Selayang Pandang
Di ruang akademia, universitas semestinya menjadi benteng moral dan pusat pengembangan intelektual. Namun, Universitas Sumatera Utara (USU) kini justru terseret dalam pusaran gelap politik uang dan transaksi kekuasaan. Rencana digelarnya pemilihan rektor USU di Oktober Tahun 2025 yang diharapkan menjadi ruang meritokrasi berubah menjadi arena transaksional—dimana suara, jabatan, dan proyek dipertukarkan demi melanggengkan kekuasaan.
Kabar kian menguat setelah Rektor USU, Muryanto Amin, mangkir dari panggilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dugaan praktik korupsi di lingkungan Pemprovsu terkait OTT Topan Ginting Kadis PUPR kasus Jalan di Sumatera Utara (Tempo.co, 2025). Absennya pimpinan tertinggi universitas dari proses hukum menambah catatan kelam, sekaligus mempertegas dugaan bahwa tata kelola kampus telah terjerat kepentingan politik dan ekonomi. Dalam situasi demikian, universitas kehilangan marwahnya sebagai penjaga nurani bangsa, tergantikan oleh logika transaksional yang merusak sendi-sendi integritas akademik.
Krisis di USU ini tidak hanya soal kepemimpinan, tetapi juga menyangkut masa depan pendidikan tinggi di Indonesia. Politik uang di tubuh universitas berimplikasi langsung pada merosotnya mutu pendidikan, hilangnya kepercayaan sivitas akademika, dan stagnasi inovasi. Jika ruang akademia terus dikorbankan demi ambisi kekuasaan, maka universitas tidak lagi menjadi menara ilmu, melainkan sekadar perpanjangan tangan politik praktis yang kian menjauh dari cita-cita pendidikan nasional.
Politik Uang, Jabatan dan Proyek Kampus
Dugaan politik uang dalam pemilihan Rektor USU 2025 mencuat dengan aroma yang pekat. Nama Muryanto Amin disebut-sebut kembali berupaya mengamankan kursi kepemimpinan dengan menggunakan dana besar yang mengalir lewat proyek strategis kampus: pembangunan kolam retensi dan Plaza UMKM. Dua proyek ini, yang semestinya meningkatkan fasilitas universitas, justru diduga dimanfaatkan untuk “mengatur suara” di internal.
Kunci pengaruh terletak pada Majelis Wali Amanat (MWA). Di tangan lembaga inilah arah USU ditentukan. Namun, konsolidasi politik di tubuh MWA makin kentara setelah loyalis tokoh besar seperti Komjen Agus Andrianto menancapkan pengaruh. Di titik ini, dunia akademik USU tak lagi steril dari tarik-menarik kekuasaan politik nasional.
Pembersihan Kampus: Dari Sampah ke Suara
Isu kebersihan di Universitas Sumatera Utara (USU) awalnya muncul dari hal yang sederhana: tumpukan sampah dan fasilitas tak terurus. Namun, di balik sampah yang berserakan itu tersembunyi persoalan yang jauh lebih serius. “Pembersihan kampus” kini bukan lagi sekadar perkara estetika lingkungan, melainkan simbol tuntutan moral untuk menyapu praktik kotor berupa politik uang, pungutan liar, transaksi jabatan, hingga cawe-cawe dalam Pilpres dan Pilkada 2024. Kampus yang mestinya steril dari hiruk-pikuk politik praktis justru terjebak dalam kubangan transaksional.
Dampak dari politik uang dan praktik rente ini langsung menghantam jantung pendidikan. Anggaran yang semestinya dialokasikan untuk perbaikan fasilitas belajar, laboratorium, atau riset justru tersedot pada proyek dan kompromi politik. Kepemimpinan yang berutang budi pada modal politik pun menjadi rentan kompromi, menutup ruang transparansi, dan menghambat inovasi. Akibatnya, universitas yang seharusnya berlari cepat dalam kompetisi global justru terjebak dalam lumpur kepentingan internal.
