Selayang Pandang
Karl Marx (1818–1883) adalah nama yang kerap menimbulkan perdebatan panjang dalam filsafat, ekonomi politik, dan teori sosial. Kritiknya terhadap kapitalisme berakar dari pengamatan langsung atas Revolusi Industri di Eropa. Di sana, Marx melihat bagaimana pekerja dipaksa menjual tenaga demi melipatgandakan keuntungan kaum pemilik modal. Namun, pemikiran Marx ternyata tidak berhenti pada pabrik tekstil Manchester abad ke-19. Ia masih hidup dalam denyut kapitalisme baru: era digital.
Kini yang dieksploitasi bukan lagi otot buruh, melainkan data, perhatian, dan waktu hidup manusia. Mesin uap dan pabrik baja berganti menjadi server, algoritma, dan kecerdasan buatan. Perusahaan raksasa seperti Google, Meta, dan Amazon menjadi borjuis baru yang menguasai sarana produksi digital. Marx mungkin akan berkata: “Data bukan milik Google, itu milik manusia. Algoritma bukan alat untuk laba segelintir orang, melainkan harus dipakai untuk kepentingan bersama.”
Alienasi Baru: Dari Buruh Pabrik ke Buruh Digital
Marx pernah menyebut alienasi sebagai keterasingan manusia dari hasil kerjanya, proses kerjanya, bahkan dari dirinya sendiri. Pada abad ke-19, gambaran itu begitu nyata di pabrik-pabrik yang penuh asap: buruh menjual tenaga, sementara nilai lebih disedot pemilik modal. Namun hari ini, alienasi itu tidak hilang. Ia berubah bentuk, menjadi lebih halus, dan merasuk lewat layar yang kita genggam setiap saat.
Di era kapitalisme digital, manusia tak hanya memproduksi barang, melainkan juga memproduksi data. Setiap klik, pencarian, unggahan, hingga komentar di media sosial adalah “kerja terselubung” yang tanpa sadar kita berikan secara cuma-cuma. Dari jejak digital itu, perusahaan teknologi raksasa mengolah, memonetisasi, dan meraup keuntungan miliaran dolar. Kita tidak lagi sekadar pengguna atau konsumen, melainkan juga sekaligus komoditas.
Alienasi kini tidak datang dalam bentuk mesin pabrik yang berisik, tetapi dalam bentuk notifikasi yang terus berdenting. Kita menakar nilai diri melalui jumlah likes, views, dan followers. Identitas digital menjadi etalase, sementara jati diri perlahan direduksi menjadi angka-angka keterjangkauan algoritma. Dalam proses itu, manusia kian terasing dari esensi dirinya: relasi sosial diperdagangkan, atensi dijadikan barang dagangan.
Kapitalisme digital dengan cerdik menciptakan ilusi kebebasan. Kita merasa bebas bersuara, bebas berbagi, bebas berekspresi. Namun di balik layar, kebebasan itu dikurasi, diarahkan, dan dieksploitasi oleh algoritma. Atensi menjadi mata uang baru, dan kita yang sibuk “bermain” di media sosial sejatinya tengah bekerja tanpa upah untuk mesin kapitalisme global. Penindasan ini lebih licin, lebih canggih, karena hadir dalam bentuk kesenangan dan candu.
Inilah wajah alienasi baru: keterasingan yang tak kasatmata, namun begitu nyata. Buruh digital tidak lagi mengenakan seragam pabrik, melainkan menggenggam gawai. Bedanya, hasil kerja bukan lagi produk barang, melainkan data dan perhatian. Kapitalisme, sekali lagi, membuktikan kelenturannya: selalu menemukan cara untuk mengekstraksi nilai dari kehidupan sehari-hari manusia, bahkan dari detik-detik personal yang paling intim.
Big Tech sebagai Borjuis Baru
Kapitalisme digital melahirkan borjuis jenis baru: para pemilik server, algoritma, dan data. Mereka bukan lagi tuan tanah yang menguasai lahan, atau industrialis yang mengendalikan mesin pabrik, melainkan elite teknologi global yang mengatur arus informasi dan interaksi manusia. Dari ruang rapat di Silicon Valley, keputusan segelintir orang menentukan apa yang kita lihat, produk apa yang kita beli, hingga opini politik apa yang mencuat di layar gawai. Kekuasaan itu begitu besar, nyaris tak terbendung.
