"Alumni USU Desak Senat Akademik: Nonaktifkan Rektor demi Menjaga Marwah Kampus dari Bayang-Bayang KPK"

Media Barak Time.com
By -
0

 



Selayang Pandang


Di dunia akademik, integritas adalah mata uang tertinggi. Ia tak dapat dipalsukan, tak bisa ditukar, dan sekali tercoreng, nilainya sulit ditebus kembali. Karena itu, kabar pada 15 Agustus 2025 tentang pemanggilan Rektor Universitas Sumatera Utara (USU), Prof. Dr. Muryanto Amin, oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai saksi dalam dugaan korupsi proyek jalan di Sumatera Utara, menjadi pukulan telak bagi reputasi kampus. Meski secara hukum asas presumption of innocence—praduga tak bersalah—tetap berlaku, dunia pendidikan tinggi memiliki standar lebih tinggi: presumption of integrity—pemimpin kampus harus bebas dari keraguan moral sekecil apa pun.


Dalam sejarah panjang kepemimpinan USU, belum pernah ada rektor yang dipanggil oleh KPK terkait perkara korupsi, apalagi dalam urusan proyek infrastruktur jalan. Peristiwa ini menjadi preseden kelam yang berpotensi menurunkan marwah akademik USU di mata publik dan mitra internasional. Dunia pendidikan tidak hanya menuntut kompetensi manajerial, tetapi juga menempatkan integritas sebagai pilar utama keberlanjutan reputasi. Satu headline negatif yang mengaitkan pemimpin universitas dengan lembaga antikorupsi sudah cukup untuk menimbulkan krisis kepercayaan.


Karena itu, langkah cepat Senat Akademik menjadi ujian moral institusi. Diam berarti membiarkan citra USU tergerus opini publik. Sebaliknya, tindakan tegas seperti pemanggilan klarifikasi, desakan cuti, atau penonaktifan sementara dapat menjadi bukti bahwa USU menempatkan kepentingan dan kehormatan universitas di atas kepentingan pribadi. Di sinilah USU diuji: apakah ia akan mempertahankan reputasi yang dibangun selama puluhan tahun, atau membiarkan sejarah mencatatnya sebagai kampus yang abai menjaga marwahnya.


Bukan Sekadar Pemanggilan


Pemanggilan Rektor USU oleh KPK memang secara formal “hanya” sebagai saksi, bukan tersangka. Namun, dalam dunia persepsi publik, perbedaan status hukum itu kerap kabur. Headline berita “KPK Panggil Rektor USU…” sudah cukup menempatkan kampus ini dalam pusaran sorotan negatif. Dalam komunikasi politik, persepsi sering kali lebih kuat dari fakta, dan dampak reputasional bisa muncul bahkan sebelum kebenaran substantif terungkap.


Pertama, citra institusi langsung tercoreng di mata publik dan mitra internasional. Reputasi yang dibangun puluhan tahun bisa terkikis oleh satu isu yang mengaitkan pucuk pimpinan dengan lembaga pemberantasan korupsi. Kedua, fokus akademik terganggu. Energi rektor yang semestinya terserap untuk membangun kualitas pendidikan kini terbelah antara urusan manajemen kampus dan menghadapi proses hukum.


Ketiga, kepercayaan internal ikut goyah. Mahasiswa, dosen, dan tenaga kependidikan mulai mempertanyakan arah kepemimpinan. Kampus, yang seharusnya menjadi ruang aman bagi pengembangan ilmu, terjebak dalam atmosfer ketidakpastian. Keempat, kasus ini memberi isyarat kepemimpinan lemah. Ketika pemimpin menjadi bagian dari berita hukum nasional, pintu bagi intervensi eksternal dan spekulasi liar terbuka lebar.


Dalam teori etika publik, kondisi ini dikategorikan sebagai moral hazard. Jabatan tinggi tetap dipertahankan meski sudah ada potensi konflik kepentingan dan krisis kepercayaan. Tidak ada institusi pendidikan yang sehat yang rela mempertaruhkan nama baiknya demi mempertahankan status quo yang rawan. Prinsip kehati-hatian (precautionary principle) seharusnya menjadi pegangan, bukan menunggu badai reputasi menghantam.


USU kini berada di persimpangan: memilih tindakan tegas demi menjaga marwah atau membiarkan reputasi akademik terus digerogoti isu hukum. Senat Akademik, sebagai penjaga nilai dan integritas, memiliki peran strategis untuk mengambil langkah yang melindungi kepentingan kampus di atas kepentingan personal. Sejarah akan mencatat, apakah USU merespons dengan keberanian moral atau justru terjebak dalam kompromi yang mengikis wibawa.


