Skandal Kebun Tabuyung: BNI Gelontorkan Kredit Rp 228 Miliar Meski Aset Kebun USU Laporan Tekor Sejak 2012

Media Barak Time.com
By -
0

 



Oleh: Adv. M.Taufik Umar Dani Harahap, SH (Koordinator Alumni USU)


Pendahuluan

Pada 21 Agustus 2021, publik dikejutkan oleh informasi mengenai pemberian fasilitas kredit senilai Rp 228 miliar oleh PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BNI) kepada Kebun Tabuyung milik Universitas Sumatera Utara (USU).  Yang menjadi sorotan adalah fakta bahwa kebun tersebut telah melaporkan kerugian sejak tahun 2012.  Langkah BNI ini memunculkan pertanyaan besar mengenai kepatuhan terhadap prinsip kehati-hatian dalam penyaluran kredit, terutama mengingat status BNI sebagai bank milik negara. 


Profil Kebun Tabuyung: Aset USU yang Terpuruk 


Pada akhir tahun 1990 an terlaksana. "Program Land Colledge University" tepatnya pada tahun 1998, Land Colledge University merupakan Program Presiden BJ.Habibie cq Menteri Kehutanan Dr. Muslimin Nasution, dimana saat itu USU masih Perguruan Tinggi  Negeri Satuan Kerja ( PTN Satker). Berdasarkan aturan yang ada saat itu PTN Satker tidak boleh mengkelola aset usaha sendiri. Untuk memastikan berjalanya program tersebut, maka disiasatilah dibentuk unit usaha Koperasi Pengembangan USU (KP USU). 


Selanjutnya untuk tindak lanjut pengelolaan  kebun sawit USU di Tabuyung tersebut KP USU bekerjasama dengan PT Asian Agri dgn bentuk usaha patungan Namanya PT Usaha Sawit Unggul (PT USU), dimana kerjasama tersebut dengan komposisi kepemilikan saham KP USU sebesar 15 % dan PT Asian Agri sebesar 85 %. 


Pada tahun 2014, USU telah berubah status menjadi Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN BH) sesuai amanat UU No.12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi dan punya otonomi nrngatur dan mengurus asetnya sesuai Statuta USU yang diatur dalam PP No.16 Tahun 2024, maka sejak itu USU sudah bisa punya Badan Usaha sendiri seperti PT. 


Sejak tahun 2012 sampai 2025 Aset USU berupa lahan kebun sawit USU ditabayung dilaporkan pada USU dalam kondisi merugi. 


Kemudian tahun 2019 terjadi proses pensertifikatan lahan kebun sawit USU di Desa Tabuyung Kabupaten Madina seluas lebih kurang 5.600 HA menjadi sertifikat HGU, namun sertifikat tersebut dibuat atas nama pemilik Koperasi Pengembangan (KP) USU bukan PT. USU sebagai Badah Usaha USU dimana diketahui USU telah menjadi PTN BH.


Keputusan Kredit BNI: Antara Kepatuhan dan Risiko

Pemberian kredit sebesar Rp 228 miliar oleh BNI kepada Kebun Tabuyung menimbulkan pertanyaan mengenai analisis risiko yang dilakukan oleh bank.  Dalam praktik perbankan, pemberian kredit sebesar ini seharusnya didasarkan pada analisis menyeluruh terhadap kelayakan usaha, termasuk kesehatan keuangan debitur dan prospek bisnis ke depan.  Fakta bahwa Kebun Tabuyung telah merugi selama lebih dari satu dekade seharusnya menjadi indikator risiko yang signifikan. 


Pola Korupsi Kredit di BNI: Kasus-kasus Sebelumnya

Kasus pemberian kredit bermasalah bukanlah hal baru bagi BNI.  Beberapa kasus sebelumnya menunjukkan pola yang mengkhawatirkan: 


BNI Jember dan KSP MUMS: Antara 2021–2023, BNI Cabang Jember menyetujui kredit BWU senilai Rp 125 miliar kepada KSP MUMS, yang mengatasnamakan petani tebu fiktif.  Modus operandi termasuk pemalsuan dokumen dan penggunaan identitas palsu, dengan persetujuan dari pimpinan cabang BNI meskipun dokumen tidak sah.  