Dengan algoritma, Big Technology (Big Tech) telah menciptakan lanskap sosial yang semu. Wacana publik tidak lagi terbentuk secara organik melalui percakapan dan debat di ruang nyata, melainkan diarahkan oleh logika pasar digital. Popularitas ditentukan bukan oleh kualitas gagasan, melainkan oleh sejauh mana konten mampu menjual atensi. Demokrasi yang mestinya menjadi ruang partisipasi rasional terguncang, karena percakapan politik tersandera algoritma yang tunduk pada kepentingan komersial.
Di titik ini, manusia kehilangan otonomi. Apa yang kita anggap sebagai pilihan bebas sejatinya hanyalah hasil kurasi algoritma yang mengarahkan perilaku konsumsi, preferensi politik, bahkan cara berpikir. Kita tidak lagi menjadi subjek yang merdeka, melainkan objek yang dipetakan, diprediksi, lalu dieksploitasi. Kebebasan individual tereduksi menjadi kebebasan semu, di mana yang mengendalikan bukan negara otoriter, melainkan korporasi raksasa.
Digital proletariat lahir dari kondisi ini: kelas pekerja baru yang dieksploitasi tanpa disadari. Mereka bukan buruh pabrik yang bekerja delapan jam sehari, melainkan pengguna internet yang tanpa henti menghasilkan data, klik, dan interaksi. Nilai lebih tidak lagi berasal dari keringat di pabrik, tetapi dari perhatian dan privasi yang dijadikan komoditas. Ironisnya, kerja digital ini sering dikemas sebagai hiburan dan kebebasan berekspresi, padahal sejatinya merupakan perbudakan gaya baru.
Maka, Big Tech adalah borjuis abad ke-21—penguasa baru yang mengekstraksi nilai bukan dari tanah atau mesin, melainkan dari algoritma dan data. Tantangan terbesar bagi masyarakat modern adalah menyadari bentuk penindasan ini dan merumuskan kembali mekanisme kontrol atas kekuasaan digital. Tanpa itu, demokrasi hanya akan menjadi panggung virtual yang dikendalikan segelintir elite global, sementara publik tetap terjebak dalam ilusi kebebasan yang telah diperdagangkan.
Agenda Marx di Era Digital
Jika Karl Marx hidup di abad ke-21, barangkali ia tidak lagi hanya menulis tentang mesin uap, buruh pabrik, atau kapitalis industri. Fokusnya akan bergeser ke layar gawai, ke algoritma yang mengendalikan arus informasi, dan ke data yang dikumpulkan tanpa henti. Kapitalisme, baginya, selalu menemukan medium baru untuk mengekstraksi nilai lebih. Dan hari ini, nilai itu bersumber dari perhatian, privasi, dan interaksi digital manusia.
Tawaran Marx di era digital bukanlah menolak teknologi, melainkan menolak monopoli atasnya. Demokratisasi teknologi menjadi agenda utama: bagaimana data, algoritma, dan platform yang membentuk kehidupan sehari-hari tidak hanya dikuasai segelintir korporasi global, melainkan diatur untuk kepentingan bersama. Sebab, seperti tanah di era feodal atau mesin di era industri, teknologi kini adalah basis baru kekuasaan ekonomi-politik.
Pertama, kepemilikan kolektif atas data harus ditegakkan. Data pribadi tidak boleh menjadi komoditas yang sepenuhnya dimiliki Big Tech. Sama seperti Marx menolak tuan tanah menguasai lahan produktif, ia tentu akan menolak dominasi korporasi atas data miliaran pengguna. Data harus dipandang sebagai milik individu sekaligus milik masyarakat, dengan mekanisme distribusi manfaat yang adil.
Kedua, kontrol publik terhadap algoritma menjadi tuntutan mutlak. Selama ini, algoritma dijaga ketat sebagai “rahasia dagang,” padahal ia menentukan berita apa yang kita baca, iklan apa yang kita lihat, bahkan opini politik apa yang membentuk persepsi kita. Transparansi algoritma bukan sekadar isu teknis, tetapi soal demokrasi. Tanpa pengawasan publik, algoritma hanyalah instrumen manipulasi massal yang bekerja untuk kepentingan pasar.
Ketiga, distribusi nilai lebih digital harus diwujudkan. Jika di abad ke-19 nilai lebih lahir dari kerja buruh pabrik, maka di abad ke-21 ia lahir dari data dan interaksi digital. Masyarakat yang menyumbang data berhak atas kompensasi, bukan hanya menjadi “buruh gratis” yang dimanfaatkan korporasi teknologi. Kecerdasan buatan seharusnya membebaskan manusia dari beban kerja berlebih, bukan sekadar memperbesar akumulasi laba perusahaan.
