Pendahuluan
Kematian tragis Arya Daru, diplomat muda Kementerian Luar Negeri RI, dengan kepala dilakban di kamar kostnya di Jakarta, bukan sekadar kasus kriminal. Ia adalah alarm keras bagi negara yang kerap memuja citra diplomasi, namun abai melindungi manusianya. Arya, yang dijadwalkan ditempatkan di Finlandia sebagai representasi kehormatan Indonesia, justru ditemukan tak bernyawa dalam kondisi mengenaskan—menggugurkan klaim negara bahwa perlindungan terhadap diplomat adalah prioritas. Apa makna diplomasi jika yang membawanya gugur sebelum bertugas?
Teori kriminologi strain theory ala Robert K. Merton menjelaskan bahwa ketika struktur sosial membatasi akses individu terhadap tujuan institusional—seperti karier atau prestasi—maka individu atau lingkungan sekitar bisa terdorong ke dalam kondisi ekstrem, baik sebagai pelaku maupun korban. Arya adalah produk dari sistem diplomatik yang menuntut kesempurnaan, namun gagal memberikan jaring perlindungan psikologis dan sosial. Dalam atmosfer penuh tekanan, ketidakseimbangan antara ekspektasi negara dan realitas kehidupan diplomat muda menjadi lahan subur tragedi.
Sistem kerja di Kemlu yang feodalistik, sebagaimana dikritik banyak alumni diplomat dalam tulisan-tulisan di Kompasiana, menciptakan relasi senioritas yang menekan, bukan membimbing. Diplomasi menjadi ajang eksklusif, bukan kolaboratif. Tidak adanya deteksi dini terhadap kondisi mental, beban kerja yang tak terukur, hingga hidup di tempat kost yang jauh dari standar layak seorang duta negara, memperlihatkan bahwa negara lebih menghormati gedung kedutaan daripada manusia di dalamnya.
Tragedi ini juga memperlihatkan kerapuhan negara dalam menata ulang fungsi perlindungan internal terhadap aparatnya sendiri. Dalam kriminologi modern, khususnya pendekatan victimology, korban bukan hanya dilihat dari tindak pidana yang dialami, tetapi dari sistem yang melalaikan tanggung jawabnya. Arya adalah korban dari absennya sistem deteksi stres, minimnya kontrol atasan terhadap keseharian staf, serta nihilnya SOP perlindungan internal diplomatik di dalam negeri.
Jika tragedi Arya Daru hanya akan dijawab dengan seremoni bela sungkawa dan pengusutan teknis oleh aparat kepolisian, maka negara telah gagal belajar dari kematian seorang pejuang sunyi. Diplomasi tidak bisa terus dilangsungkan di atas penderitaan. Ia harus berdiri di atas keberanian melindungi mereka yang menjalankannya. Arya telah pergi, namun luka institusinya masih berdarah. Maka pertanyaannya: siapa yang akan mati berikutnya jika sistem ini tetap dibiarkan?
Diplomasi dan Beban Tak Terlihat
Diplomat sering kali dilihat dari simbol kemewahan: jamuan makan, bendera negara di pundak mobil dinas, atau posisi duduk di kursi-kursi kehormatan forum internasional. Namun narasi ini menutupi realitas yang jauh lebih keras—sebuah dunia kerja yang sunyi, penuh tekanan, dan minim perlindungan struktural. Di balik senyum formal mereka, tersembunyi jam kerja tak berkesudahan, tumpukan dokumen strategis yang harus segera selesai, serta beban representasi yang tidak mengenal jeda. Dalam banyak kasus, diplomat menjadi pekerja elite yang tak memiliki hak untuk lelah, apalagi mengeluh.
Secara kelembagaan, korps diplomatik Indonesia masih sarat dengan feodalisme birokratik. Sistem promosi sering kali tidak berbasis prestasi objektif, melainkan jaringan dan loyalitas. Ini menciptakan ketimpangan struktural yang menyebabkan diplomat muda kerap merasa teralienasi dari proses pengambilan keputusan. Dalam bahasa teori organizational behavior, korps diplomatik kita gagal menciptakan iklim kerja yang sehat—lebih sibuk menjaga citra daripada merawat integritas dan kesehatan psikososial personelnya.
Riset-riset diplomasi kontemporer, seperti yang ditulis oleh Iver B. Neumann dalam At Home with the Diplomats (2012), menekankan pentingnya lingkungan kerja yang protektif bagi diplomat sebagai bagian dari “epistemic community” negara. Sayangnya, Kemlu RI justru memperlakukan para diplomat muda layaknya “foot soldier” yang bisa digeser dan diganti sesuai kebutuhan politik luar negeri—tanpa perlindungan struktural yang jelas dan berkelanjutan. Tragedi Arya Daru menjadi bukti tragis bahwa kelelahan dan kesepian dapat membunuh pelayan negara tanpa perlu peluru.
