Guru Bukan Beban: Pelajaran Dari Kaisar Hirohito Untuk Bangsa yang Ingin Bangkit

Media Barak Time.com
By -
0





Selayang Pandang 


Di balik reruntuhan Hiroshima dan Nagasaki, tatkala dunia menyaksikan Jepang sebagai bangsa kalah yang porak poranda, muncul satu pertanyaan yang kelak mengubah arah sejarah: “Berapa banyak guru yang masih tersisa?” Pertanyaan sederhana itu dilontarkan Kaisar Hirohito setelah menyerah tanpa syarat kepada Sekutu tahun 1945. Ia tidak menanyakan jumlah tentara, kapal perang, atau gudang senjata yang tersisa. Justru yang dicari adalah guru—pilar peradaban yang dianggap sebagai fondasi utama kebangkitan bangsa.


Pertanyaan Hirohito bukan sekadar simbolik. Dari sekitar 45.000 guru yang masih tersisa, lahir kembali sebuah bangsa yang tidak hanya bangkit, tetapi melesat menjadi kekuatan ekonomi dunia dalam tempo dua dekade. Jepang membalik ramalan para pengamat internasional yang kala itu memperkirakan negeri itu akan tertatih-tatih puluhan tahun untuk pulih.


Pendidikan, Bukan Militerisme


Kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II menyisakan kehancuran yang tak terbayangkan. Kota-kota rata dengan tanah, ekonomi lumpuh, dan rakyat hidup dalam trauma kolektif. Namun di tengah keputusasaan itu, Kaisar Hirohito memilih arah yang tak lazim: ia tidak memerintahkan pembangunan kembali angkatan bersenjata, melainkan mengajukan pertanyaan sederhana—berapa banyak guru yang masih tersisa? Dari sanalah jalan baru Jepang dimulai.


Hirohito memahami bahwa militerisme hanya melahirkan siklus kehancuran. Jalan keluar bagi bangsanya bukan terletak pada deru meriam, tetapi pada kecerdasan kolektif yang ditanamkan melalui pendidikan. Guru ditempatkan sebagai ujung tombak peradaban, penanam disiplin, etos kerja, dan moralitas, sekaligus penggerak transformasi bangsa. Mereka diberi mandat sejarah untuk melahirkan generasi baru Jepang yang menolak perang dan memilih pembangunan.


Sejarah kemudian mencatat, Jepang pasca perang membongkar sistem militeristiknya hingga ke akar. Energi kolektif bangsa diarahkan pada pembangunan manusia. Guru tak lagi dipandang sekadar pengajar di kelas, melainkan arsitek moral dan agen rekayasa sosial. Dari sekolah-sekolah sederhana lahirlah generasi yang memandang dunia bukan sebagai arena ekspansi militer, melainkan sebagai ladang kerja sama, riset, dan kompetisi intelektual.


Hasilnya nyata. Dalam waktu hanya dua dekade, Jepang bangkit dari reruntuhan menjadi kekuatan industri dunia. “Keajaiban ekonomi Jepang” lahir bukan dari senjata, melainkan dari papan tulis, buku pelajaran, dan dedikasi guru. Keputusan berani untuk menukar militerisme dengan pendidikan membuktikan bahwa sebuah bangsa bisa meraih kejayaan justru dengan meninggalkan logika perang.


Pelajaran ini relevan bagi Indonesia. Bangsa yang besar bukanlah bangsa yang menumpuk senjata, melainkan bangsa yang menempatkan guru pada derajat tertinggi dalam pembangunan. Jika Jepang bisa bangkit dari kehancuran total dengan berinvestasi pada pendidikan, tidak ada alasan bagi Indonesia yang kaya sumber daya dan berdaulat penuh untuk terus mengabaikan pilar utama peradaban: guru.


Bangkit dalam Dua Dekade


Hasilnya mencengangkan. Dalam kurun waktu hanya dua dekade, Jepang bertransformasi dari negeri yang luluh lantak menjadi kekuatan industri dunia. Apa yang sering disebut sebagai “keajaiban ekonomi Jepang” sesungguhnya bukan lahir dari keajaiban, melainkan dari keputusan politik yang berani: menempatkan pendidikan sebagai prioritas utama. Fondasi kebangkitan itu dimulai dari langkah sederhana namun visioner—menaruh hormat setinggi-tingginya kepada guru.


Sejarah menunjukkan, bangsa yang menghargai pendidiknya akan lebih cepat pulih dari trauma kolektif. Jepang tidak larut dalam ilusi kekuatan militer atau sibuk membangun infrastruktur monumental semata. Mereka justru memilih membangun manusianya terlebih dahulu. Guru diperlakukan bukan sebagai beban fiskal, melainkan sebagai investasi strategis jangka panjang yang melahirkan etos kerja, disiplin, serta inovasi teknologi.


Kontras dengan banyak negara lain yang gagal bangkit pascaperang atau krisis. Alih-alih memperkuat pendidikan, mereka lebih sibuk memoles citra melalui monumen, memperbesar anggaran militer, atau mengandalkan pembangunan fisik. Namun tanpa guru yang tercerahkan, semua itu hanya menjadi beton kosong. Pembangunan yang tak berakar pada pendidikan akan rapuh, sementara kekuatan militer semata hanya akan memperpanjang siklus kehancuran.


Keputusan Jepang mendahulukan pembangunan manusia adalah pembalikan paradigma besar. Mereka sadar, bangsa yang ingin berdiri di panggung global harus lebih dulu memiliki rakyat yang terdidik dan berkarakter. Dari sekolah-sekolah sederhana lahirlah generasi insinyur, ilmuwan, hingga pemimpin yang mengangkat Jepang sebagai raksasa ekonomi. Bukan meriam, melainkan papan tulis yang menjadi senjata utama.


