Obstruction of Justice: Ujian Nyali Penegak Hukum Menghadapi ‘Termury’

Media Barak Time.com
By -
0

 



Selayang Pandang 


Menjelang pemilihan Rektor USU, publik kembali disuguhi drama yang jauh dari semangat akademik. Munculnya kelompok Termury—loyalis yang diduga bergerak demi melanggengkan pengaruh petahana—menjadi simbol bahwa kontestasi di kampus bukan lagi sekadar soal visi akademik, melainkan soal perebutan kuasa. Pertanyaannya, apakah universitas akan tunduk pada logika ternak politik yang hanya tahu komando, atau tetap setia pada tradisi intelektual yang menempatkan kebenaran dan etika sebagai kompas?


Lebih mengkhawatirkan lagi, Termury tampak berupaya menegasikan kenyataan objektif: pusaran korupsi jalan yang menjerat lingkaran rektor USU. Alih-alih mengakui krisis moral yang tengah mencoreng wajah universitas, mereka memilih mengemas narasi dukungan seolah tanpa cacat. Inilah titik rawan terjadinya obstruction of justice: pengaburan fakta demi kepentingan segelintir orang, sekaligus penundukan akal sehat dalam ruang yang mestinya menjadi benteng terakhir integritas bangsa.


Obstruction of Justice: Perspektif Hukum Pidana


Dalam kerangka hukum pidana, obstruction of justice bukanlah konsep sempit yang hanya berlaku di ruang sidang atau proses peradilan. Ia mencakup setiap tindakan yang merusak mekanisme pencarian kebenaran, baik dengan cara menghalangi, menghambat, maupun memanipulasi jalannya institusi. Prof. Andi Hamzah menegaskan, inti dari obstruction adalah perusakan integritas sistem: ketika sebuah mekanisme yang mestinya berjalan objektif dan transparan justru dipelintir demi kepentingan tertentu. Dengan kata lain, hukum tidak sekadar bicara tentang perbuatan melawan aturan, melainkan juga tentang serangan sistematis terhadap moralitas institusional.


Jika kacamata ini dipakai untuk membaca pemilihan rektor USU, maka praktik yang mengarah pada obstruction bukan mustahil terjadi. Rekayasa suara, tekanan halus maupun kasar kepada anggota senat, hingga manipulasi opini publik lewat jaringan loyalis adalah bentuk nyata penghalangan proses demokrasi akademik yang bersih. Apa yang semestinya menjadi pesta gagasan berubah menjadi arena transaksional yang kotor. Pada titik ini, universitas tidak lagi berfungsi sebagai benteng moral, tetapi tergelincir menjadi instrumen kekuasaan.


Bahaya terbesar dari praktik obstruction di ruang akademik adalah kerusakan jangka panjang yang ditimbulkannya. Ia tidak hanya menghasilkan pemimpin kampus yang lahir dari kompromi politik, tetapi juga menanamkan preseden buruk: bahwa mekanisme internal universitas boleh dipermainkan sesuka hati oleh kekuatan dominan. Kerusakan reputasi akademik inilah yang lebih mahal biayanya dibanding sekadar konflik elektoral sesaat, sebab ia menghantam kepercayaan publik terhadap universitas sebagai penjaga akal sehat bangsa.


Oleh karena itu, fenomena Termury harus dibaca dengan kacamata hukum sekaligus moral. Jika benar kelompok ini menjadi alat pengaburan fakta korupsi sekaligus mesin penggiring suara, maka jelas kampus telah terseret ke dalam pusaran obstruction of justice. Pertanyaannya, beranikah penegak hukum dan komunitas akademik memutus rantai ini? Ataukah mereka memilih diam, membiarkan ruang intelektual dipasung oleh praktik power abuse yang mengkhianati hakikat universitas itu sendiri?


‘Termury’ dan Pola Kooptasi Kekuasaan


Kemunculan kelompok Termury dapat dibaca sebagai bentuk kooptasi, di mana individu atau kelompok digiring menjadi “ternak politik” yang hanya bergerak mengikuti arahan satu figur. Pola ini mengingatkan pada teori patron-client yang sering terjadi dalam politik elektoral Indonesia: ada patron yang memberi fasilitas, proteksi, atau janji jabatan, lalu ada klien yang memberikan dukungan politik tanpa kritis.


Ketika pola patronase ini masuk ke dalam universitas, maka kampus kehilangan independensi moralnya. Alih-alih menjadi benteng nalar, universitas direduksi menjadi arena transaksi. Di titik inilah kita patut bertanya: apakah fenomena Termury hanyalah ekspresi politik kampus biasa, atau sudah masuk ke ranah obstruction of justice—sebab ia berpotensi menghalangi proses demokrasi internal yang bersih dan transparan?


