"Refleksi Idul Adha: Jalan Rasulullah Ibrahim Alaihissalam Dalam Mengatasi Kerusakan Multidimensi"

Media Barak Time.com
By -
0

 



Oleh: Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH (Praktisi Hukum)


Pendahuluan 


“Sesungguhnya Aku akan menjadikan engkau sebagai pemimpin bagi umat manusia.” (QS Al-Baqarah: 124)


Idul Adha bukan sekadar momentum ritual kurban dan perayaan tahunan umat Islam. Ia adalah simbol pengorbanan, kepemimpinan profetik, dan spiritualitas kritis dalam menghadapi kerusakan multidimensi. Jalan yang dilalui Nabi Ibrahim Alaihissalam (As) bukan jalan karpet merah kekuasaan, melainkan jalan terjal perjuangan menegakkan tauhid, keadilan, dan kemanusiaan.


Kini, ketika bangsa Indonesia menghadapi krisis moral, ekonomi, sosial, dan politik secara simultan, refleksi terhadap laku Nabi Ibrahim menjadi sangat relevan. Kita berhadapan dengan degradasi integritas elite, maraknya oligarki, krisis pangan dan energi, ketimpangan sosial-ekonomi, hingga polarisasi identitas. Maka, kita membutuhkan Ibrahimian way—jalan kenabian—untuk keluar dari jurang ini.


Krisis Moral-Elite: Ketika Jabatan Menjadi Berhala


Dalam lanskap politik Indonesia hari ini, jabatan bukan lagi amanah, tetapi telah menjelma menjadi berhala modern—dipuja, dipertahankan mati-matian, bahkan diwariskan seperti harta keluarga. Fenomena politik dinasti, kooptasi birokrasi oleh elite, serta praktik jual beli jabatan, merupakan wajah nyata feodalisme yang seolah dilestarikan dalam sistem demokrasi. Ironisnya, jabatan yang seharusnya menjadi alat pelayanan publik justru menjadi simbol kekuasaan privat yang terpisah dari etika dan moralitas publik.


Laporan Corruption Perceptions Index (CPI) 2023 oleh Transparency International menunjukkan skor Indonesia stagnan di angka 34/100, menempatkannya pada peringkat ke-110 dari 180 negara. Ini bukan sekadar angka, tetapi sinyal keras bahwa korupsi telah menjadi budaya diam yang merasuk hingga ke sumsum lembaga negara. Dalam konteks ini, korupsi bukan lagi soal individu serakah, tetapi sistem yang membiarkan dan bahkan mendorong pembusukan dari dalam.


Nabi Ibrahim A.S., dalam narasi profetiknya, berdiri sebagai simbol perlawanan terhadap sistem nilai yang menyimpang. Ia tidak hanya menghancurkan patung fisik, tetapi juga berhala ideologis yang disembah masyarakat saat itu: kekuasaan yang absolut, kebenaran yang dibungkam, dan agama yang dibajak untuk kepentingan elite. Ketika ia berkata kepada ayahnya dan kaumnya, "Mengapa kamu menyembah apa yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolongmu?" (QS Al-An'am: 74), itu adalah kritik radikal terhadap struktur kekuasaan yang menindas dan membodohi umat.


Refleksi ini menjadi penting ketika banyak elite hari ini justru menjadikan rakyat sebagai alat legitimasi belaka, bukan subjek yang harus dilayani. Alih-alih membela kepentingan publik, banyak pejabat publik justru menjadi komprador kekuatan modal dan membungkusnya dengan retorika populisme. Di sinilah letak krisis moral yang paling akut: jabatan tidak lagi ditakar dengan integritas, tetapi dengan loyalitas kepada oligarki dan kepentingan jangka pendek.


