Pemilihan rektor bukan sekadar ritual pergantian pucuk pimpinan universitas. Ia adalah momentum strategis yang akan menentukan arah intelektual, moral, dan manajerial Universitas Sumatera Utara (USU) lima tahun ke depan. Rektor bukan hanya administrator, tetapi juga simbol otoritas moral dan ilmiah.
Pada Jumat, 8 Agustus 2025, Majelis Wali Amanat (MWA) USU menerima usulan nama calon rektor dari Senat Akademik (SA), Dewan Guru Besar (DGB), dan Rektorat. Tahap ini bukan sekadar formalitas administratif, tetapi pintu masuk yang akan menentukan kualitas kepemimpinan USU.
Sejarah menunjukkan, kegagalan memilih rektor yang bermoral dan berintegritas dapat membawa universitas ke jurang kompromi etik. Skandal akademik, penyalahgunaan dana, atau penurunan reputasi ilmiah sering kali berakar dari lemahnya seleksi pimpinan.
Oleh karena itu, setiap nama yang diajukan wajib menjalani uji publik oleh alumni USU dan masyarakat Sumatera Utara. Uji publik ini harus menyentuh tiga pilar fundamental: integritas, akuntabilitas, dan kapasitas akademik.
Integritas berarti bebas dari cacat moral dan pelanggaran etika. Tidak boleh ada rekam jejak plagiat, manipulasi riset, atau praktik jual beli jabatan. Dunia akademik berdiri di atas kejujuran intelektual; tanpa itu, gelar profesor atau doktor hanyalah ornamen kosong.
Akuntabilitas menuntut transparansi pengelolaan sumber daya universitas, termasuk dana pendidikan, hibah penelitian, dan aset kampus. Rektor bukan pemilik universitas, melainkan pengelola yang bertanggung jawab kepada publik akademik dan masyarakat luas.
Kapasitas akademik adalah kemampuan membangun ekosistem keilmuan yang sehat: mendorong riset berkualitas, publikasi bereputasi internasional, kolaborasi global, dan kurikulum yang relevan dengan tantangan zaman.
Sayangnya, dalam praktiknya, pemilihan rektor di banyak perguruan tinggi negeri sering kali dibayangi aroma politik praktis. Tarik-menarik kepentingan di MWA, intervensi pihak eksternal, dan praktik lobi yang transaksional kerap mencemari proses.
Universitas bukanlah partai politik. Prinsip meritokrasi seharusnya menjadi satu-satunya kompas. Namun, ketika suara MWA dapat dibeli, ketika akademisi tergoda jabatan struktural, maka universitas kehilangan marwahnya sebagai benteng moral bangsa.
USU sebagai universitas besar di Sumatera Utara memiliki tanggung jawab historis. Lembaga ini bukan hanya mencetak sarjana, tetapi juga memproduksi pemikiran strategis untuk pembangunan daerah dan nasional.
Karena itu, penjaringan rektor bukan urusan internal belaka. Ia menyangkut kepentingan publik. Alumni USU yang tersebar di berbagai sektor harus terlibat aktif mengawal proses ini, memastikan calon yang terpilih adalah figur yang bersih dan visioner.
Uji publik yang diusulkan alumni bukan sekadar forum seremonial. Ia harus berbasis data, membuka rekam jejak akademik, laporan kekayaan, catatan etika, dan evaluasi kinerja bagi calon yang pernah menduduki jabatan publik atau struktural di kampus.
Masyarakat Sumatera Utara pun berhak memberikan masukan. Karena USU berdiri di tengah masyarakat dan menggunakan dana negara, setiap warga memiliki hak untuk memastikan kampus ini tidak dipimpin oleh figur yang cacat moral.
Kita tidak bisa menutup mata terhadap fenomena plagiarisme yang masih terjadi di perguruan tinggi. Beberapa calon rektor di universitas lain bahkan pernah tersandung skandal akademik, tetapi tetap lolos karena kuatnya jaringan politik.
Inilah yang tidak boleh terjadi di USU. Plagiator tidak layak memimpin universitas. Ia merusak fondasi keilmuan dan memberi teladan buruk bagi mahasiswa. Tidak ada kompromi untuk pelanggaran akademik.
Kita juga harus kritis terhadap calon yang menjanjikan “bagi-bagi jabatan” atau menggadaikan kebijakan akademik demi dukungan suara. Model kepemimpinan seperti ini hanya melahirkan birokrasi feodal, bukan universitas yang progresif.
Rektor USU ke depan harus punya keberanian menghadapi intervensi politik dan kepentingan bisnis yang merugikan kebebasan akademik. Ia harus berani berkata “tidak” ketika universitas dipaksa tunduk pada agenda yang tidak ilmiah.
Lebih dari itu, rektor harus menjadi motor inovasi. USU memiliki potensi riset di bidang pertanian, kesehatan, teknologi, dan sosial-budaya yang dapat menjadi motor pembangunan Sumatera Utara. Potensi ini tidak akan berkembang tanpa pemimpin yang punya visi global.
Transparansi proses pemilihan harus menjadi komitmen bersama. Setiap tahapan, mulai dari penjaringan, seleksi, hingga pemilihan akhir, harus dibuka ke publik. Tidak boleh ada ruang gelap di balik tirai rapat MWA.
Kita perlu mengadopsi prinsip good governance dalam pemilihan rektor: keterbukaan informasi, partisipasi publik, akuntabilitas, efektivitas, dan keadilan. Prinsip-prinsip ini bukan jargon, melainkan syarat mutlak agar USU tetap kredibel.
Bila uji publik menemukan fakta yang mencederai integritas calon, MWA wajib mencoret nama tersebut tanpa kompromi. Diam berarti membiarkan universitas dipimpin oleh figur yang meruntuhkan martabat akademik.
Penjaringan rektor harus menjadi ajang kompetisi intelektual yang sehat. Calon rektor harus beradu gagasan, bukan adu kekuatan modal. Mereka harus memaparkan program nyata untuk mengangkat peringkat USU di tingkat nasional dan internasional.
Debat visi-misi seharusnya menjadi sorotan utama media dan publik. Dari sana akan terlihat siapa yang benar-benar memahami masalah USU, siapa yang hanya datang dengan janji kosong.
USU membutuhkan rektor yang mampu menyatukan civitas akademika, bukan memecah belah. Pemimpin yang cerdas secara intelektual, matang secara emosional, dan kuat secara moral adalah kebutuhan mendesak.
Krisis kepemimpinan akademik adalah salah satu faktor kemunduran perguruan tinggi di Indonesia. -dan USU telah menjadi bagian dari statistik buruk itu.
Pemilihan rektor kali ini harus menjadi momentum pembaruan, bukan sekadar pergantian figur. Kita membutuhkan kepemimpinan yang mampu mengembalikan universitas ke jalur idealnya sebagai rumah ilmu dan akhlak.
Alumni dan masyarakat harus terus mengawal hingga keputusan akhir. Setelah terpilih pun, rektor baru harus terus dievaluasi kinerjanya agar tidak terjebak pada zona nyaman kekuasaan.
Jika USU mampu memilih rektor melalui kompetisi intelektual yang bermoral, maka universitas ini akan menjadi teladan nasional. Tetapi jika gagal, maka kita sedang menggadaikan masa depan generasi intelektual Sumatera Utara di meja politik.
Demikian.
Penulis Adv. M.Taufik Umar Dani Harahap,SH. Praktisi Hukum, Alumni FH USU Stambuk' 92, Ketua Kelas Grup A, Ketua Forum Penyelamat USU
Posting Komentar
0Komentar