Pendahuluan
“Ketika negara menggunakan tangan kekuasaan untuk menyingkirkan mereka yang bersuara, maka yang tumbuh bukan peradaban, melainkan kedunguan birokrasi.”
dr. Rizky Ardiansyah, M.Ked (Ped), Sp.A(K), bukan hanya seorang dokter spesialis anak dengan subspesialisasi kardiologi. Ia adalah representasi langka dari intelektual medis muda yang berani bersikap dalam sistem yang kerap menuntut tunduk. Lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara ini dikenal sebagai kader teras Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang berpikir sistemik dan bersikap etik. Di ruang praktik maupun forum akademik, Rizky tak hanya mengobati, tetapi juga menggugat ketimpangan yang menggerogoti integritas profesi dokter. Dalam dirinya, ilmu, moral, dan keberanian bersatu.
Namanya menonjol di lingkaran kedokteran anak nasional. Ia menjadi bagian penting dalam tim medis RSUP H. Adam Malik yang berhasil memisahkan bayi kembar siam, operasi langka yang mengukir prestasi dunia medis Indonesia. Kontribusinya bukan sekadar teknis, tetapi mencerminkan dedikasi dan kolaborasi lintas profesi yang menjunjung tinggi etika kedokteran. Namun di balik prestasi itu, ada ironi yang menyayat: keberaniannya mengkritisi mekanisme pendidikan dokter anak melalui Kolegium Kesehatan Anak (KKA) justru dijawab dengan pemecatan. Bukan karena kesalahan klinis, tapi karena keberanian berpikir.
Pemecatan itu bukan sekadar urusan administrasi. Ia adalah cermin suram bagaimana aparatus kesehatan kita menyalahgunakan kekuasaan demi meredam suara-suara kritis yang sah secara konstitusional. Label “tidak disiplin” yang disematkan padanya menunjukkan bagaimana opini profesional disamakan dengan pembangkangan. Dalam logika negara hukum modern, tindakan ini bukan sekadar pelanggaran etika birokrasi, melainkan bentuk détournement de pouvoir—penyimpangan wewenang—yang mengkhianati semangat demokrasi dan kebebasan akademik yang seharusnya menjadi fondasi profesi dokter.
Kuasa yang Menyimpang, Konstitusi yang Dilanggar
Pemecatan dr. Rizky Ardiansyah dari RSUP H. Adam Malik bukan sekadar tindakan administratif biasa. Ia adalah isyarat keras bahwa aparatus negara masih memiliki kecenderungan feodalistik dalam menangani perbedaan pendapat, bahkan ketika pendapat itu bersifat konstruktif dan berasal dari seorang profesional medis. Dengan tuduhan “tidak disiplin,” negara secara sadar telah mengabaikan semangat konstitusi yang menjamin kebebasan berpikir, berekspresi, dan berpendapat bagi setiap warga negara—termasuk dokter.
Kritik dr. Rizky terhadap Kolegium Kesehatan Anak (KKA) bukanlah agitasi politik, apalagi serangan pribadi. Ia menyuarakan kegelisahan intelektual tentang sistem pendidikan spesialis yang dianggap tak inklusif dan cenderung eksklusif. Kritik ini disampaikan dengan argumentasi, disertai fakta, dan melalui kanal yang sah secara hukum. Tetapi alih-alih dijawab dengan dialog terbuka, pemerintah justru meresponsnya dengan pemecatan, seolah pendapat berbeda adalah virus yang harus dibasmi, bukan dijawab.
Tindakan tersebut jelas mencederai prinsip-prinsip hukum tata negara modern. Pasal 28E UUD 1945 memberi jaminan konstitusional atas hak berpendapat, dan ICCPR sebagai hukum internasional yang mengikat Indonesia mengukuhkan hak itu sebagai non-derogable right—hak yang tidak bisa dikurangi dalam keadaan apa pun. Maka tindakan pemecatan ASN karena menyampaikan pendapat ilmiah adalah bentuk pelanggaran konstitusi sekaligus pelanggaran komitmen internasional Indonesia dalam menegakkan hak sipil dan politik.
