⸻
Pemilihan Rektor Universitas Sumatera Utara (USU) periode 2026–2031 yang seharusnya menjadi pesta demokrasi akademik kini berubah menjadi panggung krisis etika. Proses yang berlangsung pada 25 September 2025 ternodai oleh praktik yang mencederai asas kerahasiaan, kebebasan, dan kejujuran pemilihan. Fakta adanya pemotretan surat suara di bilik pemungutan menjadi bukti nyata betapa rapuhnya tata kelola demokrasi di kampus negeri ini.
Insiden tersebut tidak bisa dipandang sebagai peristiwa kecil. Saat seorang anggota Senat Akademik, Prof. Dr. M. Basyuni, kedapatan memotret surat suara, publik menyaksikan bagaimana prinsip luber jurdil dilanggar di jantung institusi akademik. Lebih parah lagi, kesaksian menyebut hampir seluruh anggota senat membawa telepon genggam ke bilik suara dan sebagian besar melakukan hal serupa.
Pelanggaran ini bukan lagi insidental, melainkan terstruktur, sistematis, dan masif.
Ketua PP IKA USU, Dr. Romo Raden Muhammad Syafii, SH., M.Hum, menegaskan, “Yang rusak bukan hanya prosedur, tapi juga moralitas akademik. Demokrasi kampus telah direduksi menjadi formalitas belaka, tanpa etika dan keteladanan. Jika ini dibiarkan, USU akan kehilangan marwahnya sebagai universitas negeri yang menjadi kebanggaan Sumatera.” ujarnya, Kamis (2/10).
Krisis ini semakin mencolok ketika pimpinan sidang justru memperbolehkan penggunaan ponsel di bilik suara meski sempat mendapat protes. Keputusan itu membuka ruang manipulasi dan melemahkan legitimasi hasil pemilihan. Alih-alih menjaga integritas, pimpinan sidang justru melanggengkan praktik yang mencederai demokrasi. Humas USU kemudian menambah kegaduhan dengan menyatakan bahwa tidak ada aturan tertulis yang melarang ponsel di bilik suara.
Pernyataan ini menunjukkan betapa sempitnya cara pandang etika jika hanya diukur dengan teks aturan. Demokrasi kampus bukan sekadar formalitas regulasi, melainkan soal nilai kejujuran dan integritas. “Kalau hukum hanya dibaca sebatas teks, universitas akan terjebak dalam positivisme kering yang abai moralitas. Padahal universitas seharusnya jadi benteng terakhir penjaga integritas,” tambah Romo Syafii.
Lebih ironis, ini bukan kali pertama demokrasi internal USU bermasalah. Pada pemilihan Majelis Wali Amanat (MWA) periode 2025–2030, PP IKA USU telah melaporkan dugaan praktik KKN dan pelanggaran administrasi berat. Hingga kini, tindak lanjut laporan itu oleh Inspektorat Jenderal Kemendikbudristek tidak pernah dipublikasikan. Keterkaitan kasus MWA dengan pemilihan rektor bukan kebetulan, melainkan rangkaian kecurangan yang patut diduga dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan masif. Masalah USU bukan lagi sekadar pelanggaran teknis, tetapi penyakit institusional yang menggerogoti jantung demokrasi kampus.
Dalam situasi ini, Senat Akademik USU jelas kehilangan independensi, bahkan legitimasi moral untuk menjalankan fungsi penyaring calon rektor. Statuta memang menempatkan Majelis Wali Amanat sebagai pemegang otoritas tertinggi penyelesaian masalah, namun ketika MWA sendiri dirundung kontroversi, jalan penyelesaian tidak bisa lagi berhenti di level internal.
Di titik inilah, Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi wajib turun tangan. USU adalah lembaga publik, bukan milik kelompok elit akademik tertentu. “Seruan kami jelas: Menteri harus segera mengambil alih. Ini bukan sekadar intervensi, tapi penyelamatan. Jika dibiarkan, USU akan kehilangan kredibilitas dan kepercayaan publik,” tegas Romo Syafii.
Apa yang terjadi di Medan sesungguhnya adalah potret kecil dari krisis demokrasi universitas negeri di Indonesia. Ketika pemilihan rektor berubah menjadi arena perebutan kuasa dengan praktik transaksional, dunia akademik kehilangan wajahnya. Dampaknya sangat serius: bagaimana mungkin universitas bisa mendidik generasi berintegritas jika tata kelolanya sendiri cacat etika? Bagaimana mungkin seorang rektor bisa menjadi simbol keteladanan jika proses pemilihannya lahir dari kecurangan? “Rektor yang lahir dari proses cacat akan membawa luka legitimasi yang panjang.
Satu-satunya jalan adalah membatalkan hasil penyaringan, memberi sanksi etik, dan memastikan proses yang transparan serta akuntabel,” tandas Ketua PP IKA USU.
Universitas Sumatera Utara adalah salah satu perguruan tinggi negeri tertua dan terbesar di Sumatera, institusi yang selama ini menjadi kebanggaan masyarakat. Alih-alih menjadi pionir integritas, kini ia berada di titik nadir krisis etika. Alumni merasa terpanggil untuk bersuara demi menyelamatkan rumah besar ini. Surat pengaduan PP IKA USU adalah alarm keras bagi Menteri: jangan tunda lagi. Setiap hari keterlambatan berarti membiarkan universitas tenggelam lebih dalam dalam lumpur krisis etika. Tindakan tegas, cepat, dan transparan adalah satu-satunya pilihan.
Pengurus Pusat Ikatan Alumni Universitas Sumatera Utara (PP IKA USU)
Dr. Romo Raden Muhammad Syafii, SH., M.Hum
Ketua
Posting Komentar
0Komentar