Lebih jauh, moral akademik mengalami erosi. Mahasiswa kehilangan kepercayaan, dosen terjebak dalam apatisme, dan suasana akademik kian jauh dari semangat meritokrasi. Krisis ini tak hanya soal tata kelola, tetapi juga krisis kepercayaan yang menyentuh inti kehidupan kampus: keyakinan bahwa ilmu, bukan uang atau koneksi, yang seharusnya menjadi jalan untuk meraih prestasi. Dalam atmosfer seperti ini, idealisme generasi muda pun berisiko tereduksi menjadi sikap pragmatis yang justru mereplikasi budaya korup.
Jika kondisi ini dibiarkan, USU berpotensi kehilangan identitasnya sebagai universitas riset unggulan dan hanya akan dikenang sebagai arena transaksi kekuasaan. Universitas bukan lagi menara ilmu, melainkan sekadar panggung politik yang kotor. Pembersihan kampus dengan demikian tidak cukup hanya menyapu sampah di halaman, tetapi harus dimulai dengan membongkar praktik korupsi dan menata ulang tata kelola yang sehat. Tanpa itu, USU akan berjalan di jalur kemunduran, menjauh dari cita-cita pendidikan tinggi yang luhur.
Pungli Rekrutmen Mahasiswa Kedokteran
Krisis integritas di Universitas Sumatera Utara (USU) semakin dalam ketika dugaan telah terjadi praktik pungutan liar mencuat dalam proses penerimaan mahasiswa Fakultas Kedokteran. Audit Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi menemukan bahwa calon mahasiswa jalur mandiri dipaksa menyetor antara Rp5–15 juta sebagai “biaya tambahan” ilegal. Dana itu mengalir melalui jalur tak resmi, melibatkan panitia seleksi dan oknum pimpinan kampus. Temuan ini bahkan sudah dilaporkan ke KPK, dengan penyimpangan keuangan yang ditaksir mencapai puluhan miliar rupiah.
Namun, yang lebih menyakitkan adalah lemahnya tindak lanjut. Alih-alih penegakan hukum tegas, para pelaku hanya diganjar peringatan administratif. Pendekatan permisif ini tak hanya mengabaikan prinsip keadilan, tetapi juga mengirimkan pesan berbahaya: bahwa praktik curang bisa dinegosiasikan. Padahal, pungli dalam rekrutmen mahasiswa bukan sekadar pelanggaran prosedur, melainkan pembajakan masa depan generasi muda yang bercita-cita masuk melalui jalur prestasi.
Lebih ironis lagi, praktik pungli di USU sudah lama menjadi rahasia umum. Perbedaannya, di bawah kepemimpinan Rektor Muryanto Amin, praktik ini semakin terang benderang, seolah tak punya malu lagi. Dugaan keterlibatan struktur atas kampus dalam pembiaran, bahkan perlindungan, terhadap pungli memperlihatkan betapa dalamnya korupsi telah mengakar. Akibatnya, universitas yang semestinya mendidik tenaga medis berintegritas justru melanggengkan budaya korupsi sejak pintu masuk.
Konsekuensinya amat serius. Integritas seleksi hancur, mahasiswa yang lolos bukan lagi mereka yang berkompetensi terbaik, melainkan yang berduit lebih tebal. Hal ini berimplikasi pada kualitas pendidikan kedokteran, profesi yang menyangkut nyawa manusia. Bila budaya transaksional dibiarkan, publik harus menanggung risiko: dokter masa depan tidak dipilih karena kapasitas intelektual dan moral, melainkan karena kemampuan finansial membeli kursi kuliah.
Kisah ini menjadi cermin gelap pendidikan tinggi kita. Kampus yang seharusnya berdiri sebagai benteng meritokrasi justru menormalisasi jual beli kesempatan. Jika tidak ada reformasi serius dalam tata kelola penerimaan mahasiswa, USU berisiko kehilangan legitimasi moralnya di mata masyarakat. Lebih jauh, bangsa ini akan menuai generasi profesional yang cacat sejak awal: terdidik dalam sistem yang korup, dan terbiasa memandang uang sebagai jalan pintas menuju cita-cita.
KPK Masuk, USU Diawasi
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kini menempatkan Universitas Sumatera Utara (USU) dalam radar pengawasan ketat. Laporan lembaga antikorupsi itu mengungkap empat hal pokok: adanya pungutan liar dalam penerimaan mahasiswa baru, aliran dana ilegal yang melibatkan panitia seleksi dan pejabat kampus, praktik politik uang dalam pemilihan rektor, serta kebutuhan mendesak untuk membangun tata kelola kampus yang transparan dengan pengawasan eksternal. Temuan ini menegaskan bahwa problem USU bukan sebatas skandal individu, melainkan bagian dari korupsi struktural yang sudah mengakar.
