Hibah Rp41 Miliar ke USU: Ketika Negara Membiayai Krisis Integritas

Media Barak Time.com
By -
0

 



Baraktime.com|Medan, 

 Publik Sumatera Utara dikejutkan oleh kebijakan Pemerintah Provinsi Sumut yang mengucurkan hibah sebesar Rp41 miliar kepada Universitas Sumatera Utara (USU) dalam pemberitaan media sosial. Di atas kertas, hibah ini mungkin terlihat sebagai dukungan terhadap pengembangan pendidikan tinggi. Namun, dalam realitas politik dan sosial, langkah ini justru memantik kritik keras, sebab menyimpan ironi mendalam di tengah krisis integritas yang melilit kampus terbesar di Sumatera Utara itu.


Forum Penyelamat Universitas Sumatera Utara (FP-USU) menyebut kebijakan ini bukan sekadar cacat tata kelola, melainkan bentuk arogansi politik anggaran. "Bagaimana mungkin di tengah banjir kasus korupsi yang mendera USU, justru Pemprov Sumut menghadiahi Rp41 miliar dari uang rakyat? Ini bukan kebijakan, ini penghinaan terhadap keadilan publik," tegas  Adv. Irfan Harianto,S.H. alias Bomski, Anggota FP-USU, rabu (17/9).


Bomski, menilai hibah tersebut sebagai keputusan konyol di tengah situasi rakyat yang masih bergulat dengan kemiskinan dan ketimpangan. Nelayan di Belawan berjuang melawan gelombang hidup, petani karet mengeluh harga panen tak kunjung layak, dan ribuan anak di pelosok masih putus sekolah karena biaya. "Tapi Rp41 miliar justru mengalir ke kampus yang sedang dililit kasus korupsi," katanya.


Krisis yang dihadapi USU, menurut FP-USU, bukanlah soal dana, melainkan soal moral dan integritas. Deretan kasus kredit sawit Rp228 miliar di Tabuyung, isu suap di Senat Akademik, anggaran kolam retensi, proyek gedung UMKM, hingga sorotan tajam terhadap lonjakan harta kekayaan Rektor Muryanto Amin menjadi bukti. "Alih-alih diselamatkan dengan reformasi moral, USU justru dihadiahi hibah jumbo. Ini logika jungkir balik," ujar Bomski di Kantor FP- USU Jalan Sutomo Medan.


Lebih jauh, FP-USU mengingatkan bahwa kebijakan hibah tersebut menyalahi prinsip dasar hukum tata kelola keuangan negara. UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menuntut transparansi, akuntabilitas, serta partisipasi publik dalam setiap penggunaan anggaran. "Setiap rupiah dari APBD adalah uang rakyat, bukan hadiah politik bagi kampus yang sedang jadi sorotan," tambahnya.


Dasar hukum teknis pun semakin memperkuat kritik ini. Permendagri No. 77 Tahun 2020 Pasal 132 ayat (3) secara tegas menyebut hibah hanya dapat diberikan jika peruntukannya jelas dalam peraturan kepala daerah tentang penjabaran APBD. Namun hingga kini, publik tidak mendapatkan penjelasan transparan mengenai urgensi hibah Rp41 miliar untuk USU, apalagi indikator kebermanfaatannya bagi masyarakat Sumut.


Di titik inilah peran DPRD Sumut dipertaruhkan. Fungsi budget yang diamanatkan UU Pemda No. 23 Tahun 2014 dan PP No. 18 Tahun 2017 (diubah dengan PP No. 1 Tahun 2023) memberi dewan kewenangan mengawasi hingga menyetujui setiap rupiah dari APBD. FP-USU menilai, bila DPRD hanya diam, maka publik berhak menilai dewan ikut menjadi kaki tangan dalam permainan kotor anggaran.


Hak interpelasi bahkan hak angket sejatinya bisa digunakan DPRD untuk membongkar kejanggalan hibah ini. Namun, sikap bungkam yang ditunjukkan sejauh ini justru menambah kecurigaan publik bahwa ada kompromi politik yang lebih dalam ketimbang sekadar bantuan pendidikan. "Kalau dewan bungkam, maka pengkhianatan terhadap rakyat menjadi sempurna," sindir FP-USU.


Tidak berhenti pada level politik daerah, FP-USU juga menyerukan agar KPK segera turun tangan. Hibah jumbo di tengah tumpukan skandal korupsi di tubuh USU adalah bom waktu. Tanpa pengawasan ketat, dana ini hanya akan menjadi bahan bakar baru bagi praktik oligarki kampus yang makin menguat. "Kita tidak bisa membiarkan universitas rakyat berubah jadi lahan basah segelintir elite," tegas Bomski.


Kasus hibah Rp41 miliar ini menyingkap wajah ganda tata kelola publik: di satu sisi pemerintah berbicara soal transparansi dan akuntabilitas, namun di sisi lain justru menyiram dana besar ke institusi yang krisis moralnya belum pernah dituntaskan. Ini bukan sekadar soal anggaran, melainkan soal arah politik pembangunan di Sumut—apakah berpihak pada rakyat kecil atau justru menyokong elite yang sedang bermasalah, tegas Bomski.


Dalam konteks inilah, publik menunggu keberanian DPRD, integritas KPK, dan keseriusan Pemprov untuk menjawab kegelisahan rakyat. Sebab, bila krisis integritas terus dibiayai negara, maka pesan yang sampai ke masyarakat hanya satu: 'korupsi dan skandal bisa dimaafkan, selama ada kuasa dan akses politik', ujar Bomski.(ril_tu)

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)