Oleh karena itu, jalan reformasi tidak bisa ditempuh dengan tambal sulam kosmetik. Diperlukan keberanian profetik ala Ibrahim: berani menghancurkan sistem nilai yang korup dari akarnya. Hanya dengan cara ini, bangsa ini bisa keluar dari krisis moral yang terus-menerus membelenggu. Sebab jika tidak, jabatan akan terus menjadi berhala baru yang dipuja oleh elite dan dikutuk oleh sejarah.


Krisis Ekonomi dan Ketimpangan


Meski pertumbuhan ekonomi Indonesia diklaim stabil di angka 5,11% pada kuartal pertama 2024, kenyataan di lapangan memperlihatkan ironi yang mendalam. Data Badan Pusat Statistik (BPS) per Maret 2024 mencatat bahwa 9,36% penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan—artinya sekitar 26 juta jiwa bergulat dengan kebutuhan dasar yang tak terpenuhi. Di saat yang sama, laporan Global Wealth Report Credit Suisse 2023 menunjukkan bahwa 1% orang terkaya Indonesia menguasai lebih dari 45% kekayaan nasional. Ini bukan sekadar ketimpangan, tapi ketidakadilan struktural yang menganga.


Laporan Bank Dunia 2024 bahkan menyebut Indonesia sebagai salah satu dari 10 negara dengan tingkat ketimpangan ekonomi tertinggi di dunia, dan berada di bawah Zimbabwe dalam hal distribusi kekayaan yang adil. Ketika negara berkembang lain mulai mengejar pemerataan, Indonesia justru terjebak dalam jebakan middle income trap yang dipelihara oleh sistem ekonomi eksploitatif dan politik anggaran yang berpihak pada elite. Alih-alih menjadi negara yang mensejahterakan, Indonesia perlahan menyerupai kerajaan modern dengan istana-istana kapital yang tak tersentuh rakyat.


Ketimpangan ini, secara historis dan simbolik, merefleksikan zaman Raja Namrud, tempat Nabi Ibrahim dilahirkan. Di sana, kekuasaan absolut dikawinkan dengan akumulasi harta yang ekstrem, sementara rakyat jelata hidup dalam kelaparan dan perbudakan sosial. Namun, Nabi Ibrahim tak sekadar menjadi pengkritik, ia hadir sebagai pembebas. Ia tidak menawarkan utopia politik, melainkan praksis keberpihakan nyata terhadap kaum mustadh’afin—yang tertindas oleh sistem sosial yang timpang dan lalim.


Lebih dari itu, Nabi Ibrahim adalah figur spiritual yang menolak kenyang di tengah kelaparan orang lain. Diriwayatkan dalam banyak tafsir klasik bahwa ia tidak akan pernah menyantap makanan sebelum memastikan tetangganya, terutama fakir miskin, sudah makan terlebih dahulu. Ini bukan hanya tentang empati individual, tapi doktrin sosial bahwa kesejahteraan adalah hak kolektif, bukan hadiah dari kekuasaan. Watak inilah yang hilang dari elite kita hari ini—yang kenyang oleh rente, tetapi tuli terhadap derita rakyat.


Teologi pembebasan yang dihidupkan kembali oleh pemikir Islam progresif seperti Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), dan Dawam Rahardjo, menyuarakan napas yang sama: Islam bukan agama kekuasaan, tapi agama keadilan sosial. Islam tidak membela mereka yang memperkaya diri di atas penderitaan rakyat, tapi berpihak pada kaum lemah, miskin, dan tertindas. Dalam konteks Indonesia, ini adalah teguran keras bagi para elite politik dan ekonomi yang memuja surplus, tapi abai terhadap distribusi.


Maka, refleksi Idul Adha bukan sekadar ritual penyembelihan hewan, tapi momentum perenungan: apakah kita masih meneladani jejak Ibrahim yang memihak pada kaum papa? Atau justru mewarisi watak Namrud yang membentengi istana dari suara kelaparan di luar gerbang? Jika bangsa ini ingin keluar dari krisis multidimensi, maka ia harus lebih dulu memutus ikatan batin dengan berhala ketimpangan yang hari ini telah menjelma dalam wujud kemewahan yang tak tahu malu di tengah kemiskinan yang disembunyikan.