Para pakar hukum administrasi seperti Prof. Philipus Hadjon dan Sjachran Basah telah lama memperingatkan bahaya détournement de pouvoir—penyimpangan wewenang. Ketika sebuah keputusan dikeluarkan tidak untuk tujuan yang sah, tetapi sebagai instrumen pembungkaman, maka keputusan itu secara yuridis dan etis cacat. Di titik inilah negara bukan lagi pelindung hak warga, melainkan predator yang memangsa keberanian warganya sendiri.
Ironisnya, semua ini terjadi di sektor kesehatan—sektor yang seharusnya menjadi garda etika, kemanusiaan, dan profesionalisme. Jika dokter sekelas dr. Rizky, yang berpikir tajam dan berintegritas, disingkirkan hanya karena bersuara, maka siapa lagi yang berani berdiri? Republik ini bukan kekurangan tenaga medis, tapi kekurangan keberanian institusional untuk melindungi mereka yang berpikir dan berbicara demi perbaikan sistem. Ketika keberanian menjadi alasan untuk dihukum, maka demokrasi telah kehilangan nadinya.
Hadjon, Basah, Buyung, dan Laica: Suara Hukum yang Dilupakan
Dalam literatur hukum administrasi Indonesia, nama Prof. Philipus M. Hadjon tak asing bagi siapa pun yang berbicara tentang perlindungan hak warga negara atas tindakan pemerintah. Ia menekankan bahwa kekuasaan administratif negara harus tunduk pada prinsip due process of law dan asas proporsionalitas. Kekuasaan tidak boleh dijalankan secara serampangan, apalagi dijadikan alat balas dendam terhadap warga yang menggunakan hak konstitusionalnya. Maka ketika dr. Rizky dipecat hanya karena menyampaikan kritik akademik terhadap Kolegium Kesehatan Anak (KKA), itu adalah contoh nyata kekuasaan yang kehilangan legitimasi moral maupun yuridis.
Sjachran Basah, dalam analisis klasiknya soal diskresi pejabat publik, memberi peringatan keras: penyalahgunaan kekuasaan bukan terjadi karena peraturan dilanggar, tetapi karena niat dari penggunaan kekuasaan itu sendiri menyimpang dari tujuan hukum. Wewenang administratif negara tidak boleh digunakan untuk menyingkirkan, melainkan untuk membina, menata, dan melayani. Dalam konteks pemecatan dr. Rizky, alasan “tidak disiplin” menjadi topeng bagi motif institusional yang represif: mengendalikan kritik dan menjaga citra lembaga.
Dr. Adnan Buyung Nasution menambahkan perspektif politik-hukum yang lebih fundamental: dalam negara demokratis, kritik bukanlah ancaman, tapi kebutuhan. Ketika negara memberangus suara yang berbeda, maka yang terjadi bukan hanya pelanggaran hak, melainkan kemunduran peradaban. Buyung menyebut negara seperti itu sebagai “negara sakit”—yakni negara yang anti-dialektika, yang menggantikan akal sehat dengan kepatuhan membabi buta. Nasib dr. Rizky adalah cerminan konkret dari penyakit itu: kegagalan sistem menghargai intelektualitas yang independen.
Lebih jauh, Prof. Laica Marzuki, mantan Hakim Konstitusi, telah menegaskan dalam berbagai putusan bahwa hak untuk menyampaikan pendapat, terutama dalam bentuk kritik intelektual, adalah non-derogable right. Artinya, hak tersebut tidak dapat dicabut dalam keadaan apa pun, bahkan saat darurat negara sekalipun. Maka bagaimana mungkin sebuah rumah sakit—institusi publik yang dibiayai anggaran negara—mengeluarkan keputusan pemecatan terhadap ASN yang hanya menggunakan hak dasarnya sebagai warga negara?
Jika logika ini dibenarkan, maka semua ASN—guru, dosen, dokter, peneliti, bahkan pejabat struktural—bisa dipecat hanya karena mereka berbeda pendapat dengan institusi tempat mereka bekerja. Ini adalah bahaya laten yang lebih besar daripada sekadar kasus dr. Rizky. Ini adalah preseden buruk yang membuka pintu bagi pembungkaman sistematis terhadap pikiran kritis di seluruh jajaran birokrasi Indonesia.