Pelajaran ini seharusnya menjadi cermin bagi Indonesia. Kita masih sering terjebak dalam politik pencitraan dan proyek mercusuar, sementara kesejahteraan guru tak kunjung menjadi prioritas. Jika sungguh-sungguh ingin mengejar visi Indonesia Emas 2045, maka komitmen pada 20 persen anggaran pendidikan harus benar-benar diarahkan untuk menyejahterakan guru. Jepang telah membuktikan, kemajuan sejati lahir dari ruang kelas yang membentuk karakter bangsa—bukan dari monumen, bukan dari meriam, melainkan dari tangan guru yang menggerakkan masa depan.


Pelajaran Untuk Indonesia


Kisah Hirohito mengandung pesan tajam bagi bangsa ini. Sudah terlalu lama guru di Indonesia dipandang sebagai beban anggaran, bukan sebagai investasi peradaban. Guru lebih sering dijadikan bahan retorika politik ketimbang diposisikan sebagai mitra sejajar dalam pembangunan bangsa. Ironis, di tengah jargon “bonus demografi”, nasib guru honorer masih berkutat pada ketidakpastian.


Padahal, sejarah membuktikan: bangsa yang besar adalah bangsa yang menaruh hormat pada pendidiknya. Jepang pasca perang telah memberi teladan. Guru mereka tidak diberi label administratif semata, melainkan diakui sebagai pahlawan bangsa. Itulah fondasi yang membuat Jepang mampu bangkit lebih cepat dari prediksi dunia.


Jika Indonesia sungguh-sungguh ingin mewujudkan cita-cita menjadi negara maju pada 2045, maka pertanyaan Hirohito layak digaungkan kembali: “Berapa banyak guru yang kita miliki—dan sudahkah mereka kita perlakukan sebagai pahlawan bangsa?”


Sejarah Jepang mengajarkan, jalan menuju kebangkitan bukanlah lewat proyek mercusuar, bukan pula lewat klaim pertumbuhan ekonomi semu. Jalan itu justru bermula dari ruang kelas, dari papan tulis sederhana, dari peluh seorang guru yang setia mendidik.


Guru bukan beban. Guru adalah cahaya. Dan sebuah bangsa hanya akan bersinar sejauh ia menempatkan guru pada derajat yang semestinya.


Penutup 


Pernyataan bahwa guru adalah “beban negara”, meski kemudian diklarifikasi sebagai hoaks, tetap menyisakan tamparan moral bagi bangsa ini. Bagaimana mungkin tenaga pendidik yang sejatinya penopang peradaban diposisikan sekadar sebagai angka dalam neraca keuangan? Di balik kontroversi itu, publik diingatkan bahwa penghormatan terhadap guru tidak boleh digadaikan oleh logika fiskal semata.


Sejarah Jepang pasca Perang Dunia II menunjukkan jalan lain. Kaisar Hirohito tidak menanyakan berapa tank atau pesawat tempur yang tersisa, melainkan berapa guru yang masih hidup. Dari ruang-ruang kelas yang sederhana, lahirlah generasi baru Jepang yang menolak militerisme dan memilih membangun bangsa lewat ilmu pengetahuan. Dalam dua dekade, negeri yang hancur lebur itu menjelma menjadi salah satu pusat kekuatan ekonomi dunia.


Indonesia mestinya bercermin dari sana. Guru bukanlah beban, melainkan investasi jangka panjang yang menentukan arah sejarah bangsa. Jika negeri ini ingin mewujudkan cita-cita menjadi negara maju pada 2045, maka keberanian untuk menempatkan guru di garda terhormat pembangunan adalah syarat mutlak. Sebab, tanpa guru yang berdaya, semua visi besar hanya akan runtuh di atas kertas.


Demikian.


Penulis Advokat. M.Taufik Umar Dani Harahap,SH.

Praktisi Hukum, Aktivis Musyawarah Rakyat Banyak, Anggota Badan Perkumpulan KontraS Sumut dan Wakil Sekretaris Bidang Hukum Dan HAM MW KAHMI Sumut.

_____________

Daftar Pustaka


Sugimoto, Yoshio. 2021. An Introduction to Japanese Society. Cambridge: Cambridge University Press.


Badan Pusat Statistik (BPS). 2023. Statistik Pendidikan Indonesia 2023. Jakarta: BPS.


Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. 2021. Rencana Strategis Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi 2020–2024. Jakarta: Kemendikbudristek.


Kementerian Keuangan Republik Indonesia. 2024. Nota Keuangan dan RAPBN 2025. Jakarta: Kementerian Keuangan.


Detik.com. 2025. “Video Sri Mulyani Sebut Guru Beban Negara Viral, Begini Kronologi Klarifikasi dari Kemenkeu.” Diakses 21 Agustus 2025. https://www.detik.com/edu/edutainment/d-8069372/video-sri-mulyani-sebut-guru-beban-negara-viral-begini-kronologi-klarifikasi-dari-kemenkeu.


Metrotvnews.com. 2025. “Klarifikasi Video Sri Mulyani Sebut Guru Beban Negara, Kemenkeu: Itu Hoaks.” Diakses 21 Agustus 2025. https://www.metrotvnews.com/read/kWDCnAPq-klarifikasi-video-sri-mulyani-sebut-guru-beban-negara-kemenkeu-itu-hoaks.

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)