“Membongkar Korupsi : USU, Kejaksaan, dan Masa Depan Pendidikan Tinggi”

Media Barak Time.com
By -
0

 


Oleh: Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH

(Ketua Forum Penyelamat USU)


Pendahuluan


Di balik slogan “Kampus Merdeka”, Universitas Sumatera Utara (USU)—salah satu universitas tertua dan terkemuka di Indonesia—ternyata menyimpan kisah muram tentang tata kelola yang cacat dan korupsi yang dimaafkan. Selama satu dekade terakhir, penyimpangan anggaran hingga Rp28 miliar tercatat dalam laporan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Ironisnya, seperti banyak kasus korupsi lainnya di dunia pendidikan tinggi, skandal ini tak pernah benar-benar disentuh hukum. Ia dibiarkan tumbuh, mengakar, dan diwariskan dari satu kepemimpinan ke kepemimpinan berikutnya.


Fenomena ini bukan hanya soal penyimpangan administratif atau kerugian negara dalam angka-angka. Ini adalah pengkhianatan terhadap misi luhur pendidikan itu sendiri. Seperti pernah ditegaskan oleh mantan penasehat KPK, Abdullah Hehamahua, "Korupsi di dunia pendidikan bukan hanya mencuri uang negara, tapi merampas masa depan bangsa." Ketika kampus—yang seharusnya menjadi benteng moral dan tempat lahirnya generasi pemimpin—justru terlibat dalam praktik menyimpang, maka yang terancam bukan sekadar kredibilitas institusi, melainkan masa depan negeri ini.


Di sisi lain, negara baru saja menggeliat. Pada 16 Mei 2025, Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemdiktisaintek) bersama Kejaksaan Agung RI menandatangani nota kesepahaman strategis untuk memperkuat sinergi hukum dalam dunia pendidikan tinggi. Menteri Brian Yuliarto dan Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin sepakat bahwa pendidikan yang bersih adalah prasyarat menuju Indonesia Emas 2045. Tetapi pertanyaannya: apakah komitmen ini akan menyentuh kasus-kasus lama seperti yang terjadi di USU? Ataukah akan menjadi sekadar dokumen simbolik yang cepat dilupakan?


Korupsi yang Sistemik, Dosa yang Dibiarkan


Berdasarkan laporan investigatif Poros Jakarta (Mei 2025), temuan BPK sejak tahun 2012 menunjukkan penyimpangan pengelolaan dana USU yang berulang dan terstruktur. Dana operasional dikelola tanpa dokumen pendukung yang sah, pengadaan barang dan jasa tanpa transparansi, dan berbagai pelanggaran administratif yang diabaikan oleh pimpinan universitas dari satu rezim ke rezim berikutnya.


Yang lebih mengkhawatirkan bukan hanya nominalnya—Rp28 miliar—melainkan budaya diam dan pembiaran yang mengikutinya. Di dalam kampus, pelanggaran bukan lagi aib, tapi rutinitas. Penyimpangan bukanlah kejutan, melainkan konsensus diam-diam.


Dalam teori korupsi institusional, seperti dijelaskan oleh Robert Klitgaard, korupsi tumbuh subur ketika ada monopoli kekuasaan, diskresi tinggi, dan akuntabilitas lemah. USU memenuhi ketiganya. Dana dikelola sewenang-wenang oleh segelintir elite birokrasi kampus. Mekanisme pengawasan internal seperti senat dan dewan pengawas berjalan formalistik, tak punya daya tawar. Sementara mahasiswa dan akademisi yang bersuara, sering kali dibungkam dengan dalih menjaga “nama baik lembaga”.


Kejaksaan dan Kemdiktisaintek: Harapan atau Simbolisme?


Di tengah kegelapan ini, sinergi antara Kemdiktisaintek dan Kejaksaan Agung membawa angin segar. Nota kesepahaman itu mencakup pengawasan implementasi anggaran, pendampingan hukum dalam pelaksanaan kebijakan, serta edukasi hukum bagi sivitas akademika.


Namun publik tak butuh seremonial. Yang dibutuhkan adalah penegakan hukum yang menyentuh akar persoalan. Kejaksaan tidak cukup hanya melakukan pendampingan; ia harus melakukan tindakan. USU bisa menjadi studi kasus nasional—bukan untuk mempermalukan, tapi untuk memulihkan. Karena kalau tidak sekarang, kapan lagi? Dan kalau bukan di kampus, di mana lagi moral dimulai?


Obstruction of Justice dalam Pemberantasan Korupsi di USU


Dalam dunia hukum, obstruction of justice dimaknai sebagai segala bentuk upaya menghalangi proses penegakan hukum, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam konteks Universitas Sumatera Utara (USU), gejala ini tampak dalam bentuk pembiaran sistemik, normalisasi penyimpangan, hingga absennya tindakan hukum atas temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) selama hampir satu dekade.


Audit BPK yang mengungkap penyimpangan dana sebesar Rp28 miliar seharusnya menjadi pemantik tindakan hukum, bukan sekadar dokumen birokrasi yang usang di laci arsip. Namun, fakta berbicara lain. Tidak ada proses hukum yang menindaklanjuti laporan tersebut secara signifikan. Bahkan, para pejabat yang terindikasi dalam temuan itu masih leluasa berkarier, sebagian justru mendapat promosi.