Krisis Lingkungan: Api yang Diciptakan Tangan Manusia


Indonesia hari ini berada di ambang bencana ekologis besar-besaran. Deforestasi di Kalimantan, Sumatera dan Papua, krisis air bersih di Jawa, hingga kerusakan pesisir akibat reklamasi di Bali dan Jakarta adalah bukti bahwa kerusakan alam bukan sekadar bencana alamiah, melainkan hasil langsung dari keputusan politis yang eksploitatif. Dalam laporan Global Forest Watch (2023), Indonesia kehilangan 1,45 juta hektare hutan primer hanya dalam satu tahun terakhir. Ini bukan akibat “tangan Tuhan”, tetapi ulah “tangan manusia”—yakni otoritas kekuasaan manusia—yang menjadikan alam sebagai objek eksploitasi atas nama pertumbuhan.


Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) adalah contoh nyata “api” yang disulut bukan oleh alam, melainkan oleh kebijakan. Korporasi mendapat izin legal menebang, membakar, dan membuka lahan atas nama investasi. Negara menyetujui, elite politik mendiamkan. Maka jelas, tangan manusia yang dimaksud bukan sekadar individu perorangan, melainkan struktur kekuasaan: pemerintah yang memberi izin, pejabat yang menutup mata, dan oligarki yang meraup untung. Dalam gambaran spiritual, ini bukan sekadar “api hutan”, melainkan “api kekuasaan” yang diarahkan untuk membakar masa depan bersama.


Kisah Nabi Ibrahim dalam Al-Qur’an menjadi refleksi mendalam atas krisis ini. Ketika Ibrahim menentang sistem zalim yang menyembah berhala kekuasaan, ia dilemparkan ke dalam api oleh otoritas Namrud—penguasa yang menggunakan kuasa untuk membungkam kebenaran. Namun, Allah berfirman: “Hai api, jadilah dingin dan keselamatan bagi Ibrahim” (QS Al-Anbiya: 69). Tafsir ekospiritual atas ayat ini mengajarkan bahwa api kebijakan yang zalim bisa dipadamkan oleh iman, keberanian, dan keberpihakan pada kebenaran ekologis.


Tragisnya, para pemimpin hari ini justru sering menjadi bagian dari tangan yang membakar. Proyek strategis nasional seperti Ibu Kota Nusantara (IKN) yang diklaim ramah lingkungan justru membuka ribuan hektare hutan Kalimantan, mengusir komunitas adat, dan menciptakan luka ekologis baru. Pemerintah bicara tentang transisi hijau, namun dalam praktik, memberi karpet merah pada ekspansi tambang, sawit, dan properti. Semua ini menjadikan tangan kekuasaan bukan sebagai penjaga bumi, tetapi sebagai alat penghancurnya.


Nabi Ibrahim mengajarkan bahwa seorang pemimpin sejati tak segan dikorbankan demi umat dan bumi. Ia tidak berselingkuh dengan kekuasaan, tidak berkompromi dengan keserakahan. Jalan spiritual Ibrahim adalah jalan keberanian, jalan yang melawan arus utama kekuasaan demi keberlangsungan hidup seluruh makhluk. Idul Adha menjadi momentum spiritual untuk bertanya kembali: apakah kita bagian dari tangan yang membakar, atau bagian dari moral yang memadamkan?


Krisis lingkungan bukan hanya krisis alam, melainkan krisis spiritual dan politik. Selama tangan-tangan kekuasaan masih beroperasi atas logika untung-rugi dan bukan atas dasar keadilan ekologis, maka bumi akan terus terbakar. Dan jika kita diam, kita sesungguhnya sedang menyalakan api itu bersama mereka. Refleksi Ibrahim mengajarkan, tugas manusia bukan membakar demi kekuasaan, tapi memadamkan api demi kemanusiaan.


