"Taktik Makan Strategi: Petinggi USU Melakukan Politik Belah Bambu dalam Mempertahankan Status Quo"

Media Barak Time.com
By -
0

 



Oleh: Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH

(Ketua Forum Penyelamat USU)


Pendahuluan 


> “Rektorat kehilangan nurani saat strategi dicabik kepentingan, dan taktik dijadikan alat untuk memperdaya"


Di tengah idealisme pendidikan yang seharusnya dijunjung tinggi, Universitas Sumatera Utara (USU) justru menjadi ladang subur bagi praktik kekuasaan yang kian menjauh dari nilai akademik. Kepemimpinan kampus hari ini tampaknya tidak lagi menjadikan etika, moral dan ilmu sebagai kompas, melainkan mengadopsi politik belah bambu—sebuah taktik klasik yang mengangkat satu kelompok sembari menekan kelompok lainnya, demi mempertahankan status quo kekuasaan rektorat. Strategi ini bukan hanya mengancam integritas institusi, tetapi juga merusak tatanan sosial kampus yang selama ini dibangun di atas fondasi meritokrasi dan akal sehat.


Dalam praktiknya, politik belah bambu di USU dijalankan dengan manipulasi persepsi publik, menciptakan seolah-olah rektorat berpihak pada sebagian civitas akademika—memberi ruang pada kelompok yang loyal dan menindas yang kritis. Ini merupakan bentuk melakukan kompensasi terhadap terjadinya 'prostitusi intelektual' yang vulgar, dimana saat para petinggi kampus terlibat secara aktif dalam “cawe-cawe” Pilpres 2024 dan Pilgub Sumatera Utara. Kampus yang semestinya steril dari tarik-menarik kepentingan politik praktis elektoral lima tahunan, kini justru menjadi panggung transaksi, pengondisian, dan kooptasi elite.


Konsekuensinya pun nyata: ketidakadilan dan ketimpangan struktural dalam tubuh universitas menjadi-jadi. Jabatan struktural diberikan bukan berdasarkan kompetensi, melainkan pada kesetiaan. Kelompok dosen dan mahasiswa yang berbeda pandangan dikucilkan secara sistematis. Sementara itu, pihak yang mendapat angin dari rektorat menikmati berbagai privilese, mulai dari akses anggaran hingga kebijakan yang manipulatif. Ini bukan sekadar krisis tata kelola, tetapi erosi moral yang mengancam masa depan universitas secara keseluruhan.


Lebih jauh, efek jangka panjang dari taktik ini berbahaya. Seperti dalam ajaran Sun Tzu, perang yang tidak disadari oleh lawannya akan menghancurkan mereka dari dalam. Politik belah bambu bekerja bukan dengan kekerasan langsung, melainkan dengan mengacaukan kesadaran kolektif, memecah solidaritas, dan mematikan perlawanan. Dalam konteks USU, ini bukan hanya bentuk penaklukan institusi oleh kekuasaan, tapi juga pelecehan terhadap nilai-nilai luhur pendidikan tinggi.


USU tidak sedang dalam situasi biasa. Ia tengah menjadi korban dari strategi kekuasaan yang tidak hanya menghina akal sehat, tapi juga mengikis kepercayaan publik terhadap otonomi dan martabat kampus. Jika masyarakat sipil dan civitas akademika terus diam, maka kita bukan hanya menyaksikan kemunduran kampus, tetapi juga pembiaran terhadap kehancuran masa depan intelektual bangsa.


Strategi yang Dimakan oleh Taktik


Dalam ilmu manajemen strategis, Peter Drucker menyampaikan adagium legendaris: “Culture eats strategy for breakfast.” Namun di Universitas Sumatera Utara (USU), adagium ini mengalami degenerasi epistemik—bukan lagi budaya yang melahap strategi, melainkan taktik yang memangsa strategi demi mempertahankan status quo kekuasaan. Rasionalitas akademik yang seharusnya memandu arah kepemimpinan, justru dikooptasi oleh manuver-manuver pragmatis yang menjadikan jabatan kampus sebagai perpanjangan tangan tarik-menarik kepentingan politik nasional.


Politik belah bambu menjadi metode utama dalam mengatur harmoni semu ini: satu kelompok civitas akademika diangkat dan dipelihara loyalitasnya, sementara kelompok kritis diinjak pelan-pelan melalui mutasi jabatan, pengaburan informasi, dan represi administratif. Kampus tidak lagi menjadi tempat tumbuhnya gagasan, tetapi berubah menjadi ruang transaksional di mana integritas dapat dinegosiasikan, dan independensi kampus dapat dibeli dengan kepentingan elektoral. Ini bukan sekadar politik pengaruh—ini adalah bentuk kerusakan struktural yang dibungkus prosedur birokrasi.


