"Refleksi Idul Adha : Ajaran Ibrahimik vs Code Hammurabi Rekayasa Pikiran Namrudz"

Media Barak Time.com
By -
0

 




Oleh Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH (Praktisi Hukum)


Pendahuluan 


“Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar” (QS Ash-Shaffat: 107)


Setiap Idul Adha hadir, umat Islam diajak mengingat bukan sekadar prosesi penyembelihan hewan kurban, tetapi sebuah refleksi ideologis yang dalam: pertarungan antara kehendak wahyu dan konstruksi hukum manusia. Dalam sejarah spiritual dan politik kuno, terdapat dua kutub besar yang mewakili cara manusia mengelola kebenaran dan keadilan: hukum wahyu seperti yang dijalani oleh Nabi Ibrahim AS, dan hukum buatan manusia seperti yang termaktub dalam Code of Hammurabi — sebuah sistem legal Babilonia yang sering dikaitkan dengan hegemoni Namrudz dan penyesatan kekuasaan.


Dalam konteks kekinian, perbandingan ini sangat relevan. Dunia kontemporer tengah bergulat dalam kekacauan moral, manipulasi hukum, dan ketimpangan struktural — buah dari peradaban yang menyingkirkan dimensi ilahi dari ruang publik.


Rasulullah Ibrahim As: Kepatuhan atas Wahyu, Bukan Rasionalitas Duniawi


Peristiwa kurban Ibrahim adalah klimaks spiritual atas totalitas kepatuhan pada hukum ilahi, di mana logika manusia dikalahkan oleh keyakinan pada petunjuk Tuhan. Ketika diperintahkan menyembelih anaknya, Ibrahim tidak membangkang atas dasar nilai-nilai  humanistik atau rasionalisme Aristotelian, tetapi tunduk mutlak atas prinsip tauhid dan ketersambungan vertikal manusia dengan penciptanya.


Dalam narasi ini, hukum Tuhan tidak menjatuhkan, tetapi justru menyelamatkan. Bahkan perintah penyembelihan itu sendiri, pada akhirnya bukan eksekusi literal, melainkan ujian ketaatan spiritual. Inilah bentuk hukum yang lahir dari hikmah (kebijaksanaan transenden) dan kasih sayang, bukan sekadar kalkulasi formalistik.


Hukum Hammurabi: Penegakan Ketertiban atau Instrumen Kekuasaan?


Sebaliknya, Code of Hammurabi—yang sering dielu-elukan sebagai salah satu sistem hukum tertulis tertua—mewakili otoritas manusia yang mengklaim ilahiah tapi sejatinya berakar pada dominasi politik. Meski memuat asas lex talionis (mata ganti mata), hukum ini menegaskan stratifikasi sosial yang ekstrem: hukuman berbeda tergantung kelas sosial, status budak, atau bangsawan.


Menurut antropolog hukum seperti Malinowski dan E.P. Thompson, sistem hukum semacam ini menyandera keadilan dalam bingkai kepentingan penguasa, bukan menjamin kemaslahatan rakyat. Bahkan, hukum menjadi produk rekayasa struktural yang memelihara status quo.


Namrudz — raja Babilonia yang menolak kerasulan Ibrahim — adalah simbol dari ambisi manusia yang mengklaim dirinya sebagai tuhan. Dalam tafsir Ibn Katsir dan Al-Tabari, Namrudz merepresentasikan puncak kecongkakan manusia yang menolak hukum langit dan menciptakan sistemnya sendiri yang koruptif dan otoriter.


Hukum Indonesia: Refleksi Code Hammurabi atau Ajaran Ibrahimik


Pertanyaan fundamental yang patut direnungkan saat kita memperingati Idul Adha adalah: apakah hukum Indonesia saat ini lebih mendekati semangat keadilan ilahiah yang diemban Nabi Ibrahim AS, atau justru menyerupai hukum positif seperti Code Hammurabi yang penuh rekayasa kekuasaan? Dalam konteks globalisasi dan demokrasi prosedural, kita kerap melupakan bahwa fondasi hukum bukan semata-mata pada legalitas, melainkan moralitas dan spiritualitas. Hukum yang benar tidak hanya menata perilaku sosial, tetapi juga menjawab krisis kemanusiaan.