Ujian Nyali Penegak Hukum


Jika indikasi obstruction of justice dalam pusaran pemilihan rektor USU terbukti, maka penegakan hukum seharusnya tidak mengenal kompromi. Aparat tidak hanya berkewajiban secara formal untuk bertindak, tetapi juga secara moral untuk menjaga agar universitas tidak terperosok menjadi alat kekuasaan. Persoalannya, beranikah mereka menembus jejaring kepentingan yang mengitari USU—sebuah universitas negeri besar dengan koneksi politik yang bisa menjangkau hingga ke pusat kekuasaan nasional? Membongkar praktik manipulatif di sana berarti berhadapan dengan oligarki yang tidak segan-segan mempertahankan status quo.


Situasi ini menguji apakah hukum benar-benar berlaku universal atau sekadar jargon yang mudah diabaikan. Teori selective enforcement yang kerap dikritik para kriminolog menjadi relevan di sini: hukum tajam ke bawah, tetapi tumpul ke atas. Jika aparat membiarkan fenomena Termury dan indikasi perintangan hukum dibiarkan berlarut, publik hanya akan semakin yakin bahwa hukum hanyalah alat politik, bukan instrumen keadilan. Di titik ini, kredibilitas lembaga penegak hukum sendiri dipertaruhkan.


Lebih jauh, mangkirnya Rektor USU dari panggilan KPK dalam kasus korupsi pembangunan jalan di Sumatera Utara adalah sinyal yang tidak bisa dianggap remeh. Itu bukan sekadar ketidakhadiran administratif, melainkan bentuk nyata tidak menghormati supremasi hukum. Ketika seorang pemimpin akademik yang seharusnya menjadi teladan justru menunjukkan pembangkangan terhadap kewajiban hukum, maka pesan yang dikirimkan ke publik adalah: hukum bisa dinegosiasikan, kewajiban bisa ditunda, dan keadilan bisa ditawar.


Inilah saatnya aparat penegak hukum menunjukkan nyali. Bukan dengan retorika, tetapi dengan tindakan nyata. Jika tidak, maka kampus hanya akan menjadi panggung sandiwara, tempat para buzzer politik berkeliaran dengan bebas, sementara korupsi dan manipulasi kian mengakar. Pada akhirnya, pertanyaan yang tersisa sederhana tapi menentukan: beranikah hukum berdiri tegak di hadapan kekuasaan, atau justru kembali tunduk pada logika status quo yang selama ini membelenggu negeri ini?


Kampus Sebagai Benteng Etika


Universitas selalu dipandang sebagai benteng terakhir etika bangsa, tempat nalar kritis dan moralitas akademik dijunjung lebih tinggi daripada kalkulasi kekuasaan. Karena itu, pemilihan rektor seharusnya tidak sekadar prosedur administratif, melainkan momen afirmasi integritas. Senat universitas bukan hanya memilih seorang pemimpin, tetapi sedang meneguhkan apakah USU ingin berdiri sebagai mercusuar ilmu pengetahuan, atau justru terjerembab dalam praktik politik murahan yang merusak martabat akademik.


Bahaya muncul ketika fenomena seperti Termury dibiarkan tumbuh tanpa koreksi. Kelompok loyalis yang digerakkan demi melanggengkan kekuasaan petahana hanya akan menutup mata terhadap fakta objektif, termasuk pusaran kasus hukum yang menjerat lingkaran pimpinan universitas dalam skandal korupsi jalan di Sumatera Utara. Jika logika loyalitas buta mengalahkan nurani, maka kampus perlahan berubah menjadi laboratorium oligarki, bukan lagi ruang kebebasan akademik.


Preseden buruk ini akan menghantui setiap pemilihan rektor di masa mendatang. Kontestasi akan direduksi menjadi pertarungan kelompok, bukan perdebatan moral, ide, dan gagasan. Pada akhirnya, universitas kehilangan jati dirinya sebagai penjaga rasionalitas publik. Inilah alarm keras bagi komunitas akademik USU: berani menjaga benteng etika, atau membiarkan kampus terjual murah di pasar kekuasaan yang penuh intrik.


Penutup


Fenomena Termury bukan sekadar manuver politik internal kampus, melainkan gejala lebih serius: normalisasi praktik penghalangan keadilan dalam ruang akademik. Ketika loyalitas buta dijadikan instrumen untuk meredam kritik dan menutupi kasus korupsi yang menjerat petinggi universitas, maka yang dipertaruhkan bukan hanya demokrasi internal USU, tetapi juga legitimasi moral perguruan tinggi sebagai benteng pengetahuan. Inilah wajah obstruction of justice dalam wujud paling telanjang—bukan di ruang sidang pengadilan, melainkan di ruang kelas dan senat akademik.


Pertanyaannya kini sederhana namun menentukan: apakah penegak hukum dan komunitas akademik berani menolak kooptasi tersebut, atau justru memilih kompromi dengan status quo? Jika keberanian itu tidak hadir, maka universitas akan terperosok menjadi kandang buzzer politik, di mana integritas akademik dijual murah demi melanggengkan kekuasaan. Pada titik itu, publik akan kehilangan satu-satunya alasan untuk percaya bahwa kampus masih pantas disebut pusat peradaban dan penjaga moral bangsa.


Demikian.


Pernyataan Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH, adalah Praktisi Hukum, Alumni Fakultas Hukum USU Stambuk' 92 Dan Ketua  Forum Penyelamat USU.

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)