Krisis Kepemimpinan: Dari Pewarisan ke Pencerahan


Nabi Ibrahim, yang dikenal sebagai bapak para nabi dan Rasulullah, menyimpan pelajaran mendalam tentang hakikat kepemimpinan. Salah satu momen paling dramatis dalam perjalanan hidupnya adalah kesediaannya untuk mengorbankan putranya, Ismail. Ini bukan sekadar ujian biologis, melainkan simbolik tentang seorang pemimpin yang harus sanggup melepaskan ego pribadi, kepentingan keluarga, dan dinasti demi kemaslahatan umat. Kepemimpinan sejati, dalam tradisi Ibrahim, adalah pencerahan moral yang menuntut pengorbanan diri demi kebaikan bersama.


Namun, kenyataan kepemimpinan di Indonesia saat ini menunjukkan arah yang berbeda. Laporan Indonesian Political Indicator (IPI) 2023 mencatat bahwa lebih dari 50 kepala daerah berasal dari politik dinasti yang berakar kuat dari elite pusat hingga akar rumput. Fenomena ini bukan sekadar reproduksi kepemimpinan, melainkan reinkarnasi aristokrasi yang mengutamakan pewarisan kekuasaan atas dasar darah dan kedekatan keluarga, bukan kapasitas dan integritas. Sistem ini justru mengekang ruang demokrasi dan menyuburkan oligarki.


Model kepemimpinan yang diwariskan secara turun-temurun berpotensi menimbulkan stagnasi dan kecenderungan nepotisme. Ketika kekuasaan menjadi milik segelintir keluarga, suara rakyat yang semestinya menjadi dasar legitimasi semakin tersisih. Hal ini berbeda jauh dengan semangat Nabi Ibrahim yang melawan tirani Namrud dan menegakkan keadilan di luar pola dinasti. Kepemimpinan seharusnya membuka ruang bagi regenerasi yang membawa pencerahan dan pembaruan, bukan sekadar kelanjutan kepentingan elit.


Krisis kepemimpinan ini diperparah dengan praktik korupsi dan kolusi yang melekat pada sistem dinasti politik. Elite keluarga kerap memanfaatkan kekuasaan untuk memperkaya diri dan memperkuat jaringan patronase yang mengekang demokrasi substantif. Akibatnya, pemerintah daerah yang seharusnya melayani rakyat malah menjadi alat bagi kepentingan keluarga dan kelompok tertentu. Sementara itu, semangat pengabdian dan pengorbanan yang dicontohkan Nabi Ibrahim justru terlupakan.


Sosok Nabi Ibrahim sebagai bapak para nabi dan Rasulullah bukan hanya menunjukkan status keagamaan yang tinggi, tetapi juga simbol kepemimpinan yang transformatif. Kepemimpinan yang menuntut keberanian moral, pengorbanan demi kepentingan umat, dan penolakan terhadap tirani kekuasaan. Di tengah realitas politik Indonesia yang masih dikuasai oleh kekuatan dinasti, tantangan terbesar adalah mengembalikan esensi kepemimpinan yang berakar pada pencerahan, bukan pewarisan semata.


Refleksi atas kisah Nabi Ibrahim mengajak kita untuk menegaskan bahwa pengorbanan dalam kepemimpinan bukan sekadar soal melepaskan jabatan, tetapi menyingkirkan segala bentuk egoisme dan dinasti yang menghambat kemajuan bangsa. Kepemimpinan yang ideal haruslah menempatkan rakyat sebagai pusat perhatian, bukan hanya mempertahankan kekuasaan untuk keluarga sendiri. Hanya dengan begitu, Indonesia bisa keluar dari krisis kepemimpinan menuju masa depan yang lebih cerah dan berkeadilan.


