Forum Penyelamat USU (FP-USU) ~ Tiba-tiba publik dikejutkan dengan munculnya hibah Rp41 miliar untuk Universitas Sumatera Utara (USU) dalam Ranperda Perubahan APBD Sumatera Utara 2025 (gebernews.com, 17-9-2025). Dana tersebut muncul melalui pos Biro Kesejahteraan Rakyat (Kesra) Pemerintah Provinsi Sumut. Pertanyaan publik pun sederhana namun fundamental: hibah ini untuk apa, dan siapa yang sejatinya diuntungkan?
Secara normatif, UU No. 17 Tahun 2003 dan UU No. 23 Tahun 2014 sudah memberi pagar tegas: setiap alokasi APBD wajib akuntabel, transparan, dan partisipatif. Hibah Rp41 miliar ke USU justru melanggar spirit itu karena minim urgensi, tanpa indikator manfaat jelas, dan kini menyeret dugaan keterlibatan “tim bayangan” relokasi anggaran Pemprovsu bersama Rektor USU, sebagaimana dikonfirmasi pegiat transparansi dan pejabat Pemprov (Tempo, 26/9/2025). Dalam konteks ini, KPK tidak boleh pasif; hibah tersebut harus segera diaudit dan diselidiki agar uang rakyat tidak berubah menjadi komoditas transaksi politik yang merusak tata kelola keuangan daerah.
Permendagri No. 77 Tahun 2020 Pasal 132 ayat (3) bahkan mempertegas bahwa hibah hanya bisa diberikan bila peruntukannya sudah diatur jelas dalam Peraturan Kepala Daerah. Faktanya, hingga kini publik sama sekali tidak memperoleh penjelasan detail terkait tujuan hibah Rp41 miliar tersebut. Transparansi yang absen ini justru mengundang kecurigaan bahwa ada agenda terselubung di balik realokasi anggaran tersebut.
Dalam kerangka tata kelola keuangan negara, DPRD memiliki fungsi vital. UU No. 23 Tahun 2014 dan PP No. 18 Tahun 2017 (jo. PP No. 1 Tahun 2023) menempatkan DPRD bukan sekadar lembaga formal, melainkan penjaga terakhir integritas APBD. Fungsi power of the purse atau hak anggaran DPRD merupakan mekanisme checks and balances agar pemerintah daerah tidak semena-mena mengotak-atik uang rakyat, tegas Bomski FP-USU.
Jika DPRD memilih diam, publik berhak menilai bahwa lembaga legislatif daerah telah berubah fungsi. Alih-alih menjadi pengawal kepentingan rakyat, DPRD justru tampil sebagai kaki tangan dalam permainan kotor anggaran. Kebungkaman di tengah sorotan publik hanya akan menegaskan bahwa fungsi representasi rakyat telah mati suri, pungkas Bomski.
Lebih jauh, hibah Rp41 miliar ini sarat dua tafsir. Pertama, ia bisa dibaca sebagai bentuk dukungan pada pengembangan pendidikan tinggi. Namun tafsir kedua—dan lebih problematis—ialah dugaan hibah sebagai kompensasi politik bagi USU, yang belakangan tengah diterpa polemik pemilihan rektor dan jeratan kasus hukum, di mana Muryanto Amin sirkel kejahatan korupsi dalam kasus proyek jalan di Sumatera Utara (detikNew, 25/9/2025). Tafsir kedua ini lebih dekat dengan realitas politik di Sumut yang kerap diwarnai barter kepentingan.
Jika hibah benar menjadi instrumen kompensasi politik, maka APBD kembali direduksi menjadi arena transaksi, bukan instrumen kesejahteraan publik. Uang rakyat tidak lagi dikelola demi kepentingan umum, melainkan demi kepentingan kelompok elite yang bersembunyi di balik jargon pembangunan. Di titik inilah, kepercayaan publik terhadap institusi negara semakin runtuh.
Padahal, mekanisme anggaran seharusnya terbuka. Prinsip open government menuntut keterlibatan masyarakat sipil sejak perencanaan hingga pengawasan APBD. Hibah sebesar Rp41 miliar seyogianya dibuka secara rinci: program apa yang dibiayai, siapa penerima manfaat langsung, dan bagaimana indikator keberhasilannya diukur. Tanpa itu, publik berhak menyebutnya sebagai skandal transparansi.
Di sisi lain, posisi USU sebagai perguruan tinggi negeri juga perlu ditegaskan. Sebagai lembaga pendidikan yang dibiayai APBN melalui Kementerian Pendidikan, USU sudah memiliki mekanisme pendanaan tersendiri. Hibah dari pemerintah provinsi, jika tidak hati-hati, justru berpotensi menimbulkan konflik kepentingan, apalagi jika dikaitkan dengan tudingan miring tak becusnya pengelolaan aset kebun USU di Tabuyung, Kab. Mandailing Natal.
Kritik publik terhadap hibah Rp41 miliar ke USU tidak boleh dipandang sebagai serangan terhadap dunia pendidikan, melainkan sebagai ikhtiar menjaga marwah universitas agar tidak terjerumus menjadi bancakan elite kampus. Justru karena prosesnya tidak transparan dan dipertanyakan melalui aksi demonstrasi di DPRD Sumut, hibah ini wajib dikembalikan. Uang rakyat tidak boleh dijadikan jalan pintas untuk mengamankan kepentingan jangka pendek, melainkan harus dikelola secara akuntabel demi kemaslahatan masyarakat luas di Sumut, tandas Bomski.
Kini, semua mata tertuju pada DPRD Sumut. Apakah dewan berani menggunakan hak budget dan hak interpelasi untuk meminta penjelasan pemerintah daerah? Atau justru memilih bersembunyi di balik kompromi politik yang busuk? Keputusan ini akan menentukan apakah DPRD masih layak menyandang predikat sebagai wakil rakyat.
Dalam negara hukum, uang publik tidak boleh dikelola berdasarkan kepentingan segelintir elite. Hibah Rp41 miliar ke USU bisa menjadi momentum pembuktian integritas DPRD sekaligus konsistensi pemerintah provinsi terhadap prinsip akuntabilitas. Jika dibiarkan mengambang, publik hanya akan melihatnya sebagai simbol nyata bahwa APBD telah menjadi komoditas yang diperdagangkan untuk tujuan memperkaya diri atau orang lain dengan cara melawan hukum.
Hibah Rp41 miliar ini bukan sekadar angka dalam tabel anggaran. Ia adalah cermin moralitas politik anggaran di Sumatera Utara. Apakah ia menjadi instrumen pembangunan pendidikan atau sekadar transaksi politik terselubung—jawabannya akan menentukan apakah demokrasi lokal masih berjalan sehat, atau justru sedang dikubur secara perlahan, ujar Bomski.
Demikian.
Penulis: Adv. Irfan Hariyantho SH., alias Bomski, Praktisi Hukum, dan Forum Penyelamat USU
Posting Komentar
0Komentar