80 Tahun RI, Masyarakat Melayu Masih Tergusur: BPRPI dan Mimpi yang Tak Pernah Merdeka.

Media Barak Time.com
By -
0

 




Delapan dekade pasca-Proklamasi, Republik ini belum benar-benar menjadi rumah bagi seluruh anak bangsanya. Bagi masyarakat adat Melayu Deli, kemerdekaan justru terasa seperti ironi: tanah leluhur yang diwarisi turun-temurun justru dirampas atas nama negara sendiri. Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI), yang berdiri sejak 1953, menjadi saksi bisu bagaimana negara menggantikan peran penjajah dalam hal perampasan hak.


Cara pandang Prof. Budi Agustano dalam "Orang Eropa di Sumatera Utara” memaparkan bagaimana warisan kolonial tertanam dalam relasi tanah di wilayah Deli Serdang: konsesi antara Sultan Deli dan onderneming Belanda menjadi akar dari ekspansi kebun tembakau yang mengaburkan eksistensi masyarakat adat. Tanah tak lagi dimaknai sebagai ruang hidup, melainkan sebagai komoditas.


Yang tragis, pascakemerdekaan, negara justru melanjutkan skema itu. Lewat UU No. 86 Tahun 1958, nasionalisasi perusahaan asing dilakukan tanpa memverifikasi status hukum tanah adat. Akibatnya, lahan-lahan bekas konsesi langsung dialihkan ke BUMN seperti PTPN II. Tanpa proses rekognisi terhadap hak ulayat, tanah adat berubah menjadi milik negara secara sepihak—mengukuhkan kolonialisme gaya baru.


BPRPI: Melawan Lupa, Menuntut Hak


BPRPI tidak pernah bicara soal revolusi, apalagi makar. Mereka hanya meminta negara membaca kembali akta-akta konsesi yang sah secara hukum. Akta tahun 1874 mencatat jelas bahwa tanah diberikan kepada perusahaan Belanda dengan ketentuan satu musim palawija bagi masyarakat Penunggu setiap tujuh tahun. Tetapi saat negara mengambil alih aset kolonial, mereka mengabaikan kewajiban tersebut. Inilah luka sejarah yang terus menganga.


Lebih menyakitkan lagi, di atas tanah yang disengketakan, negara justru menjalin kemitraan bisnis dengan Ciputra Group—membangun hunian elite di atas tanah air mata. Ketika rakyat membangun tenda perjuangan dan menanam ulang tanaman lokal, negara membalas dengan intimidasi, kriminalisasi, bahkan pengerahan aparat.


Nasionalisasi atau Legitimasi Perampasan?


Dalam disertasinya (2013), Prof. Tamizi menilai nasionalisasi tanpa verifikasi status hukum tanah adalah bentuk dwaling, kesesatan hukum yang sistemik. Negara menyamakan kepemilikan aset dengan hak atas tanah, padahal secara prinsip agraria, keduanya tunduk pada rezim hukum yang berbeda. Ini adalah pengaburan identitas politik dan hukum. Negara menggunakan semangat nasionalisme untuk mengesahkan perampasan atas hak konstitusional masyarakat adat.


Sebagaimana dikritik Prof. A.P. Parlindungan Lubis, Pasal 2 hingga 5 UUPA 1960 menjanjikan akar agraria yang berbasis hukum adat. Namun kenyataannya, negara tetap bertumpu pada sistem hukum Barat—menciptakan dualisme dan celah konflik berkepanjangan. UUPA menjadi agung dalam wacana, tapi lumpuh dalam praktik.


Tanah Sebagai Identitas, Bukan Aset


Bagi masyarakat adat, tanah bukan sekadar ruang ekonomi—ia adalah identitas. Ketika tanah dirampas, yang hilang bukan hanya lahan, tapi sejarah, kedaulatan, dan martabat. Sayangnya, logika hukum negara lebih tunduk pada korporasi dibanding konstitusi.


Teori Critical Legal Studies mengajarkan bahwa hukum bukan entitas netral, melainkan produk relasi kuasa. Dalam kasus ini, hukum dipakai untuk memperkuat dominasi negara dan korporasi, bukan untuk melindungi rakyat. Negara telah gagal menjalankan mandat Pasal 33 UUD 1945: bahwa tanah, air, dan kekayaan alam dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat—bukan untuk pembangunan elite.