Hal ini menunjukkan bahwa di balik wajah akademik yang tampak tenang, terdapat praktik obstruction of justice yang berlapis: mulai dari lemahnya sistem pelaporan internal, ketidakhadiran whistleblower protection, hingga potensi keterlibatan aktor-aktor eksternal yang punya kepentingan mempertahankan status quo. Dalam kerangka teori kejahatan kerah putih (white-collar crime) yang dikemukakan Edwin Sutherland, korupsi semacam ini kerap tak tersentuh bukan karena tidak terdeteksi, melainkan karena pelakunya memiliki modal sosial, politik, dan birokratik untuk menghindari proses hukum.


Lebih parah lagi, di lingkungan kampus, persekongkolan diam menjadi norma. Dosen, birokrat kampus, hingga mahasiswa yang memahami skandal tersebut memilih bungkam karena takut pada ancaman struktural: dicoret dari jabatan, dibekukan organisasi, atau di-nonaktifkan dari perkuliahan. Inilah bentuk obstruction of justice yang paling berbahaya—bukan sekadar menyumbat proses hukum, tetapi mematikan budaya etis dan keberanian intelektual.


Dalam konteks ini, keterlibatan Kejaksaan Agung melalui nota kesepahaman dengan Kemdiktisaintek menjadi peluang emas untuk memutus rantai impunitas. Namun, keseriusan negara akan diuji bukan pada tataran dokumen, melainkan sejauh mana aparat hukum berani membuka ulang kasus lama yang membusuk di balik papan nama universitas. Tanpa keberanian membongkar masa lalu, maka komitmen terhadap Indonesia Emas 2045 hanya akan menjadi slogan garing yang jauh dari kenyataan


Kampus Harus Jadi Benteng Moral, Bukan Sarang Skandal


USU bukan kasus tunggal. Ia adalah cermin dari persoalan yang lebih luas dalam tata kelola perguruan tinggi negeri (PTN). Banyak PTN yang kini berstatus Badan Layanan Umum (BLU) mengelola dana ratusan miliar rupiah per tahun, namun dengan pengawasan yang lemah dan budaya akuntabilitas yang rendah.


Yang terjadi adalah hibridisasi antara feodalisme birokrasi dan liberalisasi keuangan—sebuah mutasi yang memungkinkan munculnya oligarki kampus. Dalam terminologi Michel Foucault, kampus yang seharusnya menjadi “ruang produksi pengetahuan” telah menjadi “medan kuasa”, tempat di mana pengetahuan dikontrol oleh struktur kekuasaan, bukan kebenaran.


Maka pertarungan melawan korupsi di USU adalah pertarungan simbolik: apakah negara sanggup menegakkan keadilan di institusi yang seharusnya mengajarkan keadilan itu sendiri?


Penutup 


Langkah Kejaksaan Agung tidak boleh berhenti di meja pertemuan dan press release. Sinergi ini harus dikonversi menjadi audit investigatif, penindakan, dan transparansi publik. USU harus diperiksa, dan jika terbukti, harus ada konsekuensi hukum yang tegas. Hanya dengan itulah integritas pendidikan tinggi bisa diselamatkan.


Bila negara serius memerangi korupsi, maka kampus adalah titik mula. Sebab seperti kata Bung Hatta, “Pendidikan bukan semata-mata untuk membuat orang pandai, tetapi untuk membentuk manusia yang bermoral.” Dan moral itu hanya tumbuh dalam sistem yang adil dan bersih.


Demikian.


Penulis Advokat, Pengiat Anti Korupsi dan Alumni Fakultas Hukum USU Stambuk' 92 

__________


Referensi:


1. Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI).

Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Universitas Sumatera Utara Tahun Anggaran 2011–2021.

https://www.bpk.go.id


2. Poros Jakarta.

USU dan 10 Tahun Korupsi 'Dimaafkan': Laporan BPK Ungkap Penyimpangan Rp28 Miliar.

(Diakses 9 Juni 2025)

https://www.porosjakarta.com/kanal-editorial/066024274


3. Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemdiktisaintek).

Mendiktisaintek Perkuat Sinergi Hukum dengan Kejaksaan Agung Demi Pendidikan Tinggi yang Bersih dan Akuntabel.

(16 Mei 2025)

https://kemdiktisaintek.go.id/kabar-dikti/kabar/mendiktisaintek-perkuat-sinergi-hukum-dengan-kejaksaan-agung


4. Sutherland, Edwin H.

White Collar Crime.

Holt, Rinehart and Winston, 1949.


5. Transparency International.

Corruption Perceptions Index 2024.

https://www.transparency.org/en/cpi


6. Hehamahua, Abdullah.

Pernyataan dalam berbagai forum dan kuliah umum KPK, dikutip dalam berbagai artikel media. Salah satunya dalam:

“Korupsi Pendidikan adalah Kejahatan terhadap Masa Depan Bangsa,” Media Indonesia, 2012.


7. ICW (Indonesia Corruption Watch).

Potret Korupsi di Sektor Pendidikan: Studi Kasus dan Analisis Penegakan Hukum.

(Laporan Tahunan 2023)

https://antikorupsi.org


8. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.


9. Komnas HAM dan LPSK.

Pedoman Perlindungan Whistleblower dan Pelapor Tindak Pidana Korupsi dalam Institusi Pendidikan.

(2021)

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)