KPK melihat kampus tidak boleh dipandang sebagai ruang steril dari praktik korupsi. Sebaliknya, universitas adalah ruang strategis yang rawan dipolitisasi, terutama ketika kursi pimpinan diperebutkan bukan dengan gagasan akademik, melainkan dengan transaksi politik dan uang. Situasi di USU menunjukkan bahwa tata kelola pendidikan tinggi berpotensi dimanfaatkan sebagai medium patronase kekuasaan, di mana suara dan jabatan ditukar dengan proyek dan aliran dana gelap.
Dalam waktu bersamaan, KPK juga memeriksa sejumlah tokoh, termasuk eks-Kajati Sumut, terkait kasus korupsi proyek jalan. Fakta bahwa penyidikan ini beririsan dengan kepentingan di kampus memperlihatkan jejaring yang lebih luas: universitas ternyata bukan entitas yang berdiri sendiri, melainkan bagian dari ekosistem politik, hukum, dan ekonomi yang saling mengunci. Dengan kata lain, krisis di USU adalah cermin kecil dari krisis tata kelola bangsa secara keseluruhan.
Masuknya KPK ke dalam jantung kampus seharusnya menjadi momentum koreksi. Reformasi tata kelola USU tidak cukup dengan slogan transparansi, melainkan menuntut perubahan mendasar: audit keuangan yang independen, seleksi pimpinan yang terbuka, serta mekanisme penerimaan mahasiswa yang bebas dari pungutan liar. Tanpa langkah radikal, pengawasan eksternal akan sekadar jadi formalitas tanpa daya.
USU kini berada di persimpangan jalan. Jika berani melakukan pembenahan, universitas ini bisa kembali pada jati dirinya sebagai pusat keilmuan dan riset unggulan. Namun bila terjebak dalam kompromi politik dan korupsi struktural, USU hanya akan dikenang sebagai kampus besar yang jatuh karena gagal menjaga integritasnya. Pada akhirnya, pertanyaan yang mengemuka bukan hanya soal masa depan USU, melainkan juga masa depan moral pendidikan tinggi di Indonesia.
Arena Politik Nasional
Pemilihan rektor Universitas Sumatera Utara (USU) yang semestinya menjadi ajang akademik kini mencemaskan karena ditarik ke pusaran politik nasional. Indikasi adanya keterkaitan antara kepemimpinan kampus dengan strategi Pilpres 2029 menimbulkan pertanyaan serius: apakah otonomi perguruan tinggi benar-benar masih ada, ataukah sudah menjadi alat bagi elite untuk menyiapkan panggung politik? Bila dugaan ini benar, maka universitas bukan lagi menara ilmu, melainkan ladang pertempuran kepentingan kekuasaan.
Keterlibatan aktor-aktor politik lokal, termasuk dugaan aliran dana dari Topan Ginting atas dugaan telah diinstruksikan Bobby Nasution, memperkuat asumsi bahwa kampus diarahkan untuk kepentingan elektoral Gibran Rakabuming Raka. Praktik semacam ini mengaburkan batas antara kepentingan akademik dan kontestasi politik. Padahal, independensi perguruan tinggi adalah salah satu benteng terakhir demokrasi yang sehat. Jika benteng ini runtuh, maka kampus tak lagi menjadi ruang kritis, tetapi sekadar perpanjangan tangan kekuasaan.
Sumatera Utara memiliki bobot strategis dalam politik elektoral Indonesia. Sebagai lumbung suara terbesar setelah Jawa Tengah, wilayah ini selalu menjadi medan perebutan serius dalam setiap kontestasi nasional. Tak heran jika Pilpres 2029 sudah mulai "dipetakan" sejak jauh hari, dengan menjadikan lembaga pendidikan tinggi sebagai bagian dari desain politik. Konstelasi ini menegaskan bahwa yang terjadi bukan kebetulan, melainkan bagian dari politics of design.