BNI Pekanbaru dan PT BRJ: Pada 2007, BNI Cabang Pekanbaru mencairkan kredit Rp 40 miliar kepada PT Barito Riau Jaya untuk perkebunan sawit.  Namun, dana tersebut digunakan untuk membangun klinik kecantikan dan membeli properti pribadi.  Tiga pejabat BNI divonis 9 tahun penjara atas keterlibatan mereka.  


BNI Bengkalis dan KUR Fiktif: Antara 2020–2022, BNI KCP Bengkalis menyalurkan KUR sebesar Rp 65,2 miliar kepada 654 debitur fiktif.  Dana tersebut digunakan untuk membeli mobil dan membuka lahan sawit ilegal, dengan kerugian negara mencapai Rp 46,6 miliar.  


Pola-pola ini menunjukkan kelemahan dalam sistem pengawasan internal BNI, serta potensi adanya kolusi antara pejabat bank dan pihak eksternal. 


Analisis Teoritis: Prinsip Kehati-hatian dan Good Corporate Governance


Dalam teori perbankan, prinsip kehati-hatian (prudential banking) dan Good Corporate Governance (GCG) merupakan pilar utama dalam operasional bank.  Prinsip kehati-hatian menuntut bank untuk melakukan analisis risiko yang mendalam sebelum memberikan kredit, sementara GCG menekankan transparansi, akuntabilitas, dan integritas dalam pengambilan keputusan. 


Pemberian kredit kepada Kebun Tabuyung yang telah merugi selama lebih dari satu dekade menunjukkan potensi pelanggaran terhadap kedua prinsip ini.  Tanpa analisis risiko yang memadai dan pengawasan yang ketat, keputusan tersebut berisiko tinggi menyebabkan kerugian finansial dan reputasi bagi BNI. 


Implikasi Hukum dan Tanggung Jawab

Jika terbukti adanya penyalahgunaan wewenang atau kelalaian dalam proses pemberian kredit, maka pihak-pihak terkait dapat dikenai sanksi hukum berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.  Pasal 3 UU tersebut menyatakan bahwa setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, dapat dipidana penjara maksimal 20 tahun. 


Rekomendasi dan Langkah Ke Depan

1. Audit Forensik: Dilakukan oleh auditor independen untuk menelusuri aliran dana kredit dan memastikan tidak ada penyalahgunaan. 


2. Penguatan Pengawasan Internal: BNI perlu memperkuat sistem pengawasan dan kontrol internal untuk mencegah terulangnya kasus serupa. 


3. Transparansi dan Akuntabilitas: Publikasi hasil audit dan langkah-langkah perbaikan yang diambil oleh BNI untuk membangun kembali kepercayaan publik. 


4. Penegakan Hukum: Aparat penegak hukum harus menindak tegas pihak-pihak yang terbukti melakukan pelanggaran hukum dalam kasus ini. 


Penutup

Kasus pemberian kredit sebesar Rp 228 miliar oleh BNI kepada Kebun Tabuyung milik USU yang telah merugi sejak 2012 menyoroti pentingnya penerapan prinsip kehati-hatian dan GCG dalam operasional perbankan.  Tanpa pengawasan yang ketat dan akuntabilitas yang jelas, keputusan-keputusan semacam ini berpotensi merugikan keuangan negara dan merusak kepercayaan publik terhadap institusi perbankan.  Langkah-langkah perbaikan yang tegas dan transparan diperlukan untuk mencegah terulangnya kasus serupa di masa depan. 


Demikian.


Penulis Alumni Fakultas Hukum USU Stambuk' 92 

---


Daftar Pustaka:


1. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 


2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. 


3. Tempo.co. (2024). Dugaan Korupsi Kredit BNI Jember Senilai Rp125 Miliar, Manajemen: Terungkap Atas Laporan Kami.  


4. Liputan6.com. (2014). Kredit Fiktif, 3 Eks Pejabat BNI Pekanbaru Divonis 9 Tahun Bui.  


5. Halloriau.com. (2024). Korupsi KUR BNI Bengkalis Rp46,6 Miliar Dipakai Para Tersangka Beli Mobil Hingga Buka Lahan Sawit.  


6. RMOLSUMSEL.ID. (2024). Korupsi Kredit BNI Rugikan Negara Rp125 Miliar, Kejati Tahan Tiga Tersangka, Salah Satunya Kepala Cabang.

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)