MW KAHMI Sumut Desak Reformasi Polri: “Polisi Harus Jadi Pelindung, Bukan Pelanggar HAM”

Media Barak Time.com
By -
0

 



Baraktime.com|Medan 

Majelis Wilayah Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (MW KAHMI) Sumatera Utara menegaskan perlunya reformasi menyeluruh di tubuh Kepolisian Republik Indonesia (Polri), terutama terkait pemajuan dan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM).


Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, S.H., Wakil Ketua Bidang Hukum dan HAM MW KAHMI Sumut, menyoroti bahwa Polri kini menghadapi krisis integritas dan legitimasi publik. “Kasus-kasus kekerasan, penyiksaan, penembakan di luar prosedur, kriminalisasi aktivis, serta maraknya pungli dan rekayasa perkara telah menjadikan wajah Polri kian jauh dari semboyan sebagai pengayom masyarakat. Publik menyaksikan polisi lebih sering menjadi bagian masalah ketimbang solusi,” tegasnya saat rilis di kantor MWKAHMI, jumat (12/9).


Taufik menambahkan, laporan Komnas HAM dan KontraS selama lima tahun terakhir menunjukkan pola berulang: kekerasan aparat saat menangani demonstrasi mahasiswa, kriminalisasi warga yang memperjuangkan tanah, hingga brutalitas di tahanan yang berujung kematian. 


“Kekerasan bukan lagi kasus insidental, melainkan indikasi sistemik. Ini bukti bahwa reformasi di tubuh Polri tidak pernah tuntas sejak 1998,” katanya.


Menurut Taufik, kepercayaan publik terhadap Polri sudah berada di titik nadir. Survei berbagai lembaga menunjukkan Polri kerap menempati posisi atas sebagai lembaga paling korup dan paling tidak dipercaya. 


“Integritas kepolisian adalah harga mati. Tanpa integritas, hukum jadi komoditas, seragam jadi tameng, dan senjata jadi alat intimidasi. Di titik ini, rakyat tidak lagi merasa aman di hadapan polisi, padahal seharusnya Polri adalah pelindung,” ujarnya.


MW KAHMI Sumut menekankan pentingnya akuntabilitas, transparansi, dan profesionalitas sebagai pilar reformasi Polri. Mekanisme pengawasan internal harus diperkuat, sementara pengawasan eksternal oleh masyarakat sipil, DPR, dan lembaga independen seperti Komnas HAM tidak boleh dipandang sebagai ancaman.


“Polisi yang modern bukan hanya punya teknologi canggih, tetapi juga punya hati nurani. Jika Polri terus anti-kritik, brutal terhadap rakyat, dan kebal hukum, maka reformasi hanyalah fatamorgana. Demokrasi tidak akan pernah sehat bila aparat penegak hukum justru menjadi mesin represi,” kata Taufik.


Ia menegaskan, reformasi Polri adalah agenda bangsa, bukan sekadar urusan internal institusi. Konstitusi UUD 1945, UU HAM, hingga komitmen internasional seperti Konvensi Menentang Penyiksaan (CAT) dan Kovenan Hak Sipil dan Politik (ICCPR) mengikat Indonesia untuk memastikan polisi tunduk pada hukum, bukan sebaliknya.


MW KAHMI Sumut menutup pernyataannya dengan desakan keras: reformasi Polri harus ditempatkan kembali sebagai agenda prioritas nasional. “Rakyat menuntut polisi yang berpihak pada hukum dan kemanusiaan, bukan pada kekuasaan. Jika Polri gagal mereformasi dirinya, maka keadilan akan terus jadi barang mewah, dan demokrasi akan tumbang di tangan aparat yang seharusnya menjaganya,” pungkas Taufik.(ril).

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)