BPRPI: Perlawanan dari Kampung, Bukan Kapital


Didirikan tahun 1956, empat tahun sebelum UUPA disahkan, BPRPI bukan gerakan sembarangan. Ia dikukuhkan langsung oleh Sultan Deli. Tokoh seperti Ustaz Abdul Kadir Nuh adalah simbol keteguhan sipil menghadapi kekuasaan yang menyimpang. Mereka tidak melawan dengan senjata, tapi dengan cangkul dan tenda perjuangan. Namun jawaban negara adalah represi dan kriminalisasi.


Fakultas Hukum USU pada tahun 1976 bahkan mengadakan seminar khusus membahas BPRPI, dengan partisipasi tokoh besar seperti Prof. Mariam Darus Badrulzaman. Artinya, isu ini bukan sekadar konflik agraria lokal, tapi telah menjadi soal keadilan sosial dan konstitusionalitas negara.


Negara yang Bungkam, Rakyat yang Ditikam


Kementerian BUMN sebagai pemilik saham PTPN II tak pernah hadir dalam dialog substansial dengan rakyat Penunggu. Ketika mereka menuntut hak, negara menjawab dengan laporan pidana. Ketika mereka membuka ladang untuk bertahan hidup, negara menuduh mereka penyerobot.


Negara bersikap seolah menghadapi pemberontakan, padahal yang berdiri di hadapannya adalah rakyat yang hanya ingin tanahnya kembali. Ironi ini menggambarkan kebangkrutan moral negara dalam menunaikan mandat perlindungan warga negaranya sendiri.


Merdeka yang Tak Pernah Lengkap


Jika kemerdekaan hanya diukur dari pengusiran penjajah asing, maka Republik ini memang telah merdeka. Tapi jika merdeka bermakna membongkar ketimpangan kolonial, menegakkan keadilan agraria, dan memulihkan hak masyarakat adat, maka republik ini masih jauh dari merdeka.


Tanah bagi rakyat bukan soal komersialisasi, melainkan soal kelangsungan hidup dan kesinambungan sejarah. Ketika negara terus mengkavling tanah rakyat atas nama pembangunan, maka negara sejatinya sedang mengulang wajah kolonialisme—dengan seragam berbeda.


Saatnya Negara Menjawab Sejarah


BPRPI, Tanjung Mulia, Sampali, Kuala Begumit dstnya bukan hanya perlawanan dari kampung. Ia adalah simbol dari rakyat yang menolak dilupakan. Ini bukan sengketa tanah biasa, melainkan panggilan moral agar republik ini menunaikan janji Proklamasi: melindungi segenap tumpah darah Indonesia.


Jika negara ingin kembali memiliki legitimasi di mata rakyatnya, maka ia harus berhenti menjadi pelindung status quo korporasi, dan mulai menjadi pelindung hak-hak konstitusional masyarakat adat. Tanpa keadilan agraria, seluruh mimpi kemerdekaan hanyalah seremoni tahunan yang penuh ironi.


Demikian.


Penulis:

Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH

Praktisi Hukum, Mantan Tenaga Ahli Komisi III DPR RI, Aktivis Musyawarah Rakyat Banyak, Anggota Badan Perkumpulan KontraS Sumut, dan Wakil Sekretaris Bidang Hukum dan HAM MW KAHMI Sumut.

_______ 


Daftar Pustaka 


Agustano, Budi. "Orang Eropa di Sumatera Utara." Analisa Daily, 21 Maret 2018. https://analisadaily.com/berita/arsip/2018/3/21/524723/orang-eropa-di-sumatera-utara/.


Lubis, A.P. Parlindungan. Komentat UUPANo. 5 Tahun 1960.


Tamizi, Muhammad. Pergeseran Hak Atas Tanah-Tanah Komunal Masyarakat Hukum Adat oleh Pemerintah Republik Indonesia Berdasarkan UU No. 86 Tahun 1958: Studi Terhadap Tanah-Tanah Eks Konsesi Kesultanan Deli di Areal PTPN II Tanjung Morawa. Disertasi, Universitas Indonesia, 2013.


Pasal 33 UUD 1945.berbunyi, Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. 


Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).


Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 86 Tahun 1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan Milik Belanda.


Seminar Fakultas Hukum USU, 1976: "Hak-Hak Adat dan Konflik Agraria BPRPI".

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)