Teologi Sosial Nabi Ibrahim: Jalan Perubahan Berbasis Tauhid


Dalam sejarah peradaban spiritual, Nabi Ibrahim bukan hanya dikenal sebagai pembawa ajaran tauhid, tetapi juga sebagai pionir perubahan sosial yang radikal. Tauhid, dalam pemikiran Ibrahim, bukan sekadar pengakuan teologis atas keesaan Tuhan, melainkan suatu orientasi hidup yang menolak segala bentuk penindasan manusia atas manusia. Ketika ia menghancurkan berhala-berhala bangsanya, Ibrahim sedang meruntuhkan struktur nilai palsu yang menopang ketimpangan sosial dan kekuasaan yang korup.


Teori teologi pembebasan dalam Islam, seperti dijelaskan oleh Farid Esack (1997) dalam Qur'an, Liberation and Pluralism, menekankan bahwa tauhid sejatinya adalah titik awal perjuangan melawan struktur yang menindas dan memperbudak. Dalam perspektif ini, tauhid bukanlah dogma, melainkan alat emansipasi. Oleh karena itu, pemahaman atas ketuhanan harus diikuti dengan komitmen terhadap keadilan sosial, pembelaan terhadap kaum mustadh’afin (tertindas), serta penolakan terhadap sistem yang menyekutukan Tuhan dengan kekuasaan, uang, dan privilese.


Krisis multidimensi yang dihadapi Indonesia hari ini—korupsi, oligarki, kemiskinan, dan kerusakan lingkungan—berakar pada abainya dimensi tauhid dalam kehidupan sosial-politik. Tauhid seharusnya membentuk dasar nilai publik: dari pendidikan yang membebaskan, birokrasi yang bersih, hingga hukum yang adil. Namun realitasnya, institusi-institusi negara justru menjadi tempat persembahan baru bagi “berhala-berhala” modern berupa rente, nepotisme, dan manipulasi kekuasaan.


Data Bank Dunia 2024 menunjukkan bahwa ketimpangan struktural Indonesia tetap tinggi, dengan indeks Gini stagnan di angka 0,39. Dalam situasi seperti ini, ekonomi tidak lagi tumbuh untuk semua, melainkan hanya menguntungkan segelintir elite. Ekonomi rente—yakni penguasaan sumber daya oleh pihak tertentu hanya berdasarkan kedekatan politik dan kekuasaan—menjadi wajah nyata dari penyekutuan nilai-nilai tauhid dengan nafsu kapitalisme. Ketika kekayaan negara dikuasai oleh jaringan yang itu-itu saja, rakyat hanya menjadi penonton dalam panggung pembangunan.


Teologi Ibrahim mengajarkan bahwa perubahan sejati tidak mungkin dilakukan tanpa revolusi spiritual. Ini berarti bangsa ini harus menata ulang sistemnya berdasarkan nilai-nilai tauhid yang membebaskan. Pendidikan tak boleh lagi menjadi alat reproduksi kelas elit; hukum harus menjadi instrumen pembebas, bukan penekan; dan ekonomi harus berpihak pada yang lemah, bukan pada pemilik modal dan kroni kekuasaan. Tauhid menuntut keberanian untuk mengatakan “tidak” pada status quo, bahkan jika itu mengorbankan kenyamanan sendiri.


Kisah pengorbanan Ismail bukan semata ritual simbolik, melainkan pesan tentang keikhlasan meninggalkan yang dicintai demi nilai yang lebih tinggi. Dalam konteks Indonesia, “Ismail” itu bisa berarti jabatan, rente, atau kekuasaan yang selama ini dipeluk erat. Jika elite bangsa ini benar-benar menjadikan tauhid sebagai orientasi, maka pengorbanan atas kepentingan diri demi keadilan struktural menjadi keniscayaan. Hanya dengan itulah, bangsa ini bisa bangkit dari krisis dengan dasar spiritual yang kokoh.


