Di republik ini, wacana tentang siapa pemilik sejati tanah bukan sekadar urusan teknis agraria. Ia menyentuh inti falsafah bernegara.
Menteri Nusron—dan banyak yang sepertinya masih keliru—mengira bahwa negara adalah pemilik tanah di Indonesia. Padahal, jika menelusuri akar hukum dan filosofi agraria, pandangan itu salah kaprah.
Negara kita bukan kerajaan seperti di Eropa abad pertengahan, di mana raja mengklaim tanah sebagai milik pribadi atas nama "wakil Tuhan di bumi".
Kita juga bukan negara komunis, yang meniadakan kepemilikan pribadi (privat) dan menempatkan seluruh tanah sebagai milik negara semata.
Sistem hukum agraria Indonesia lahir dari hakikat bahwa tanah adalah anugerah Tuhan kepada umat manusia, bukan monopoli penguasa. Begawan hukum agraria Prof. Dr. AP Parlindingang, SH. dalam Buku Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960 secara tegas menyatakan: "Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat". Kata kuncinya: "dikuasai", bukan "dimiliki". Sebuah perbedaan fundamental yang sering diabaikan.
Teori kepemilikan dalam hukum membedakan antara ownership (hak milik penuh) dan sovereignty (hak menguasai). Negara kita menganut konsep kedua. Artinya, negara hanyalah pengelola dan penjaga, bukan pemilik absolut tanah.
Dalam sistem kerajaan, raja memang menjadi pemilik tertinggi tanah karena dianggap perpanjangan tangan Tuhan.
Di Inggris, konsep Royal Grant memberi legitimasi raja untuk memberikan tanah kepada rakyatnya sebagai bentuk anugerah. Selanjutnya di Belanda, sistem domein verklaring menyatakan bahwa semua tanah yang tidak terbukti di miliki individu otomatis menjadi milik negara.
Indonesia merdeka yang memilih republik jelas menolak dua model itu. Kita tidak menempatkan raja sebagai wakil Tuhan, dan tidak mengadopsi doktrin domein yang menafikan hak rakyat.
Filsafat hukum agraria kita mengacu pada Pancasila dan UUD 1945, yang memandang tanah sebagai milik kolektif bangsa, diberikan Tuhan kepada rakyat, bukan penguasa. Maka, yang disebut pemilik sejati tanah adalah rakyat—sebagai satu kesatuan, bukan individu penguasa.
Selanjutnya menurut Prof, Dr. Mr. Mahadi dalam tulisannya “Uraian Singkat Tentang Hukum Adat Sejak RR Tahun 1854”, hak ulayat memiliki manifestasi sebagai bagian dari sistem hukum adat yang sangat kuat: Tanah ulayat bukan sekadar lahan biasa, melainkan harta komunal yang dimiliki bersama oleh komunitas adat. Menjadi sangat jelas perspektif hak ulayat, tanah adalah milik komunitas adat. Negara hanya memberi pengakuan, bukan mengambil alih.
Konsep ini sejalan dengan teori trust dalam hukum Anglo-Saxon, di mana penguasa bertindak sebagai wali yang mengelola aset bagi kepentingan rakyat.
Di sini, negara hanyalah "trustee", rakyat adalah "beneficiaries", dan Tuhan adalah pemilik hakiki. Itulah mengapa istilah "milik negara" pada tanah seringkali menyesatkan, sebab secara filosofis negara tak pernah memiliki, melainkan menguasai untuk rakyat.
Jika negara adalah pemilik, maka rakyat hanya penyewa di tanah kelahirannya sendiri—konsep yang jelas bertentangan konsep republik dengan keadilan sosial.
Kepemilikan rakyat bersifat communal dan hakiki, sementara penguasaan negara bersifat delegatif dan instrumental.
Kedaulatan atas sumber agraria khususnya tanah ada pada rakyat; negara hanyalah pelaksana mandat kedaulatan rakyat itu. Prinsip ini juga ditegaskan oleh Mahkamah Konstitusi, yang berulang kali menegur pemerintah agar tidak mengubah penguasaan menjadi kepemilikan.
Sayangnya, dalam praktik, banyak kebijakan yang bergeser ke arah state landlordism—negara bertindak seolah tuan tanah.
Fenomena ini tampak dalam penguasaan lahan oleh BUMN, izin konsesi besar-besaran kepada korporasi, dan penggusuran rakyat atas nama proyek strategis. Namun tragisnya ekploitasi sumberdaya agraria oleh koorporasi tersebut menghasilkan pemerahan rakyat melalui pajak yang tak karu-karuan, rakyat masih miskin dan berhutang.
Padahal, mandat konstitusi jelas: penguasaan negara harus untuk kemakmuran rakyat, bukan keuntungan segelintir pihak. Di banyak negara, konsep kepemilikan tanah memang dipengaruhi sistem politik. Pada monarki absolut, tanah milik raja. Di negara komunis, tanah milik negara. Sangat tegas pada negara demokratis, tanah adalah milik rakyat, dengan negara sebagai pengatur.
Indonesia memilih jalan ketiga ini—sebuah sintesis antara hak individu, hak komunal, dan peran negara.
Dengan demikian, setiap jengkal tanah di republik ini sesungguhnya adalah milik kita bersama, sebagai 'haqqul Adam'. Hak ini berasal dari Tuhan, sehingga tidak bisa dihapuskan oleh negara atau penguasa manapun. Negara hanya dapat mengatur cara penggunaannya, memastikan keberlanjutan, dan melindungi dari perampasan.
Jika negara melampaui mandat ini, ia telah mengkhianati kontrak sosial dengan rakyat.
Sejarah kolonial mengajarkan kita bahwa monopoli tanah oleh penguasa hanya melahirkan ketidakadilan.
Sistem tanam paksa dan konsesi perkebunan adalah contoh nyata bagaimana negara bisa menjadi alat penindas jika bertindak sebagai pemilik.
Reforma agraria yang dijanjikan pasca kemerdekaan bertujuan memutus rantai feodalisme dan kolonialisme tanah. Namun, implementasi sering tersandung karena mindset pejabat yang masih melihat negara sebagai tuan tanah.
Perlu keberanian politik untuk mengembalikan tanah kepada rakyat sebagai pemilik hakiki.
Keberanian itu harus disertai reformasi hukum dan kesadaran publik akan hak kolektifnya atas tanah.Tanpa itu, rakyat akan terus tercerabut dari ruang hidupnya sendiri, sementara negara bersembunyi di balik jargon "demi pembangunan".
Kita harus kembali ke falsafah awal: tanah adalah amanah Tuhan untuk seluruh umat manusia di negeri ini, bukan hak istimewa penguasa.
Maka, di Indonesia, pemilik tanah bukanlah raja, bukan pula negara, tetapi rakyat—dengan Tuhan sebagai pemilik mutlak, dan negara hanyalah pengelola amanah.
Mari kita kembali pada adagium UUPA No.5 Tahun 1960, yakni 'Tanah Untuk Rakyat'. hal ini mempertegas rakyat pemilik tanah dan negera hanya mempunyai hak menguasai.
Demikian.
Penulis Advokat. M.Taufik Umar Dani Harahap,SH.
Praktisi Hukum, Mantan Tenaga Ahli Komisi II DPR RI, Aktivis Musyawarah Rakyat Banyak, Anggota Badan Perkumpulan KontraS Sumut dan Wakil Sekretaris Bidang Hukum Dan HAM MW KAHMI Sumut.
Posting Komentar
0Komentar