Dengan demikian, suara Hadjon, Basah, Buyung, dan Laica bukan sekadar kutipan dalam buku teks hukum. Mereka adalah suara nurani konstitusi yang kini sedang dikhianati. Jika bangsa ini ingin tetap disebut sebagai negara hukum, maka tidak boleh ada satu pun warga—termasuk dokter—yang dihukum karena keberaniannya berpikir dan bersuara. Karena ketika konstitusi dikhianati oleh institusi, maka yang tersisa hanyalah topeng kekuasaan tanpa legitimasi.
Dari Rumah Sakit ke Ruang Represi
RSUP H. Adam Malik semestinya menjadi institusi pelayanan publik yang menjunjung tinggi etika kedokteran, bukan tempat berlangsungnya represi terhadap kebebasan akademik dan suara kritis. Namun dalam kasus dr. Rizky Ardiansyah, rumah sakit vertikal milik Kementerian Kesehatan itu justru memperlihatkan wajah gelap birokrasi medis: institusi yang lebih cepat menghukum daripada mendengarkan. Di balik jargon mutu layanan dan profesionalisme, tersimpan kenyataan pahit bahwa loyalitas buta kini lebih dihargai daripada integritas intelektual.
Pergeseran fungsi rumah sakit dari pusat penyembuhan menjadi ruang pendisiplinan ini tidak berdiri sendiri. Ia merupakan gejala dari krisis struktural dalam birokrasi kesehatan kita—di mana sistem tidak didesain untuk menerima masukan dari dalam, tetapi justru memusuhi refleksi kritis yang lahir dari pengalaman. Kritik terhadap Kolegium Kesehatan Anak (KKA) yang disampaikan dr. Rizky bukan agitasi, bukan serangan pribadi, melainkan bagian dari tanggung jawab etik seorang dokter yang peduli terhadap regenerasi profesi.
Namun respons yang diberikan bukan klarifikasi atau debat ilmiah, melainkan pemecatan. Dalam logika teknokratik yang anti-kritik ini, siapa pun yang bersuara dianggap sebagai pengganggu harmoni institusi. Padahal harmoni semu yang dibangun di atas ketakutan bukanlah stabilitas, melainkan bom waktu bagi kehancuran mutu. Ketika rumah sakit memilih menyingkirkan nalar daripada mengembangkan dialog, maka institusi itu telah kehilangan rohnya sebagai tempat ilmu berkembang.
Pertanyaannya kini: apakah lembaga-lembaga keilmuan, seperti kolegium profesi, telah menjadi dogma yang tak boleh disentuh? Apakah kritik terhadap struktur dan mekanisme pendidikan dokter spesialis dianggap dosa besar yang harus ditebus dengan karier? Jika iya, maka kita sedang menyaksikan lahirnya kasta baru dalam dunia kedokteran—di mana struktur lebih penting dari kebenaran, dan kepatuhan lebih utama daripada etika.
Jika dokter takut bersuara, maka yang lahir bukanlah ilmuwan klinis yang berpikir, melainkan operator medis yang patuh pada garis kekuasaan. Dalam iklim seperti ini, yang tumbuh bukan mutu keilmuan, tetapi stagnasi berbalut kepura-puraan. Dan ketika dunia medis tidak lagi membuka ruang untuk koreksi, maka yang akan membayar harga tertinggi bukan hanya dokter seperti dr. Rizky, tetapi pasien-pasien yang berharap ditangani oleh sistem yang adil, terbuka, dan beradab.
Détournement de Pouvoir dan Hancurnya Profesionalisme
Dalam hukum administrasi Prancis, détournement de pouvoir menggambarkan penyimpangan kekuasaan: ketika wewenang yang sah digunakan bukan untuk tujuan hukum yang dibenarkan, melainkan untuk motif tersembunyi seperti pembalasan, perlindungan citra, atau pengamanan status quo. Dalam kasus dr. Rizky Ardiansyah, istilah ini bukan sekadar teori. Ia hidup dalam bentuk nyata: pemecatan seorang dokter spesialis bukan karena pelanggaran etik medis, melainkan karena kritik ilmiahnya terhadap sistem kolegium profesi seperti KKA yang terlalu sentralistik dan tertutup.
