"Kredit Rp 228 Miliar BNI untuk USU: Bagaimana Kebun Sawit yang Rugi Bisa Mendapat Pinjaman"

Media Barak Time.com
By -
0

 



Oleh: Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH (Koordinator Serikat Alumni USU)


Pendahuluan:

Dalam negara hukum dan sistem keuangan modern, bank sebagai lembaga intermediasi dana wajib bertindak berdasarkan prinsip kehati-hatian (prudential banking). Apalagi jika bank tersebut adalah bank negara, seperti Bank Negara Indonesia (BNI), yang mengelola dana publik dan tunduk pada pengawasan negara. Karena itu, publik berhak bertanya: Bagaimana mungkin Universitas Sumatera Utara (USU) mendapatkan pinjaman Rp 228 miliar untuk bisnis kebun sawit, sementara unit tersebut selama tiga tahun terakhir mengalami kerugian dan dicatat memiliki tata kelola yang lemah oleh BPK?


Kasus ini bukan sekadar soal manajemen kampus, melainkan menyangkut integritas sistem keuangan nasional, potensi penyalahgunaan wewenang, dan peluang terjadinya pelanggaran hukum pidana. Pertanyaannya: di mana letak akal sehat dalam skema ini?


Kebun Rugi, Kredit Mengalir: Apa Dasarnya?

USU melalui unit perkebunannya diketahui menjalankan bisnis sawit dengan luasan kebun lebih dari 1.000 hektare. Namun menurut Laporan Keuangan dan Temuan BPK 2023, unit tersebut menunjukkan kinerja rugi dalam tiga tahun berturut-turut.[^1] Dengan tingkat produksi yang rendah, beban operasional tinggi, dan tidak adanya revitalisasi teknologi pertanian, kebun tersebut bahkan dikategorikan sebagai unit non-profitable.


Meski begitu, secara mengejutkan, pada akhir 2023 USU berhasil memperoleh kredit investasi dari BNI sebesar Rp 228 miliar. Padahal, menurut UU Perbankan, setiap pemberian kredit harus didasarkan pada analisis kelayakan usaha dan jaminan yang memadai.[^2] Bagaimana analisis kelayakan ini bisa lolos jika unit yang dibiayai secara nyata merugi?


Korelasi Kredit Bermasalah dan Skandal Lama BNI

Kasus ini berbahaya karena mengingatkan publik pada skandal besar BNI 2003, di mana kredit fiktif senilai Rp 1,7 triliun diberikan atas dasar dokumen palsu, dan menyebabkan kerugian negara luar biasa besar.[^3] Di tahun 2017, BNI Syariah juga menghadapi gugatan karena memberikan pembiayaan terhadap proyek fiktif di Sumatera Barat yang menggunakan jaminan bodong.[^4]


Polanya berulang: kredit diberikan, tanpa analisis sehat, untuk proyek atau usaha yang sebenarnya tidak layak. Jika pola ini kembali terjadi di USU, maka aktor yang terlibat—baik dari pihak kampus maupun bank—tidak hanya melanggar prinsip keuangan, tetapi juga dapat dijerat pidana.


Aspek Hukum dan Potensi Pidana

Secara hukum, setidaknya terdapat tiga rezim hukum pidana yang relevan:

1. UU Perbankan Pasal 49 ayat (2) huruf b, yang menjerat pejabat bank yang memberikan kredit tanpa kehati-hatian.[^5]

2. UU Tipikor Pasal 2 dan 3, yang menjerat setiap penyalahgunaan kewenangan yang merugikan keuangan negara.[^6]

3. KUHP Pasal 263, jika terdapat dokumen palsu seperti laporan keuangan atau proposal kelayakan yang direkayasa.[^7]


Dengan kata lain, jika terdapat unsur rekayasa laporan, manipulasi jaminan, atau intervensi elit kekuasaan dalam pemberian kredit ini, maka kasus ini layak masuk radar KPK atau Kejaksaan Agung.


Universitas yang Tergelincir ke Dunia Korporasi

Filosofi pendidikan tinggi adalah pencerdasan kehidupan bangsa, bukan kompetisi bisnis kapitalistik. Tapi dalam banyak kasus, termasuk USU, universitas justru mengadopsi watak korporasi—mengejar pendapatan dari sektor non-akademik, termasuk perkebunan. Teori "academic capitalism" oleh Slaughter dan Rhoades menjelaskan bahwa universitas yang tergoda oleh logika pasar cenderung meninggalkan misi intelektualnya.[^8]


Dalam konteks ini, pertanyaan menjadi lebih fundamental: Apakah universitas negeri kita sedang melayani rakyat atau melayani pasar?


Penutup: Audit Independen dan Transparansi Publik

Kredit Rp 228 miliar dari BNI kepada kebun sawit milik USU bukan hanya transaksi keuangan biasa. Ini adalah cerminan dari krisis tata kelola keuangan negara dan kampus, dan mungkin merupakan titik masuk praktik bancakan elite kampus dan elite bank. Karena itu:

1. BPK dan OJK perlu melakukan audit investigatif atas skema pembiayaan ini;

2. KPK dan Kejagung wajib masuk jika ditemukan unsur pidana;


Dan publik, civitas akademika, serta mahasiswa, perlu menuntut transparansi penuh terhadap utang tersebut.


Tanpa langkah-langkah hukum dan publik yang tegas, kita sedang menyaksikan bagaimana aset dan otoritas kampus negeri dipakai untuk skema hutang yang mencurigakan—dengan rakyat sebagai penanggung akhirnya.


Demikian


Penulis Alumni Fakultas Hukum USU Stambuk' 92 

---


Catatan Kaki


[^1]: BPK RI. (2023). Laporan Hasil Pemeriksaan atas USU Tahun Anggaran 2022–2023. 


[^2]: Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, Pasal 8 dan Pasal 29 ayat (2).


 [^3]: Mahkamah Agung RI. (2005). Putusan BNI Kebayoran Baru, No. 06/PID/2005/PN.JKT.SEL.


 [^4]: Tempo.co. (2017). “BNI Syariah Digugat Karena Kredit Fiktif Proyek Sumbar”.


 [^5]: Ibid, UU Perbankan Pasal 49 ayat (2) huruf b. 


[^6]: Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Tipikor, Pasal 2 dan 3. [^7]: KUHP, Pasal 263 tentang Pemalsuan Surat. 


[^8]: Slaughter, S. & Rhoades, G. (2004). Academic Capitalism and the New Economy. Baltimore: Johns Hopkins University Press.

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)