"Dari HGU ke HGB: Jejak Gelap Alih Tanah Citraland yang Mengabaikan Rakyat"

Media Barak Time.com
By -
0

 



Selayang Pandang


Alih status tanah dari Hak Guna Usaha (HGU) menjadi Hak Guna Bangunan (HGB) kerap berlangsung senyap, jauh dari sorotan publik. Padahal, menurut Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960, tanah dengan status HGU seharusnya dimanfaatkan untuk kepentingan agraris: pertanian, perkebunan, atau industri berbasis lahan. Dalam praktiknya, tanah HGU justru tak jarang berubah fungsi menjadi kawasan hunian mewah atau pusat bisnis—seperti yang tampak pada megaproyek Citraland.


Di atas kertas, mekanismenya jelas. Pemegang HGU wajib melepaskan haknya terlebih dahulu, lalu mengajukan permohonan HGB kepada Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN). Proses ini mesti melewati tahap verifikasi, pengumuman terbuka minimal 14 hari, hingga akhirnya diterbitkan sertifikat HGB. Namun, yang sering terjadi, prosedur hukum yang seharusnya menjamin transparansi justru diabaikan, dan publik dibiarkan tidak tahu-menahu.


HGU, HGB, dan Kepentingan Publik


Perbedaan antara HGU dan HGB sederhana, tetapi sangat penting. HGU diberikan untuk pengelolaan tanah negara dalam rangka usaha agraris dengan jangka waktu maksimal 35 tahun. Sementara HGB berlaku maksimal 30 tahun dan digunakan untuk pembangunan hunian, perkantoran, atau industri non-agraris.


Dengan kata lain, perubahan HGU ke HGB bukan sekadar urusan administrasi, melainkan transformasi kepentingan: dari agraris untuk rakyat menjadi privat untuk segelintir pemodal.


Dalam konteks Citraland, pertanyaan publik pun tak terhindarkan. Apakah tanah yang semula diperuntukkan bagi produksi hasil bumi kini sah dialihfungsikan menjadi hunian elite? Apakah mekanisme pelepasan dan peralihan itu pernah diumumkan secara terbuka sebagaimana diamanatkan UUPA? Jika tidak, proses tersebut bukan hanya cacat hukum, tetapi juga cacat moral.


Negara, Kapital, dan Hilangnya Rakyat


Secara formal, Kementerian ATR/BPN berwenang mengatur penerbitan, perpanjangan, dan peralihan hak atas tanah. Kementerian Keuangan memegang aspek aset negara, sementara DPR melalui Komisi II memiliki fungsi legislasi dan pengawasan. Namun, dalam kenyataannya, alih fungsi tanah lebih sering menjadi arena kompromi politik dan bisnis.


UUPA 1960 menegaskan tanah dikuasai negara yang dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Ironisnya, dalam praktik alih HGU ke HGB, kemakmuran itu justru jatuh ke tangan segelintir korporasi. Rakyat tersisih, tanah menjelma komoditas kapital.


Pengumuman yang seharusnya memberi ruang masyarakat untuk mengajukan keberatan pun sering hanya menjadi formalitas: terpajang singkat di papan pengumuman kantor pertanahan tanpa akses luas ke publik. Akibatnya, warga yang terdampak pembangunan jarang berkesempatan menyampaikan haknya.


Celah Regulasi dan Politik Tanah


Sejumlah aturan sebenarnya telah mengikat peralihan hak tanah, mulai dari PP No. 40 Tahun 1996 tentang HGU, HGB, dan Hak Pakai, PP No. 18 Tahun 2021, hingga Permen ATR/BPN No. 7 Tahun 2017. Namun, lemahnya pengawasan dan potensi konflik kepentingan menjadikan regulasi tersebut longgar.


Kementerian Keuangan, dengan dasar UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, semestinya memastikan tanah sebagai aset negara memberi pemasukan yang adil. DPR pun melalui Pasal 20 UUD 1945 wajib mengawasi kebijakan pertanahan yang rawan diselewengkan. Tetapi kenyataan menunjukkan, regulasi sering takluk di hadapan kekuatan modal.


Kasus Citraland memperlihatkan bagaimana proyek properti raksasa dapat tumbuh di atas lahan eks-HGU, sementara masyarakat sekitar sekadar menjadi penonton.


Jalan Transparansi


Peralihan HGU ke HGB sejatinya bukan urusan teknis, melainkan menyangkut hak rakyat atas tanah. Transparansi adalah keharusan, bukan pilihan. Negara wajib memastikan setiap peralihan hak diumumkan secara luas melalui media cetak maupun elektronik. Dengan begitu, masyarakat memiliki ruang untuk mengajukan keberatan apabila hak mereka terancam.


Lebih jauh, politik pertanahan harus benar-benar berpihak pada rakyat. Tanah negara tidak boleh hanya menjadi sumber rente korporasi. Pemerintah, melalui ATR/BPN, Kementerian Keuangan, dan DPR, harus berani menegakkan prinsip UUPA 1960: tanah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.


Penutup


Citraland hanyalah satu contoh dari rapuhnya tata kelola pertanahan di negeri ini. Alih fungsi HGU ke HGB yang mestinya transparan justru menyisakan jejak gelap: pengabaian terhadap rakyat.


Jika praktik serupa terus dibiarkan, cita-cita keadilan agraria hanya akan menjadi jargon tanpa makna. Pertanyaannya kini sederhana, tetapi menentukan: apakah negara berpihak pada rakyat, atau tunduk pada modal?


Demikian.


Penulis Advokat. M.Taufik Umar Dani Harahap,SH.

Praktisi Hukum, Aktivis Musyawarah Rakyat Banyak, Anggota Badan Perkumpulan KontraS Sumut dan Wakil Sekretaris Bidang Hukum Dan HAM MW KAHMI Sumut.


_____________

Daftar Pustaka


Badan Pertanahan Nasional. Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN Nomor 7 Tahun 2017 tentang Tata Cara Peralihan Hak Guna Usaha. Jakarta: Kementerian ATR/BPN, 2017.


Indonesia. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104.


———. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47.


———. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 58.


———. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan dan Hak Atas Tanah. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 23.


———. Peraturan Pemerintah Nomor 104 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pendaftaran Tanah. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 270.


Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)