Keempat, platform digital perlu diperlakukan sebagai commons—ruang publik bersama. Mesin pencari, media sosial, hingga server cloud adalah infrastruktur sosial yang menopang kehidupan modern. Menyerahkan seluruhnya pada logika laba adalah bentuk penyerahan kedaulatan publik. Dengan menjadikan platform sebagai digital commons, masyarakat dapat mengatur penggunaannya untuk kebutuhan kolektif, bukan semata kepentingan pemegang saham.
Kelima, kesadaran kelas digital harus ditumbuhkan. Tanpa kesadaran ini, manusia hanya akan menjadi buruh algoritma, sibuk memberi klik dan konten, tetapi tetap teralienasi dari hasil kerjanya. Kesadaran kelas digital berarti menyadari posisi kita dalam struktur kapitalisme baru, sekaligus menuntut perubahan struktural: dari kepemilikan data, distribusi keuntungan, hingga arah pengembangan teknologi. Dengan kesadaran ini, agenda Marx di era digital menemukan relevansinya—membebaskan manusia dari penindasan yang kini datang bukan dari pabrik berasap, melainkan dari layar yang selalu menyala.
Pertanyaan yang Belum Selesai
Pertanyaannya kini sederhana, tetapi sekaligus fundamental: apakah kita sadar? Apakah kita rela menjadi proletariat digital yang diperas oleh iklan, algoritma, dan data mining, tanpa pernah mempertanyakannya? Ataukah kita berani membayangkan teknologi sebagai sarana pembebasan, bukan penindasan? Kesadaran ini menjadi titik krusial, sebab tanpa keberanian mempertanyakan, manusia hanya akan pasrah pada nasib digital yang dikendalikan korporasi raksasa.
Marx memang telah wafat lebih dari seabad lalu, tetapi kritiknya tetap relevan dan menusuk. Selama alat produksi—entah mesin uap, jalur kereta, atau server raksasa—berada di tangan segelintir elite, kebebasan sejati hanyalah ilusi. Kapitalisme bisa bertransformasi rupa, dari pabrik ke platform, dari rel kereta ke jaringan internet. Namun wataknya tidak berubah: mengeksploitasi manusia demi akumulasi keuntungan.
Di era ini, bentuk eksploitasi menjadi lebih halus. Jika buruh abad ke-19 menjual tenaga, kini manusia menjual—bahkan tanpa sadar—perhatian, preferensi, hingga privasinya. Kita membiarkan hidup pribadi dikomodifikasi, sementara algoritma menyusun ulang cara kita berpikir, memilih, dan berinteraksi. Relasi sosial yang dulu lahir secara alami kini diperdagangkan dalam bentuk likes, views, dan engagement.
Inilah pertanyaan yang belum selesai: apakah kita akan terus membiarkan diri menjadi buruh gratis di pabrik algoritma, atau mulai menuntut kepemilikan kolektif atas teknologi? Sejarah memberi kita pelajaran bahwa kesadaran adalah awal dari perubahan. Dan tanpa kesadaran digital yang kritis, kebebasan manusia tetaplah bayangan semu yang terus dikurasi oleh logika pasar.
Epilog: Dari Mesin Kapitalis ke Instrumen Emansipasi
Marx akan mengingatkan kita: teknologi bukanlah masalah utama. Masalahnya adalah siapa yang menguasai teknologi itu. Data, algoritma, dan AI bisa menjadi mesin perbudakan, tetapi juga bisa menjadi instrumen emansipasi umat manusia.
Pilihan ada di tangan kita—tetap menjadi buruh gratis di pabrik algoritma, atau melahirkan kesadaran baru bahwa demokrasi digital adalah jalan menuju kebebasan sejati.
Demikian.
Penulis Advokat. M.Taufik Umar Dani Harahap,SH.
Praktisi Hukum, Aktivis Musyawarah Rakyat Banyak, Anggota Badan Perkumpulan KontraS Sumut dan Wakil Sekretaris Bidang Hukum Dan HAM MW KAHMI Sumut.
______________
Daftar Pustaka
150 Tahun Das Capital kebingungan Para Penafsirnya.https://mapcorner.wg.ugm.ac.id/2017/09/150-tahun-das-capital-kebingungan-para-penafsirnya/
Das Kapital 1,2. https://www.ngopibareng.id/read/das-kapital-1
Tuan Digital atau Raksasa Kapitalis? Kritik untuk Tekno- IndoPROGRESS
https://indoprogress.com › kritik-narasi-tekno-feodalisme
Big Tech Tantangan Saat Ini Yang Dihadapi Perjuangan Kelas, https://thetricontinental.org/dossier-46-big-tech/
Posting Komentar
0Komentar