Hal ini makin kentara ketika Romo Dr. H. R. Muhammad Syafii, SH, M.Hum, Ketua Pengurus Pusat Ikatan Alumni (PP IKA) USU yang juga tokoh nasional dari Partai Gerindra, secara terbuka meminta rektor USU untuk netral dan menjaga moralitas akademik dalam menghadapi Pemilu Presiden 2024. Namun respons yang diterima justru sebaliknya. Rektor secara vulgar menunjukkan keberpihakan terhadap pasangan Ganjar-Mahfud, dengan mengarahkan sejumlah program kampus, kegiatan ilmiah, dan bahkan komunikasi kelembagaan sebagai alat dukung tersembunyi—yang dalam praktiknya tidak lagi tersembunyi.


Ironisnya, dalam upaya menyeimbangkan tekanan politik, rektorat lantas mengundang Komjen Pol. Agus Andrianto, yang dikenal bukan sebagai loyalis Ganjar-Mahfud dan secara kultural lebih dekat dengan basis dukungan Jokowi di Sumatera Utara, untuk hadir dalam acara kampus yang disebut-sebut sebagai "kompensasi diam-diam". Pertemuan antara Agus dan Romo sebagai loyalis Prabowo di kampus USU dimanfaatkan sebagai panggung konfrontasi terselubung—bukan demi kepentingan akademik, melainkan sebagai arena ngefront simbolik antara dua poros kekuatan politik nasional dibawah Kabinet Merah-Putih Prabowo.


Praktik-praktik seperti ini bukan hanya melanggar etika dan moral dasar kepemimpinan akademik, tetapi juga menodai nilai netralitas institusi pendidikan yang dijamin oleh undang-undang dan konstitusi. Ketika pimpinan kampus memainkan politik dua muka—mengangkat satu kaki ke kubu Ganjar-Mahfuf dan ketika Ganjar-Mahfud kalah, tiba-tiba kakinya ke kubu Prabowo—maka kampus tidak sedang menyambut demokrasi, tetapi sedang melayani kekuasaan dengan lidah bercabang. Strategi pendidikan sebagai alat transformasi sosial akhirnya lumpuh, digantikan oleh taktik-taktik oportunis yang hanya melayani siapa yang berkuasa hari ini.


Politik Belah Bambu Petinggi USU: Mengangkat Agus Andrianto dan Menekan Romo


Politik belah bambu bukan lagi teori usang. Di tangan petinggi Universitas Sumatera Utara (USU), strategi klasik ini menjelma jadi instrumen kekuasaan kampus yang nyaris tanpa malu. Satu pihak ditekan secara sistematis—yakni Romo H. R. Muhammad Syafii, Ketua Umum PP IKA USU yang dikenal sebagai loyalis Prabowo, sementara pihak lain—Komjen Pol. (Purn) Agus Andrianto, mantan Kabareskrim dan tokoh kuat di tubuh Polri yang cenderung moderat dan netral—justru diangkat ke ruang-ruang simbolik kampus sebagai penyeimbang semu, demi mempertahankan ilusi netralitas dan kendali penuh rektorat atas kampus.


Namun publik tak mudah dibodohi. Ketika Romo secara moral meminta rektor untuk menjaga netralitas dan tidak terlibat dalam praktik cawe-cawe politik nasional di Pilpres 2024, balasannya bukan refleksi atau pertobatan intelektual, melainkan represi dan delegitimasi simbolik. Beberapa kegiatan alumni yang dipimpin Romo didistorsi narasinya, kanal komunikasi dikunci, dan secara diam-diam, pihak rektorat memosisikan Romo sebagai “oposisi dalam rumah sendiri”. Politik belah bambu bekerja halus—bukan dengan konfrontasi terbuka, tetapi melalui pengaburan persepsi dan rekayasa loyalitas.


Lalu muncullah sosok Agus Andrianto, yang di undang rektorat ikut dalam pemilihan Majelis Wali Amanat di kampus. Agus tidak salah—ia adalah tokoh nasional yang patut dihormati. Tapi pemanfaatan figur selevel dirinya untuk menciptakan kontras dengan Romo jelas tak bisa dilepaskan dari skenario kekuasaan rektorat. Ini adalah taktik “soft balancing” di ruang akademik: mengangkat satu tokoh agar publik melupakan atau melemahkan pengaruh tokoh lainnya. Padahal, baik Romo maupun Agus adalah anak bangsa, satu tim dalam kabinet merah putih, namun mau dimainkan dalam naskah kepentingan elit kampus yang telah kehilangan nurani.