Fenomena ini menyodorkan ironi. Kampus yang seharusnya menggembleng mahasiswa menjadi intelektual kritis justru berpotensi dibonsai menjadi instrumen legitimasi kekuasaan. Mahasiswa, dosen, hingga birokrasi akademik digiring untuk memainkan peran dalam skenario politik yang sudah dirancang. Jika ini dibiarkan, maka demokrasi Indonesia tidak hanya kehilangan akal sehat, tetapi juga kehilangan nurani.
Karena itu, publik harus berani menyoroti dan menagih transparansi atas setiap langkah yang diambil dalam pemilihan rektor USU. Pengawasan masyarakat sipil, pers, dan komunitas akademik menjadi penting untuk mencegah kampus dijadikan “arena tempur” politik praktis. Demokrasi tidak boleh direduksi hanya menjadi soal pemenangan suara, tetapi juga harus tetap menjunjung tinggi nilai independensi, etika, dan martabat lembaga pendidikan.
Perlu diingat adagium politik, yakni:
> “Politics of design, not an accident and especially not a coincidence.” (politik disen, bukan kecelakaan dan apalagi kebetulan)
Penutup
USU hari ini menghadapi ujian terberatnya: bagaimana menjaga marwah akademik di tengah pusaran politik uang dan kekuasaan. Alih-alih menjadi rumah bagi meritokrasi, universitas justru terseret dalam praktik transaksional yang meruntuhkan nilai kejujuran dan etika akademis. Fenomena ini memperlihatkan betapa rapuhnya benteng pengetahuan ketika kekuasaan dijadikan tujuan, bukan instrumen untuk mengabdi pada kebenaran.
Masyarakat Medan bahkan mencibir sang rektor sebagai sosok 'PALUGADA'—“apa lu minta, gua ada”—sebuah julukan satir yang menggambarkan betapa rendahnya standar moral kepemimpinan akademik saat integritas digadaikan demi transaksi. Stigma ini tidak lahir dari ruang hampa, melainkan dari akumulasi kekecewaan terhadap kampus yang seharusnya menjadi simbol perlawanan terhadap pragmatisme politik, bukan justru pelayannya.
Harapan kini bertumpu pada proses pemberantasan korupsi yang dijalankan KPK. Jika bersih-bersih kampus dijalankan serius, USU masih berpeluang menegakkan kembali kepercayaan publik. Jalan menuju kampus berintegritas, intelektual, dan profesional memang terjal, tetapi tanpa langkah tegas, universitas ini berisiko tercatat dalam sejarah bukan sebagai mercusuar ilmu pengetahuan, tinggi etika dan moral, melainkan sebagai laboratorium politik gelap di tengah krisis integritas kampus di Indonesia.
Demikian
Pernyataan Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH, adalah Praktisi Hukum, Alumni Fakultas Hukum USU Stambuk' 92 Dan Ketua Forum Penyelamat USU.
___________
Daftar Pustaka
KPK. Laporan Tahunan 2024: Pengawasan Pendidikan Tinggi dan Pencegahan Korupsi di Perguruan Tinggi Negeri. Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi, 2024.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Audit Keuangan dan Penerimaan Mahasiswa Baru PTN 2023–2024. Jakarta: Kemendikbudristek, 2024.
“KPK Tuntas Periksa Eks Kajati Sumut dalam Kasus Korupsi Proyek Jalan, Peran USU Juga Diusut.” Kajian Berita, 19 Agustus 2025. https://www.kajianberita.com/2025/08/kpk-tuntas-periksa-eks-kajati-sumut.html.
Kompas. “Pungutan Liar Penerimaan Mahasiswa di Perguruan Tinggi Masih Tinggi, KPK Awasi Ketat.” Kompas.com, 12 Juni 2024. https://www.kompas.com/edukasi/read/2024/06/12/pungli-ptn.
Tempo. “Politik Uang dalam Pemilihan Rektor dan Praktik Korupsi di Kampus.” Tempo.co, 25 Mei 2024. https://www.tempo.co/politik/korupsi-kampus.
Tempo. “Rektor USU Muryanto Amin Mangkir dari Pemeriksaan KPK.” Tempo.co, 15 Agustus 2025. https://www.tempo.co/hukum/kriminal.
Posting Komentar
0Komentar