Nabi Ibrahim AS adalah simbol dari tunduk mutlak pada hukum wahyu. Ia tidak mempertanyakan rasionalitas perintah Tuhan, melainkan melaksanakan misi keadilan ilahiah demi keselamatan umat. Ini berbeda dengan Namrudz yang membangun struktur hukum tirani berbasis kekuasaan manusia, dengan klaim keilahian dan otoritas absolut. Seperti tertulis dalam QS Al-Baqarah ayat 258, "Namrudz berdebat dengan Ibrahim hanya demi membenarkan kekuasaannya, bukan kebenaran". Maka, sejarah menegaskan: hukum bisa menyelamatkan atau menyesatkan, tergantung dari siapa ia berasal.


Dalam konteks Indonesia, hukum sering kali kehilangan ruh keadilan substantif. Laporan World Justice Project: Rule of Law Index 2023 menempatkan Indonesia pada peringkat 68 dari 142 negara, dengan skor yang buruk dalam indikator “Absence of Corruption” dan “Criminal Justice”. Bahkan skor Indonesia untuk sistem peradilan pidana hanya 0,47 dari skala 1. Artinya, kepercayaan publik terhadap integritas penegakan hukum sangat rendah. Alih-alih menegakkan keadilan, banyak lembaga hukum justru menjadi alat kompromi antara elit politik dan oligarki ekonomi.


Kita menyaksikan bagaimana kekuasaan lebih sering menyusun regulasi untuk mempertahankan kontrol ketimbang menjamin keadilan rakyat. UU Cipta Kerja, revisi KUHP, dan berbagai omnibus law lainnya lahir bukan dari kebutuhan rakyat, tetapi dari lobi-lobi elit ekonomi dan investasi. Dalam hukum yang meniru Hammurabi, ada standar ganda: tajam ke bawah, tumpul ke atas. Sebagaimana dalam hukum Babilonia kuno, pelanggaran oleh bangsawan diperlakukan berbeda dibanding rakyat biasa. Hal ini kini hidup dalam bentuk impunitas terhadap korupsi kelas elite dan kekerasan negara yang dibiarkan.


Jika kita menelaah dengan jujur, praktik hukum kita telah berjarak jauh dari nilai-nilai profetik. QS Al-Hadid ayat 25 menegaskan "Allah menurunkan kitab dan neraca agar manusia menegakkan keadilan". Namun, dalam sistem hukum modern Indonesia, keadilan sering kali hanya retorika kampanye. Para “Namrudz kontemporer” tidak mengaku sebagai tuhan, tetapi mereka membuat hukum sesuai kepentingan mereka dan menyingkirkan prinsip ilahiah dari konstitusi sosial.


Judicial corruption menjadi salah satu gejala yang memperkuat kesimpulan ini. Data Komisi Yudisial dan ICW sepanjang 2022–2023 menunjukkan bahwa lebih dari 20 hakim ditindak karena dugaan pelanggaran etik dan suap. Fenomena ini bukan hanya mencoreng wajah institusi yudisial, tetapi juga menandakan bahwa hukum telah dijalankan tanpa nilai transendental. Penghakiman bukan lagi proses mencari kebenaran, tetapi lelang putusan.


Sudah saatnya hukum Indonesia tidak hanya kembali pada supremasi konstitusi, tetapi juga pada supremasi moral dan nilai ilahiah. Hukum tidak cukup sah secara prosedural, tetapi harus adil secara substansial. Idul Adha menjadi momentum spiritual untuk menata ulang arah hukum nasional: dari alat dominasi menuju instrumen pembebasan. Jika tidak, hukum akan terus menjadi produk dari para Namrudz modern, dan rakyat hanya menjadi korban yang disembelih demi stabilitas semu kekuasaan.


Teologi Keadilan: Membumikan Spirit Kurban


Dalam peristiwa kurban yang diabadikan Al-Qur’an, kita menemukan fondasi teologis keadilan yang lebih dalam dari sekadar penyembelihan hewan. Ia adalah simbol ketundukan total pada kebenaran ilahiah. Nabi Ibrahim AS tidak sekadar melakukan ritual, tapi menunjukkan bahwa keadilan sejati lahir dari kesanggupan mengorbankan ego, kepentingan pribadi, bahkan logika duniawi demi perintah Tuhan. Ini adalah pesan spiritual yang sangat relevan bagi tata hukum modern yang kian kehilangan nilai moralitasnya.