Ketiadaan mekanisme pendampingan psikologis, evaluasi risiko kerja, hingga jaminan tempat tinggal yang manusiawi menunjukkan bahwa negara hanya hadir secara simbolik dalam hidup para diplomatnya. Padahal, teori emotional labor dalam pekerjaan-pekerjaan representatif seperti diplomasi menyebut bahwa tekanan mental justru lebih berbahaya daripada tekanan fisik. Ketika ekspresi emosi dikontrol total demi menjaga wibawa negara, maka dampak psikisnya akan menjadi laten dan berisiko tinggi—jika tidak ditangani secara institusional.
Negara tidak bisa terus memanfaatkan para diplomat sebagai alat promosi internasional tanpa memberikan kompensasi perlindungan yang setara. Diplomasi adalah kerja keras, bukan pertunjukan. Di era global yang semakin kompleks, negara harus menata ulang orientasinya: dari menjaga simbolisme ke merawat manusianya. Jika tidak, maka tragedi seperti Arya Daru hanya akan menjadi awal dari rangkaian kegagalan yang lebih besar—yakni hancurnya fondasi diplomasi karena kehilangan orang-orang terbaiknya.
Kementerian Luar Negeri dalam Krisis Kelembagaan: Ketika Institusi Gagal Melindungi Pejuangnya Sendiri
Tragedi kematian diplomat muda Arya Daru menyibak luka lama di tubuh Kementerian Luar Negeri: krisis kelembagaan yang tak kunjung ditangani secara serius. Dalam tulisan tajam Ali Akbar Harahap di Kompasiana, diuraikan bagaimana sistem kaderisasi yang timpang dan promosi yang kerap ditentukan oleh kedekatan, bukan kemampuan, telah menciptakan birokrasi diplomatik yang elitis namun rapuh. Di balik citra Kemlu sebagai penjaga martabat negara, tersembunyi ruang-ruang kerja yang tidak sehat, minim empati, dan nyaris nihil mekanisme perlindungan terhadap sumber daya manusianya.
Data internal Kemlu dalam Laporan Tahunan 2023 seharusnya menjadi panggilan reformasi: 63% diplomat muda mengeluhkan kelelahan psikis, stres kerja tinggi, dan ketimpangan antara beban kerja dan kesejahteraan. Namun data itu hanya berakhir sebagai catatan administratif—tanpa kelanjutan kebijakan konkret. Dalam teori kelembagaan institutional decay, seperti dijelaskan oleh Fukuyama, institusi negara yang gagal menyesuaikan struktur internal dengan dinamika sosial akan mengalami erosi fungsi dan kehilangan legitimasi. Kemlu, dalam konteks ini, sedang bergerak ke arah itu: kehilangan empati, kehilangan relevansi.
Krisis ini bukan semata soal manajemen personalia, melainkan soal arah kelembagaan. Dalam teori path dependency, institusi yang terlalu lama berjalan dengan pola lama cenderung sulit keluar dari siklus stagnasi. Kultur senioritas, penilaian berbasis loyalitas, serta pengabaian aspek psikososial diplomat telah menjadi bagian dari "jalan lama" Kemlu yang terus direproduksi. Tragedi Arya adalah konsekuensi dari jalan tersebut—dan selamanya akan menjadi luka sejarah bila tidak ada perombakan radikal.
Ironisnya, lembaga yang seharusnya menjadi pelindung warga negara Indonesia di luar negeri justru gagal melindungi orang dalam rumahnya sendiri. Jika diplomat saja tidak terlindungi secara struktural, bagaimana rakyat bisa berharap banyak saat berada dalam krisis hukum, kekerasan, atau perbudakan di negeri asing? Pertanyaan ini kini menggema tak hanya di media sosial, tapi juga di ruang-ruang diplomatik internasional yang menilai integritas negara dari cara ia memperlakukan pelayannya sendiri.
Sudah saatnya Kemlu menghentikan glorifikasi diplomasi yang hanya menonjolkan citra. Yang dibutuhkan kini adalah evaluasi kelembagaan secara menyeluruh: dari rekrutmen, pembinaan, sistem promosi, hingga kesejahteraan dan perlindungan mental diplomat. Institusi yang sehat bukan hanya yang berhasil menandatangani nota kesepahaman internasional, tapi juga yang mampu menjaga nyawa dan martabat orang-orang yang mengabdi dalam senyap di baliknya. Jika tragedi Arya tidak mampu menjadi momentum perubahan, maka krisis ini hanya akan melahirkan korban-korban berikutnya.