Etika Kepemimpinan Akademik


Kepemimpinan universitas tidak berhenti pada urusan administrasi atau capaian akademik. Ia adalah simbol moral, teladan intelektual, dan penjaga nilai. Seorang rektor, terlebih di perguruan tinggi negeri ternama, memikul tanggung jawab etis yang lebih berat daripada sekadar mengelola anggaran atau meluluskan mahasiswa. Dalam pandangan filsuf Immanuel Kant, pemimpin sejati bertindak berdasarkan imperatif kategoris: melakukan yang benar karena itu adalah kewajiban moral, bukan karena ada keuntungan pribadi.


Dalam konteks ini, Senat Akademik USU tidak bisa bersikap pasif dengan dalih menunggu putusan hukum. Dunia kampus memiliki standar moral yang lebih tinggi daripada sekadar “tidak terbukti bersalah di pengadilan.” Di universitas-universitas bereputasi tinggi di dunia, sekadar bayang-bayang dugaan pelanggaran etika sudah menjadi alasan cukup untuk mengundurkan diri atau mengambil cuti sementara, demi melindungi reputasi institusi.


Apalagi, Muryanto Amin adalah seorang guru besar. Gelar akademik tertinggi ini bukan hanya pengakuan ilmiah, tetapi juga amanah moral. Publik menuntut seorang guru besar menjadi teladan integritas, bukan sekadar figur administratif. Ketika seorang akademisi di level ini terseret dalam pusaran pemberitaan hukum, ekspektasi etis yang melekat pada jabatannya menjadi taruhan.


Krisis integritas di pucuk pimpinan kampus memiliki daya rusak yang besar. Ia bukan hanya menggerus kepercayaan publik, tetapi juga menciptakan atmosfer akademik yang rapuh. Mahasiswa kehilangan role model, dosen kehilangan figur pemersatu, dan masyarakat kehilangan keyakinan bahwa kampus adalah ruang yang steril dari kompromi moral.


Karena itu, tindakan cepat dan tegas dari Senat Akademik bukan sekadar pilihan, tetapi kewajiban. Menjaga marwah USU berarti memastikan bahwa siapa pun yang memimpinnya berada di atas segala keraguan moral. Diam adalah bentuk pembiaran; bertindak adalah wujud keberanian moral yang akan dikenang dalam sejarah institusi.


Mengapa Dinonaktifkan?


Menonaktifkan atau meminta rektor cuti bukanlah vonis bersalah, melainkan preventive measure—tindakan pencegahan untuk melindungi marwah institusi. Dalam prinsip corporate governance, langkah ini dikenal sebagai protecting institutional reputation atau menjaga reputasi lembaga dari potensi kerusakan yang lebih besar. Dunia pendidikan tinggi harus memegang teguh prinsip ini, karena reputasi adalah aset tak ternilai yang menentukan posisi universitas di tingkat nasional maupun internasional.


Tidak ada universitas bereputasi yang rela dipimpin oleh figur yang namanya terpampang di headline media bersanding dengan kata “KPK”. Efeknya tidak hanya memengaruhi persepsi publik, tetapi juga memicu keraguan dari mitra akademik, calon mahasiswa, dan lembaga donor. Lebih berbahaya lagi, kasus seperti ini bisa menjadi preseden bahwa jabatan akademik dapat dipegang tanpa mempertimbangkan beban moral yang menyertainya.


Situasi ini menjadi semakin sensitif karena USU tengah berada di tahun krusial menjelang pemilihan rektor baru. Isu integritas di pucuk pimpinan akan memengaruhi proses regenerasi kepemimpinan dan legitimasi hasilnya. Publik Sumatera Utara bahkan mulai melontarkan pertanyaan satir: Muryanto Amin ini rektor atau kontraktor jalan? Pertanyaan itu bukan sekadar sindiran, melainkan sinyal keras bahwa kepercayaan masyarakat sedang terkikis.


Apalagi, pemanggilan ini terkait dengan kasus yang menyeret nama mantan pejabat tinggi di Sumut dalam operasi tangkap tangan (OTT) KPK, seperti Topan Ginting. Fakta ini membuat kasus tersebut bukan sekadar persoalan hukum teknis, tetapi berpotensi menguak jejaring kepentingan yang lebih luas. Dalam situasi seperti ini, seorang pemimpin akademik seharusnya berada jauh dari area abu-abu yang dapat menimbulkan konflik integritas.


Dengan mempertahankan rektor dalam jabatan tanpa langkah pencegahan, USU berisiko membiarkan krisis reputasi membesar dan menjadi krisis legitimasi. Nonaktifkan atau minta cuti sementara bukan berarti mengorbankan individu, melainkan menyelamatkan universitas dari kerusakan citra yang mungkin butuh puluhan tahun untuk dipulihkan. Dalam pertarungan antara kepentingan personal dan marwah institusi, pilihan seharusnya sudah jelas.