Filsuf Islam seperti Al-Farabi dan Imam Al-Ghazali telah lama menegaskan bahwa hukum sejati adalah hukum yang selaras dengan maqashid al-syari’ah—tujuan dasar syariat: menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Ini bukan sekadar teori normatif, tetapi kerangka etik dan filosofis yang menuntut agar hukum mampu membebaskan manusia dari ketidakadilan struktural. Sayangnya, di Indonesia hari ini, hukum lebih sering dijadikan sarana mempertahankan kekuasaan, bukan sebagai jalan keadilan.


Fakta ini tercermin dari laporan World Justice Project 2023, yang menempatkan Indonesia di peringkat 68 dari 142 negara dalam indeks Rule of Law. Skor kita sangat rendah pada indikator “Absence of Corruption” dan “Criminal Justice”—dua pilar utama keadilan. Lebih menyedihkan, menurut Transparency International, Indonesia mendapatkan skor Indeks Persepsi Korupsi (CPI) hanya 34 dari 100, menandakan kuatnya jaringan rente dan penyalahgunaan wewenang. Ini bukan semata kegagalan teknis, tapi pertanda hilangnya nurani hukum.


Dalam konteks ini, Namrudz bukan sekadar tokoh sejarah, tetapi arketipe kekuasaan yang menggunakan hukum untuk mengabdi pada logika rente dan eksploitatif. Ia menciptakan sistem hukum yang menuhankan dirinya dan mengkriminalisasi kebenaran. QS Al-Baqarah ayat 258 menggambarkan Namrudz sebagai penguasa yang menggunakan retorika hukum untuk melawan wahyu. Sayangnya, hari ini kita melihat “Namrudz-Namrudz baru” bermunculan dalam bentuk elite politik-ekonomi yang memproduksi regulasi demi melanggengkan dominasi, bukan melayani rakyat.


Lahirnya berbagai regulasi kontroversial—seperti UU Cipta Kerja dan seterusnya—menunjukkan betapa hukum hari ini dikendalikan oleh kompromi politik dan kepentingan modal. Rakyat kehilangan suara, buruh kehilangan perlindungan, dan hukum menjadi instrumen represi. Dalam hal ini, hukum tidak lagi menjadi rahmat, tapi kutukan bagi yang lemah. QS An-Nisa ayat 135 menekankan "pentingnya menegakkan keadilan, sekalipun terhadap diri sendiri, keluarga, atau penguasa". Namun prinsip ini sering diabaikan atas nama stabilitas dan investasi.


Maka, Idul Adha bukan sekadar momentum untuk menyembelih hewan, tetapi kesempatan untuk menyembelih egoisme struktural yang mengingkari nilai keadilan. Tanpa keberanian untuk kembali pada spirit wahyu, hukum hanya akan menjadi cermin dari akal manusia yang kehilangan orientasi ilahiah. Kurban berubah menjadi seremoni simbolik tanpa pesan pembebasan. Inilah yang dikhawatirkan oleh para teolog, ketika agama dijalankan tanpa ruh, dan hukum ditegakkan tanpa kebenaran.


Teologi keadilan menuntut kita untuk membumikan kembali nilai-nilai kurban dalam sistem hukum. Ini artinya, menolak sistem yang menjadikan hukum sebagai alat transaksi kuasa dan membangun sistem yang berani menyuarakan kebenaran sekalipun melawan arus. Tanpa ini, hukum kita akan terus menjadi panggung elite, bukan rumah keadilan bagi umat. Sebagaimana Nabi Ibrahim AS berani melawan arus zaman demi perintah Tuhan, demikian pula hukum kita hari ini harus berani tunduk pada nilai ilahiah, bukan pada diktat para Namrudz kontemporer.


Penutup


Idul Adha bukan sekadar perayaan simbolik, tetapi panggilan spiritual untuk menjadi seperti Ibrahim: sosok yang menempatkan keimanan di atas kekuasaan, dan keadilan di atas akal yang manipulatif. Dalam dunia yang terus dipenuhi dengan rekayasa hukum demi kepentingan elite, teladan Ibrahim adalah refleksi perlawanan terhadap sistem yang menuhankan ego dan mengabaikan nilai-nilai wahyu. Sementara Ibrahim tunduk pada perintah Tuhan, Namrudz justru membangun legitimasi kuasa dengan hukum buatan yang menyesatkan. Hari ini, kita dihadapkan pada pilihan fundamental: mengikuti jalan keadilan ilahi atau larut dalam arus legalisme kosong yang melanggengkan penindasan.