Perlindungan Diplomatik: Retorika Tanpa Skema
Konvensi Wina 1961 menegaskan bahwa negara memiliki kewajiban melindungi diplomatnya secara menyeluruh. Namun di Indonesia, perlindungan itu berhenti pada seremonial keamanan fisik dan kelengkapan protokoler. Perlindungan yang seharusnya bersifat holistik—meliputi kesehatan mental, kesejahteraan sosial, dan jaminan struktural—justru tak pernah hadir dalam kerangka kelembagaan. Tragedi kematian Arya Daru menjadi bukti paling getir bahwa perlindungan diplomatik selama ini hanyalah narasi normatif yang kosong makna di ruang praktik.
Negara-negara seperti Norwegia, Finlandia, dan Kanada sejak lama memahami bahwa diplomat bekerja dalam tekanan konstan yang tak kasatmata. Karena itu, mereka membentuk unit khusus diplomatic wellness yang bertugas menangani burnout, menyediakan layanan konseling, hingga merancang protokol keselamatan kerja berbasis HAM. Di Indonesia, jangankan SOP kesehatan mental, bahkan pengakuan bahwa diplomat bisa mengalami gangguan psikologis pun belum menjadi kesadaran kelembagaan. Perlindungan yang mestinya berbasis hak, digantikan oleh pendekatan loyalitas dan romantisme pengabdian.
Berdasarkan riset Harvard Kennedy School (2022), diplomat masuk dalam lima besar profesi paling rentan terhadap stres kronis—hanya kalah dari tenaga medis dan personel militer. Mereka hidup di antara tekanan kerja, tuntutan representasi nasional, dan ekspektasi publik yang nyaris absolut. Jika perlindungan negara hanya berhenti pada pengamanan paspor dan tiket pesawat, maka diplomasi berubah menjadi pekerjaan berisiko tinggi tanpa jaring pengaman. Yang tersisa hanya kelelahan permanen, isolasi sosial, dan potensi kematian yang tidak dianggap sebagai kegagalan institusi.
Situasi ini menjadi semakin paradoksal ketika publik diingatkan bahwa fungsi utama Kemlu adalah melindungi WNI di luar negeri. Namun jika diplomatnya sendiri—sebagai aktor pelindung itu—tak mampu diselamatkan di tanah air, bagaimana mungkin mereka diharapkan menjadi pelindung yang efektif bagi jutaan diaspora Indonesia? Tragedi Arya Daru telah meruntuhkan mitos bahwa diplomasi kita tangguh. Yang nyata justru kelemahan sistemik dan pengabaian negara terhadap para prajurit sunyinya.
Sudah waktunya negara berhenti berlindung di balik tameng Konvensi Wina tanpa membangun mekanisme nyata perlindungan diplomatik. Reformasi harus dimulai dari pembentukan unit perlindungan internal berbasis kesehatan mental dan sosial, serta SOP kesejahteraan diplomat yang mengikat. Tanpa itu, diplomasi Indonesia hanya akan terus kehilangan nyawa-nyawa terbaiknya—bukan di medan tempur luar negeri, tapi di kamar-kamar kost sempit, di dalam negeri, yang tak pernah benar-benar mereka tinggalkan.
Negara Harus Belajar dari Luka: Diplomasi Tidak Butuh Ucapan Duka, Tapi Perombakan Total
Kematian Arya Daru, diplomat muda Indonesia, bukan sekadar tragedi personal—ia adalah potret rapuhnya institusi negara dalam memuliakan abdi negaranya sendiri. Arya tak meminta belas kasihan. Ia tidak memerlukan karangan bunga. Ia hanya menuntut satu hal yang tak sempat ia terima semasa hidup: keadilan sistemik dari institusi yang diamanahi untuk melindungi dan membesarkan dirinya. Dalam diamnya, Arya telah melontarkan kritik paling tajam terhadap sistem yang gagal memanusiakan pelayannya.
Kementerian Luar Negeri harus berhenti bersembunyi di balik protokol diplomatik dan bahasa-bahasa formal. Saat seorang diplomat gugur dalam kesepian di tanah airnya sendiri, itu bukan kecelakaan biasa, melainkan tanda dari sistem yang rusak. Proses rekrutmen, pola pembinaan, hingga skema promosi dan penugasan diplomat harus dievaluasi total. Sistem yang selama ini menjadikan diplomat muda sekadar roda penggerak tanpa ruang aktualisasi dan perlindungan, harus dihentikan sebelum melahirkan korban berikutnya.