Tindakan administratif yang seharusnya bersifat pembinaan, berubah menjadi alat pemberangusan nalar kritis. Alih-alih menjalankan fungsi edukatif, lembaga negara justru menggunakan instrumen kekuasaan untuk membungkam. Ini adalah wajah lain dari otoritarianisme modern—berbaju etika ASN, tapi bekerja seperti tangan represi. Ketika peraturan dipelintir demi menjaga “kenyamanan” institusi, maka profesionalisme tidak hanya dilukai, tetapi dibunuh secara perlahan.
Paradoksnya, negara yang mengklaim ingin meningkatkan mutu kesehatan justru menyingkirkan tenaga profesional yang berpikir jernih dan berani menyampaikan ketidaksempurnaan sistem. Jika koreksi internal dipandang sebagai pemberontakan, maka yang tersisa hanyalah ruang steril tanpa pertumbuhan. Dalam suasana seperti ini, dokter bukan lagi penegak etik keilmuan, tetapi menjadi alat pembenaran keputusan birokrasi yang kaku.
Sebagaimana diajarkan oleh Prof. Philipus Hadjon dan Sjachran Basah, dalam konsep state accountability, kekuasaan publik harus dijalankan secara bertanggung jawab, bukan hanya secara prosedural, tetapi juga substantif. Pejabat publik tidak boleh menggunakan wewenangnya untuk tujuan tersembunyi yang tidak sah—apalagi menyasar integritas seseorang hanya karena pendapatnya berbeda. Dalam konteks dr. Rizky, keputusan pemecatan tidak hanya menyalahi prinsip hukum administrasi, tapi juga menginjak-injak kode etik profesi dan nalar demokrasi.
Jika praktik détournement de pouvoir ini terus dibiarkan, maka Indonesia bukan hanya kehilangan dokter-dokter berintegritas seperti dr. Rizky, tetapi juga kehilangan kepercayaan publik terhadap dunia profesi secara keseluruhan. Ketika keberanian intelektual dibalas dengan pemecatan, maka pesan yang disampaikan negara sangat jelas: diam adalah keselamatan, berpikir adalah bencana. Dan di situlah awal dari runtuhnya profesionalisme sejati.
Machtstaat: Merusak Dunia Kesehatan yang Sudah Ada Sebelum Indonesia Merdeka
Pertanyaan mendasarnya kini bukan sekadar menyangkut pemecatan dr. Rizky Ardiansyah, tetapi soal orientasi kekuasaan negara: apakah ia hadir untuk melindungi kebebasan intelektual tenaga medis, atau justru menjadi alat penjinakan yang melayani kepentingan elite institusional? Ketika negara mulai mengambil alih ruang etik dan akademik profesi—dengan mengkriminalkan kritik yang sah—maka yang dirusak bukan hanya satu karier, tetapi fondasi moral dunia kesehatan itu sendiri.
Dunia medis Indonesia sejatinya telah memiliki tradisi intelektual yang kuat jauh sebelum republik ini lahir. Rumah Sakit CBZ (kini RSCM) di Batavia, Stovia, dan pendidikan kedokteran era kolonial melahirkan generasi dokter seperti dr. Tjipto Mangunkusumo, dr. Abdul Rivai, hingga dr. Soetomo—tokoh yang tidak hanya terampil klinis, tetapi juga berani bersuara kritis atas ketimpangan sosial dan ketidakadilan sistem. Dunia medis kita dibangun dari semangat verlicht denken (pencerahan) dan keberanian moral, bukan sekadar kepatuhan terhadap regulasi.
Namun kini, yang muncul adalah wajah baru kekuasaan yang represif: Machtstaat (negara kekuasaan belaka)—negara kekuasaan yang menjadikan hukum sebagai alat dominasi, bukan perlindungan. Dalam kerangka Machtstaat, loyalitas pada otoritas lebih penting daripada kebenaran ilmiah; kepatuhan pada institusi lebih dihargai daripada keberanian etik. Maka pemecatan dr. Rizky bukan hanya tindakan administratif, melainkan ekspresi dari logika negara kekuasaan yang menindas ruang dialog dan membungkam pertumbuhan ilmu.