Di tengah krisis hukum yang tak berpihak pada rakyat—korupsi berjamaah, ketimpangan ekonomi, kriminalisasi aktivis, hingga pembiaran pelanggaran HAM—Indonesia tampaknya lebih banyak melestarikan warisan Namrudz daripada meneladani Ibrahim. Padahal Al-Qur’an telah menegaskan dalam QS Al-Ma’idah ayat 8: “Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.” Keadilan bukan sekadar prosedur hukum, melainkan perintah moral dari Tuhan yang harus hidup dalam setiap produk regulasi, kebijakan, dan keputusan pengadilan. Jika hukum tak lagi mencerminkan nilai-nilai ini, maka kurban kita kehilangan makna spiritualnya.


Saatnya bangsa ini menghidupkan kembali hukum sebagai wahyu yang membebaskan, bukan sebagai instrumen kekuasaan yang membelenggu. Kita butuh keberanian kolektif untuk menolak pasal-pasal yang membunuh nurani, serta membangun sistem hukum yang mencerminkan kasih sayang, keadilan, dan keberpihakan kepada yang tertindas. Menjadi Ibrahim artinya menolak tunduk pada kuasa yang lalim, meski harus melawan arus. Sebaliknya, menjadi Namrudz artinya membiarkan hukum menjadi alat dominasi yang menjauhkan manusia dari cahaya Tuhan. Dan sejarah telah menunjukkan, hanya satu dari keduanya yang akan kekal dalam kebenaran.



Demikian


Penulis Advokat Dan Wakil Sekretaris Bidang Hukum Dan HAM MW KAHMI Sumut 

________

Referensi:


Referensi Al-Qur’an:


1. QS Al-Baqarah (2): 258 – Dialog antara Nabi Ibrahim dan Namrudz tentang kekuasaan dan ketuhanan.

> “Apakah engkau tidak memperhatikan orang yang membantah Ibrahim tentang Tuhannya karena Allah telah memberinya kerajaan…”


2. QS Al-Ma’idah (5): 8 – Perintah untuk berlaku adil karena adil lebih dekat kepada takwa.

> “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kalian penegak keadilan karena Allah…”


3. QS An-Nisa (4): 135 – Seruan menegakkan keadilan bahkan terhadap diri sendiri dan penguasa.

> “Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan...”


Referensi Pemikiran Islam Klasik:


4. Al-Farabi, Al-Madina al-Fadhilah – Konsep masyarakat utama yang dibimbing akal dan nilai ilahi.


5. Imam Al-Ghazali, Al-Mustashfa min Ilm al-Usul – Penjabaran tentang maqashid al-syari’ah sebagai inti keadilan hukum Islam.


Referensi Data dan Laporan:


6. World Justice Project (2023).

Rule of Law Index 2023: Indonesia ranks 68 of 142 countries.

https://worldjusticeproject.org


7. Transparency International (2023).

Corruption Perception Index (CPI) 2023: Indonesia scored 34/100. https://www.transparency.org/en/cpi/2023


Referensi Konteks Indonesia Kontemporer:


8. Hadiz, Vedi R. (2010). Localising Power in Post-Authoritarian Indonesia: A Southeast Asia Perspective. Stanford University Press.

Menjelaskan bagaimana elite pasca-Orde Baru menggunakan hukum sebagai alat kooptasi kekuasaan lokal.


9. Bivitri Susanti (2021). – Kritik atas Revisi UU KPK, UU Cipta Kerja dan Reformasi Hukum di Indonesia, dalam berbagai artikel hukum dan opini.

Menyoroti hukum yang disusun tidak dalam semangat keadilan, melainkan transaksi politik.


10. Hammurabi. The Code of Hammurabi, Trans. L.W. King, 1902.


11. Malinowski, Bronislaw. Crime and Custom in Savage Society, Routledge, 1926.


12. Ibn Katsir. Tafsir al-Qur'an al-Azim, Dar al-Fikr, 2000.


13. Komnas HAM (2022). Laporan Tahunan Pelanggaran HAM.

Dokumentasi impunitas, pelanggaran HAM oleh aparat, dan lemahnya perlindungan hukum.

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)