian Medical Ethics Council (KODEKI), mayoritas pelanggaran etik medis di Indonesia justru tidak datang dari suara kritis, melainkan dari konflik kepentingan, malpraktik tersembunyi, dan dominasi rumah sakit atas independensi klinis dokter. Dalam konteks itu, suara seperti dr. Rizky justru seharusnya menjadi bagian dari mekanisme kontrol internal yang sehat. Namun realitasnya, sistem kesehatan publik malah menunjukkan wajah lain: anti-pembaharuan, anti-kritik, dan protektif terhadap struktur kekuasaan lama.
Pertanyaan mendasarnya: apakah rumah sakit milik negara masih layak disebut sebagai lembaga pelayanan publik, ataukah ia telah menjelma menjadi kantor kekuasaan yang tunduk pada logika politik dan bukan profesionalisme? Ketika suara dokter dibungkam karena alasan "tidak sejalan dengan institusi", maka institusi tersebut telah kehilangan mandat sosialnya. Profesi dokter, yang seharusnya otonom dan berdiri atas dasar ilmu dan etika, justru dijajah oleh kepentingan birokratik yang mengabaikan substansi.
Laporan World Health Organization (2021) mencatat bahwa sistem kesehatan yang represif terhadap kebebasan profesional tenaga medis cenderung mengalami stagnasi dalam inovasi, rendahnya kepuasan kerja, dan meningkatnya migrasi tenaga kesehatan ke sektor swasta atau luar negeri. Jika Indonesia terus mempertahankan iklim yang membungkam suara profesional seperti ini, maka bukan tidak mungkin kita akan menghadapi krisis kepercayaan dalam pelayanan medis publik.
Yang dibungkam dalam kasus ini bukan sekadar satu individu. Yang diserang adalah semangat pembaruan, etika profesi, dan keberanian intelektual. Ketika dokter yang berpikir dibungkam, maka pasienlah yang pada akhirnya paling dirugikan. Dan bila rumah sakit negeri lebih sibuk menjaga stabilitas kekuasaan daripada kualitas profesi, maka yang hancur bukan hanya karier seorang dokter—tetapi masa depan sistem kesehatan kita sendiri.
Penutup
Republik ini tak akan bertahan dari krisis kesehatan jika tenaga medisnya dibentuk dalam kultur takut dan tunduk. Yang dibutuhkan negeri ini adalah dokter-dokter seperti dr. Rizky Ardiansyah—yang tak hanya menyembuhkan pasien, tetapi juga menyuarakan nurani profesi dan memperjuangkan integritas sistem. Ketika dokter dikriminalisasi karena kritik ilmiah, maka yang sesungguhnya sedang dirugikan bukan hanya profesinya, tetapi rakyat yang berharap pada sistem kesehatan yang adil, transparan, dan berpihak.
Pemecatan terhadap dr. Rizky adalah contoh gamblang dari penggunaan kekuasaan secara pongah dan mengada-ada. Sanksi terhadapnya tidak dilandasi pelanggaran etik atau kesalahan klinis, melainkan didorong oleh sensitivitas kekuasaan terhadap kritik keilmuan. Ini tidak hanya bertentangan dengan Pasal 28E UUD 1945, tapi juga melanggar semangat Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik yang menjamin kebebasan berpendapat, termasuk dalam ranah profesional. Negara tak boleh membungkam suara yang justru hendak memperbaiki cacat sistemik.
Sudah waktunya Kementerian Kesehatan dan RSUP H. Adam Malik mencabut semua sanksi terhadap dr. Rizky Ardiansyah. Pemulihan nama baiknya bukan hanya bentuk keadilan individual, tetapi juga langkah penting untuk membangun kembali kepercayaan publik terhadap institusi kesehatan negara. Demokrasi tidak tumbuh dari pengendalian mulut dan pikiran; ia tumbuh dari keberanian, dari dialektika, dan dari mereka yang memilih berpihak pada kebenaran, meski harus berhadapan dengan kuasa.
Demikian.
Tentang Penulis:
Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH adalah advokat, pemerhati isu konstitusi serta hak asasi manusia, anggota badan perkumpulan KontraS Sumut dan Wakil Sekretaris Bidang Hukum dan HAM MW KAHMI Sumut.
Daftar Pustaka (Chicago Style)
Adnan, Buyung Nasution. A Nation in Waiting: Indonesia’s Search for Democracy. Jakarta: Kompas, 2001.
Basah, Sjachran. Peranan Hukum dalam Masyarakat. Jakarta: Rajawali Press, 1992.
Bourdieu, Pierre. Pascalian Meditations. Translated by Richard Nice. Stanford: Stanford University Press, 2000.
Hadjon, Philipus M. Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia: Sebuah Studi tentang Prinsip-Prinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi Negara. Surabaya: Bina Ilmu, 1987.
Komnas HAM. “Kebebasan Berekspresi dalam Profesi: Studi Kasus Kode Etik dan Sanksi Disipliner.” Laporan Tahunan, 2023.
Konsil Kedokteran Indonesia. Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI). Jakarta: KKI, 2022.
RSUP H. Adam Malik. “RS Adam Malik Berhasil Pisahkan Bayi Kembar Siam untuk Kelima Kalinya.” Diakses 5 Juli 2025. https://rsham.go.id/berita/rs-adam-malik-berhasil-pisahkan-bayi-kembar-siam-untuk-kelima-kalinya.html
The Lancet Commission. “Health Professionals for a New Century: Transforming Education to Strengthen Health Systems in an Interdependent World.” The Lancet 376, no. 9756 (2010): 1923–1958.
United Nations. International Covenant on Civil and Political Rights. New York: United Nations, 1966. Diratifikasi Indonesia melalui UU No. 12 Tahun 2005.
World Health Organization. Indonesia Health System Review. Health Systems in Transition Vol. 10 No. 1. New Delhi: WHO Regional Office for South-East Asia, 2022.
Posting Komentar
0Komentar