Jika pola ini dibiarkan, maka dunia kesehatan Indonesia hanya akan mencetak dokter-dokter yang pandai mengikuti, tetapi gagal berpikir. Tidak akan lahir tokoh medis sekelas Rivai, Soetomo, atau bahkan Riswandha Imawan di masa kini—karena sistem tidak menghendaki keberanian, hanya keheningan. Padahal dunia kedokteran, yang bersentuhan langsung dengan nyawa dan keadilan, tidak boleh dikelola seperti garnisun: seragam, tunduk, dan tak berpikir.
Saat negara menjelma Machtstaat di ruang medis, maka hilanglah harapan akan reformasi kelembagaan yang berpihak pada integritas profesi. Yang tersisa adalah struktur yang menyimpan dendam pada nalar kritis, dan sistem yang memilih diam ketimbang diskusi. Dan ketika rumah sakit berubah menjadi lengan represif kekuasaan, maka yang paling menderita bukan hanya dokter, tapi seluruh rakyat yang menginginkan pelayanan kesehatan yang jujur, bermutu, dan manusiawi.
Penutup: Demokrasi Butuh Dokter yang Berani, Bukan yang Patuh
Dr. Rizky Ardiansyah bukan sekadar nama dalam berita pemecatan ASN. Ia adalah simbol dari matinya ruang nalar dalam tubuh profesi medis Indonesia. Ketika seorang dokter spesialis yang menyampaikan kritik akademik justru disingkirkan dengan dalih “tidak disiplin,” maka itu menandai bahwa kita sedang hidup dalam sistem yang gagal membedakan antara pembangkangan dan keberanian intelektual. Negara kini dihadapkan pada pilihan tegas: berdiri membela hak konstitusional warga, atau tenggelam dalam struktur kekuasaan yang anti-akuntabilitas dan fobia terhadap kritik.
Sebagaimana diingatkan oleh Prof. Laica Marzuki, hak untuk menyampaikan pendapat adalah hak asasi yang tidak bisa dikurangi dalam keadaan apa pun. Ia bukan hadiah dari negara, melainkan hak kodrati warga yang dijamin konstitusi. Dalam masyarakat modern dan beradab, negara seharusnya menjadi pelindung hak tersebut, bukan pelanggar. Maka siapa pun—baik pejabat publik, birokrat kesehatan, atau institusi medis—yang menjustifikasi pembungkaman atas nama ketertiban internal, sejatinya sedang mengkhianati fondasi Republik.
Ini bukan sekadar soal keberanian individu. Ini soal keberpihakan terhadap prinsip. Karena jika hak berpendapat diperlakukan sebagai pelanggaran, maka yang salah bukan warganya, tetapi sistemnya. Demokrasi tidak tumbuh dari diam dan patuh, tetapi dari keberanian berpikir, berbicara, dan berdebat untuk perbaikan. Dan jika seorang dokter pun tidak lagi boleh bersuara, maka yang tengah sakit bukan hanya sistem kesehatan kita—tetapi juga nurani bangsa.
Demikian.
Tentang Penulis:
Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH adalah advokat, pemerhati isu konstitusi serta hak asasi manusia, anggota badan perkumpulan KontraS Sumut dan Wakil Sekretaris Bidang Hukum dan HAM MW KAHMI Sumut.
_______________
Daftar Pustaka
Hadjon, Philipus M. Perlindungan Hukum bagi Rakyat di Indonesia. Surabaya: Bina Ilmu, 1987.
Basah, Sjachran. Diskresi dan Penyalahgunaan Wewenang. Bandung: Rajawali Pers, 1997.
Nasution, Adnan Buyung. Demokrasi dan Hak Asasi Manusia. Jakarta: Grafiti, 1995.
Marzuki, Laica. Hak Konstitusional Warga Negara. Jakarta: Sekretariat Jenderal MK RI, 2012.
Republik Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
RSUP H. Adam Malik. “RS Adam Malik Berhasil Pisahkan Bayi Kembar Siam untuk Kelima Kalinya.” Diakses 5 Juli 2025. https://rsham.go.id/berita/rs-adam-malik-berhasil-pisahkan-bayi-kembar-siam-untuk-kelima-kalinya.html
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN.
Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil.
WHO. Protecting Health Workers' Rights in the 21st Century. Geneva: World Health Organization, 2023.
Posting Komentar
0Komentar