Menjaga Marwah USU


Universitas Sumatera Utara (USU) bukan sekadar lembaga pendidikan tinggi. Ia adalah simbol kebanggaan Sumatera Utara, rumah bagi puluhan ribu mahasiswa, dan lumbung intelektual yang telah melahirkan alumni berkiprah di tingkat nasional maupun internasional. Menjaga nama baik USU berarti menjaga kepercayaan publik yang menjadi modal utama keberlanjutan reputasi akademiknya. Tanggung jawab ini tidak hanya berada di pundak rektor, tetapi menjadi beban moral seluruh civitas akademika, termasuk para alumninya.


Karena itu, Senat Akademik tidak boleh berdiam diri. Pemanggilan Rektor oleh KPK, meski berstatus saksi, tetap menimbulkan dampak reputasional yang serius. Langkah memanggil Rektor untuk klarifikasi, lalu mendesak cuti atau pengunduran diri sementara, bukanlah bentuk penghukuman. Itu adalah strategi menjaga martabat universitas agar tetap berdiri di atas fondasi integritas, bebas dari keraguan moral.


Dalam kerangka virtue ethics Aristoteles, tindakan yang benar adalah tindakan yang melahirkan kebajikan (virtue) dan menghindarkan aib (vice). Menonaktifkan sementara seorang pemimpin akademik demi melindungi institusi adalah kebajikan publik yang layak dipilih. Keputusan seperti ini menunjukkan bahwa universitas lebih mengutamakan nilai moral ketimbang sekadar prosedur formal hukum.


Fakta sejarah memperkuat urgensi langkah tersebut. Sejak berdiri, USU tidak pernah memiliki catatan kelam di mana rektornya dipanggil lembaga antirasuah, apalagi terkait dugaan korupsi proyek jalan di Sumatera Utara. Peristiwa ini menjadi noda pertama yang, jika tidak dikelola dengan cepat, bisa membekas dan mengubah persepsi publik terhadap integritas kepemimpinan USU.


Kini USU berada di persimpangan. Apakah ia akan mengedepankan keberanian moral demi mempertahankan reputasi puluhan tahun, atau membiarkan sejarah mencatatnya sebagai kampus yang gagal menjaga marwahnya? Pilihan itu ada di tangan Senat Akademik—dan keputusan mereka akan menjadi preseden bagi generasi akademik di masa depan.


Penutup


Pemanggilan Rektor USU oleh KPK bukan sekadar agenda hukum, melainkan ujian integritas bagi seluruh ekosistem kampus. Ini adalah momen krusial yang akan menguji keberanian Senat Akademik untuk menempatkan marwah universitas di atas kepentingan personal. Pilihan yang diambil akan menjadi preseden: apakah USU memilih jalan kompromi yang pragmatis atau tegak pada prinsip yang bermartabat.


Fakta bahwa pemanggilan tersebut terkait dugaan korupsi proyek jalan di Sumatera Utara menambah dimensi ironi. Pertanyaan publik menggelitik: ini rektor universitas atau kontraktor jalan? Meski kasusnya tidak bersinggungan langsung dengan pengelolaan kampus, keterlibatan nama pucuk pimpinan dalam pusaran penyelidikan KPK tetap mencoreng citra akademik yang seharusnya bersih dari urusan dunia bisnis yang rawan konflik kepentingan.


Alumni telah bersuara lantang, menyerukan langkah tegas demi melindungi reputasi USU. Kini, bola ada di tangan Senat Akademik. Keputusan yang diambil tidak hanya akan menentukan wajah USU hari ini, tetapi juga akan dikenang sebagai tolak ukur keberanian moral dalam sejarah universitas ini.


Demikian.


Penulis Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH, adalah Praktisi Hukum, Alumni Fakultas Hukum USU Stambuk' 92 Dan Ketua  Forum Penyelamat USU.

____________


Daftar Pustaka


Kumparan. (2025, 15 Agustus). KPK Panggil Rektor USU Terkait Korupsi Proyek Jalan di Sumut. Diakses dari https://kumparan.com/kumparannews/kpk-panggil-rektor-usu-terkait-korupsi-proyek-jalan-di-sumut-25f0oYqGjG8


ANTARA News. (2025, 15 Agustus). KPK Panggil Rektor USU Jadi Saksi Kasus Proyek Jalan Sumut. Diakses dari https://m.antaranews.com/berita/5040041/kpk-panggil-rektor-usu-jadi-saksi-kasus-proyek-jalan-sumut


Kant, I. (1785). Groundwork of the Metaphysics of Morals. (Terj. Mary Gregor, 1998). Cambridge: Cambridge University Press.


Aristotle. (350 SM). Nicomachean Ethics. (Terj. W.D. Ross, 2009). Oxford: Oxford University Press.


OECD. (2017). Preventing Policy Capture: Integrity in Public Decision Making. Paris: OECD Publishing.

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)