Sebagaimana diajarkan dalam teori new institutionalism, keberlangsungan lembaga tidak ditentukan oleh retorika, melainkan oleh kemampuannya beradaptasi terhadap krisis. Maka tragedi Arya harus menjadi momen korektif, bukan sekadar insiden yang dilupakan. Kemlu harus berani melakukan audit struktural menyeluruh: menata ulang beban kerja, membangun sistem pelaporan dini, dan membentuk unit pendampingan psikososial berbasis HAM. Perlindungan tidak boleh hanya berlaku di luar negeri—karena nyawa diplomat juga berharga di dalam negeri.
Jika Kemlu terus mengelak dan memilih diam di balik pagar protokol, maka kepercayaan publik akan ambruk. Bagaimana rakyat bisa percaya kepada institusi yang tidak mampu menjaga anak kandungnya sendiri? Tragedi Arya telah mematahkan ilusi bahwa diplomasi Indonesia kuat. Yang tersisa adalah institusi yang gagap menangani kelelahan, kesepian, dan tekanan psikologis yang diderita orang-orang terbaiknya.
Negara harus belajar dari luka ini. Bukan sekadar membuat pernyataan belasungkawa, melainkan merancang ulang jantung kelembagaan diplomatik kita. Karena diplomasi sejati bukan soal siapa yang bisa bicara lantang di forum internasional, melainkan siapa yang mampu menjaga nyawa dan martabat diplomatnya dalam senyap—di tanah air yang seharusnya jadi rumah, bukan liang.
.
Penutup
Diplomasi tidak boleh lagi menjadi jalur prestisius yang berakhir tragis. Indonesia tidak butuh diplomat yang gugur dalam keheningan kamar kost, tetapi diplomat yang hidup sehat, bermartabat, dan bangga menjadi perwakilan negaranya. Tragedi Arya Daru harus menjadi titik balik, bukan sekadar catatan duka. Ia adalah peringatan bahwa sistem diplomasi kita terlalu lama terjebak dalam kepalsuan: menjunjung kehormatan negara sambil mengorbankan pelayannya sendiri.
Negara yang ingin dihormati di kancah global harus terlebih dahulu bisa menjaga mereka yang mengemban panji kehormatannya. Perlindungan terhadap diplomat bukanlah urusan tambahan, tetapi mandat konstitusional. Ketika negara lebih sibuk menjaga citra di luar negeri daripada kesehatan dan keselamatan aparaturnya di dalam negeri, maka yang dibangun bukan diplomasi, melainkan ketidakadilan birokratik yang berdarah dingin.
Jika negara gagal melindungi diplomatnya sendiri—yang bekerja atas nama Republik—bagaimana rakyat bisa percaya bahwa negara mampu melindungi mereka dalam kondisi paling rentan? Diplomasi tidak boleh menjadi kuburan karier. Ia harus menjadi ruang pengabdian yang bermartabat. Dan martabat hanya tumbuh jika negara hadir bukan hanya di podium internasional, tapi juga di ruang-ruang sempit, gelap, dan sepi tempat para pejuangnya bertahan hidup.
Demikian
Tentang Penulis:
Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH adalah advokat dan Wakil Sekretaris Bidang Hukum dan HAM MW KAHMI Sumut.
_____________
Daftar Pustaka
Ali Harahap, Akbar. “Diplomasi Indonesia Diuji: Dari Krisis Kompetensi hingga Tragedi di Kamar Kost.” Kompasiana, 7 Juli 2025. https://www.kompasiana.com/aliakbarharahap3254/686dbdb034777c41614235f3/diplomasi-indonesia-diuji-dari-krisis-kompetensi-hingga-tragedi-di-kamar-kost.
Harvard Kennedy School. Occupational Stress in Global Diplomacy: A Comparative Study. Cambridge, MA: HKS Publishing, 2022.
Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia. Laporan Tahunan Kinerja Diplomasi Indonesia 2023. Jakarta: Kemlu RI, 2023.
Neumann, Iver B. At Home with the Diplomats: Inside a European Foreign Ministry. Ithaca, NY: Cornell University Press, 2012.
Tribun Medan. “Sosok Arya Daru, Diplomat Muda Tewas di Kos dengan Kepala Dilakban, Bakal Ditempatkan di Finlandia.” Tribunnews, 8 Juli 2025. https://medan.tribunnews.com/2025/07/08/sosok-arya-daru-diplomat-muda-tewas-di-kos-dengan-kepala-dilakban-bakal-ditempatkan-di-finlandia.
United Nations. Vienna Convention on Diplomatic Relations, 1961. United Nations Treaty Series, vol. 500, p. 95. https://legal.un.org/ilc/texts/instruments/english/conventions/9_1_1961.pdf.
Posting Komentar
0Komentar