Baraktime.com|Medan
14 September 2025 – Forum Penyelamat Universitas Sumatera Utara (FP-USU) resmi mengajukan permohonan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang disampaikan langsung oleh Selwa Kumar, alumni Fakultas Sastra (FIB) USU Stambuk' 87 yang tergabung dalam Forum Penyelamat USU, untuk melakukan tindakan pemanggilan paksa terhadap Rektor Universitas Sumatera Utara (USU), Prof. Dr. Muryanto Amin, S.Sos., M.Si. Langkah ini ditempuh setelah dua kali pemanggilan KPK tidak dipenuhi oleh yang bersangkutan.
Surat bernomor 007/FP-USU/B/IX/2025 itu menegaskan, ketidakpatuhan Muryanto Amin terhadap panggilan hukum berpotensi melemahkan kepercayaan publik terhadap integritas akademisi sekaligus merusak marwah universitas. FP-USU menilai, sikap abai seorang rektor terhadap kewajiban hukum justru menegaskan adanya krisis etika di institusi pendidikan tinggi.
Menurut FP-USU, alumni memiliki tanggung jawab moral untuk mengawasi, melaporkan, dan menindaklanjuti dugaan praktik korupsi di lingkungan kampus. Peran itu tidak sekadar simbolik, tetapi juga konkret dalam bentuk pengawasan kebijakan, membangun jejaring antikorupsi, hingga mendorong transparansi pengelolaan keuangan universitas.
KPK sebelumnya telah memanggil Prof. Muryanto Amin pada 15 Agustus dan 26 Agustus 2025 sebagai saksi dalam perkara dugaan korupsi proyek jalan di Sumatera Utara yang menyeret tersangka Topan Ginting. Namun, kedua panggilan itu diabaikan tanpa alasan sah. Fakta ini, menurut FP-USU, membuka ruang bagi publik untuk menuntut tindakan lebih tegas berupa pemanggilan paksa.
Relevansi keterangan Muryanto Amin dinilai sangat penting. KPK sendiri dalam sejumlah pemberitaan resmi menyebut rektor USU masuk dalam lingkaran kedekatan politik dan bisnis antara Bobby Nasution dan Topan Ginting. Dengan demikian, keterangannya dapat memperjelas konstruksi perkara, khususnya aliran dana proyek APBD Sumut.
Lebih jauh, FP-USU juga mengaitkan nama Muryanto Amin dengan sederet dugaan penyimpangan pengelolaan keuangan di USU. Mulai dari agunan kredit kebun sawit USU senilai Rp228,3 miliar di Bank BNI, penggunaan tiga rumah dinas sekaligus yang bertentangan dengan aturan, hingga proyek kolam retensi dan plaza UMKM yang masing-masing ditemukan bermasalah oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Selain itu, laporan BPK juga mengungkap adanya kelebihan pemungutan Uang Kuliah Tunggal (UKT) jalur mandiri sebesar Rp10,9 miliar serta pembayaran remunerasi tidak wajar senilai Rp36,5 miliar. Rangkaian temuan ini, menurut FP-USU, menunjukkan pola pengelolaan keuangan yang menyimpang dan tidak akuntabel.
“Semua indikasi ini tidak boleh dipandang remeh. Apalagi seorang rektor adalah simbol etika, integritas, dan kepemimpinan akademik. Jika dibiarkan, universitas bisa jatuh dalam kubangan krisis moral,” ujar Ketua FP-USU, Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, S.H., dalam pernyataan tertulis.
Dasar hukum permohonan pemanggilan paksa itu berlandaskan KUHAP, UU KPK, dan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. FP-USU menekankan bahwa setiap saksi yang telah dipanggil secara sah wajib hadir, dan jika tidak hadir tanpa alasan patut, maka pemanggilan paksa adalah konsekuensi yang sah menurut hukum acara pidana.
Lebih dari sekadar proses hukum, FP-USU menilai langkah ini krusial untuk menjaga kepercayaan publik. Transparansi dan akuntabilitas menjadi tuntutan yang tak bisa ditawar. Jika aparat hukum lembek menghadapi elite akademisi, maka pesan antikorupsi yang selama ini digaungkan akan kehilangan makna.
Krisis yang melanda USU bukan sekadar persoalan internal kampus. Ini adalah cermin dari bagaimana integritas institusi publik diuji. Korupsi pendidikan bukan hanya merugikan negara secara finansial, tetapi juga merusak generasi muda yang mestinya dididik dengan nilai-nilai kejujuran dan tanggung jawab.
FP-USU dalam suratnya juga menegaskan, laporan ini bukan fitnah. Semua tuduhan didasarkan pada audit resmi BPK, pemberitaan sahih, serta temuan fakta hukum yang dapat diuji. Sebagai alumni dan bagian dari masyarakat sipil, mereka menggunakan hak konstitusional untuk mengawasi dan mengoreksi kebijakan publik.
Tembusan surat ini juga dikirimkan ke Kementerian Pendidikan, Sains, dan Teknologi, Kejaksaan Agung, Gubernur Sumut, hingga pengurus pusat Ikatan Alumni USU. Tujuannya jelas: membangun jejaring pengawasan agar kasus ini tidak tenggelam di tengah hiruk-pikuk politik dan kekuasaan.
Pada akhirnya, FP-USU menutup pernyataannya dengan sebuah pesan keras: hukum tidak boleh tunduk pada kekuasaan. Pemanggilan paksa terhadap Muryanto Amin bukan hanya kewajiban prosedural, melainkan juga ujian moralitas bangsa dalam menegakkan keadilan di sektor pendidikan tinggi. (Ril/red).
Posting Komentar
0Komentar