Refleksi atas jalan hidup Nabi Ibrahim membuka mata kita bahwa krisis sosial-politik bukan sekadar soal teknokratis atau ekonomi, tetapi juga krisis moral dan spiritual. Jalan perubahan membutuhkan keberanian seperti Ibrahim: berani menghancurkan berhala, berani menolak ekonomi rente, dan berani menegakkan keadilan walau bertentangan dengan arus besar kekuasaan. Inilah teologi sosial berbasis tauhid—bukan untuk langit semata, tapi untuk bumi yang lebih adil.


Penutup


Idul Adha bukan sekadar ritual penyembelihan hewan, tetapi momentum spiritual untuk menyembelih ego kekuasaan, kerakusan, dan ketundukan pada struktur yang menindas. Dalam kisah Ibrahim, kita tidak hanya melihat pengorbanan personal, tetapi juga revolusi nilai yang melawan berhala kekuasaan, feodalisme, dan rente. Hari ini, ketika bangsa ini dililit krisis multidimensi—dari moral elite, ekonomi eksklusif, lingkungan yang rusak, hingga politik dinasti—kisah Ibrahim kembali relevan sebagai cermin sekaligus koreksi.


Al-Qur’an dengan tegas memerintahkan agar umat ini mengikuti milah (jalan hidup) Nabi Ibrahim: “Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): Ikutilah Din  Ibrahim yang hanif (lurus), dan bukanlah dia termasuk orang-orang musyrik” (QS An-Nahl: 123). Jalan Ibrahim adalah jalan hanif—lurus, konsisten pada keadilan, menjauh dari kemusyrikan struktural yang menjadikan kekuasaan, jabatan, atau kapital sebagai sesembahan baru. Maka, bangsa yang ingin selamat, tidak cukup hanya dengan reformasi prosedural; ia harus kembali ke akar nilai yang hanif, yang membebaskan.


Kita tidak sedang menanti juru selamat, tetapi menyiapkan generasi dengan keberanian profetik: siap melawan arus mayoritas yang menyesatkan, siap membakar berhala zaman, dan siap berkorban demi masyarakat mustadh’afin. Ibrahim bukan mitos masa lalu. Ia adalah model etis-politik untuk masa depan. Dan jalan itu, meski sunyi dan terjal, adalah satu-satunya jalan menuju bangsa yang merdeka secara spiritual dan bermartabat secara sosial.


Demikian.


Penulis Advokat Dan Wakil Sekretaris Bidang Hukum Dan HAM MW KAHMI Sumut 

_______

Daftar Pustaka


Al-Qur’an al-Karim, khususnya:

1. QS Al-An’am: 74 (Ibrahim menolak berhala ayahnya).

2. QS Al-Anbiya: 69 (Api yang dipadamkan Allah).

3. QS An-Nahl: 123 (Perintah mengikuti Ajaran Rasulullah Ibrahim).

4. QS Al-Bayyinah: 5 (Menjalankan din yang lurus).


Tafsir al-Mishbah – M. Quraish Shihab (2000), Lentera Hati.


Farid Esack. (1997). Qur’an, Liberation and Pluralism. Oneworld Publications.


M. Dawam Rahardjo (1984). Ensiklopedi Al-Qur’an: Teologi dan Transformasi Sosial, Jakarta: Paramadina.


Nurcholish Madjid (Cak Nur) – Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan (1992), Bandung: Mizan.


Abdurrahman Wahid (Gus Dur) – Islamku, Islam Anda, Islam Kita (2006), Jakarta: The Wahid Institute.


M. Amien Rais – Tauhid Sosial: Formula Menggugat Tiran (1998), Bandung: Mizan.


Badan Pusat Statistik (BPS) – Persentase Penduduk Miskin Maret 2024, www.bps.go.id


Transparency International – Corruption Perceptions Index (CPI) 2023, www.transparency.org


Credit Suisse – Global Wealth Report 2023


World Bank (2023) – Poverty and Shared Prosperity Report


Indikator Politik Indonesia – Laporan Politik Dinasti 2023, www.indikator.co.id


 Global Forest Watch – Indonesia Deforestation Dashboard 2023, www.globalforestwatch.org

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)