Dalam logika Sun Tzu, kemenangan terbaik adalah saat musuh tidak merasa sedang dikalahkan. Dan itulah yang terjadi di USU. Petinggi kampus tidak menyentuh Romo secara langsung, tetapi mengatur lanskap politik kampus agar ruangnya mengecil dan pengaruhnya terpinggir. Di saat yang sama, Agus Andrianto dinaikkan secara simbolik ke panggung akademik untuk menciptakan narasi “keberagaman dukungan”, padahal sejatinya itu adalah tameng untuk menyembunyikan peringatan Romo Ketua PP IKA USU sekaligus elite Partai Gerindra dari keberpihakan rektor USU pada pasangan Ganjar-Mahfud saat Pilpres 2024.


Pola ini tak hanya membahayakan demokrasi kampus, tetapi juga memproduksi ilusi kesetaraan yang menipu. Politik belah bambu yang diterapkan rektor USU tidak membangun jembatan dialog, melainkan menjadikan kampus sebagai medan diplomasi licik antara elite kekuasaan. Jika dibiarkan, universitas akan kehilangan otonomi, dan yang lebih parah: kehilangan kepercayaan dari alumini dan generasi intelektual yang seharusnya dijaganya.


Penutup


Rektorat USU hari ini bukan sedang memimpin lembaga ilmiah, melainkan lagi  membangun dinasti dalam tubuh universitas. Dimana jabatan adalah hadiah, kritik dianggap dosa, dan kebijakan lahir dari selera, bukan musyawarah ilmiah. Universitas yang semestinya menjunjung akal sehat kini lebih sibuk menjaga status quo kekuasaan, menyusun loyalitas, dan merawat kemapanan melalui taktik belah bambu.


Jika kita biarkan, maka bukan hanya kampus yang runtuh, melainkan seluruh harapan publik terhadap pendidikan tinggi sebagai penjaga masa depan bangsa pun ikut hancur. Prostitusi intelektual pada cawe-cawe Pilpres dan Pilkada kemarin yang dibungkus kegiatan ilmiah dengan jubah dan toga akademik merupakan kooptasi simbolik belaka. 


Yang perlu disadari oleh rektorat USU adalah bahwa baik Romo H. R. Muhammad Syafii maupun Komjen Pol.(Purn) Agus Andrianto kini merupakan bagian dari barisan Kabinet Merah Putih Presiden Prabowo Subianto. Maka segala intrik yang mencoba mempertentangkan keduanya, justru mencerminkan kedangkalan membaca realitas politik nasional. Dalam konteks pemerintahan yang baru, keputusan besar tentang arah universitas bukan lagi domain kampus semata—tetapi akan ditentukan oleh Presiden dan kabinetnya secara ajek dan kompak.


Di sinilah ironi besar itu terjadi: rektor sibuk memainkan taktik belah bambu untuk mempertahankan posisi, padahal panggung kekuasaan telah bergeser. Rektor lupa, bahwa dalam strategi negara, taktik-taktik kampus yang sektoral dan manuver lokal yang pendek, akan selalu dikalahkan oleh keputusan politik strategis tingkat nasional. Inilah yang dimaksud: taktik memakan strategi.


> Karena kampus bukan alat kekuasaan, melainkan benteng akal sehat. Dan akal sehat akan selalu berpihak pada kebenaran—maka 'prostitusi intelektual' harus disingkirkan.


Demikian.


Penulis Advokat Dan Alumni Fakultas Hukum USU Stambuk' 92 

---


Daftar Pustaka


1. Sun Tzu. (2005). The Art of War. Terjemahan Thomas Cleary. Shambhala Classics.

> Prinsip-prinsip strategi klasik dijadikan pisau analisis terhadap manuver kekuasaan kampus.


2. Kompas.com. (2023). Politik Belah Bambu dan Polarisasi Pemilu: Tinjauan terhadap Strategi Elite Politik.

> Artikel analisis yang mengulas bagaimana politik pecah belah dijalankan dalam konteks Indonesia.


3. Tirto.id. (2024). Cawe-Cawe Kampus dalam Pemilu: Batas Tipis antara Netralitas dan Kepentingan.

> Menyediakan data dan fakta terkait keterlibatan kampus dalam dinamika politik elektoral.


4. Tempo.co. (2024). Polemik Rektor Universitas Terlibat Politik: Netralitas Kampus Dipertanyakan.

> Sumber investigatif mengenai kecenderungan sejumlah rektor di Indonesia dalam mendukung capres tertentu.


5. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidi 

> Menegaskan prinsip otonomi, netralitas, dan kebebasan akademik di lingkungan perguruan tinggi

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)