Trilogi Kader dan Pertahanan Mental Umat.

Media Barak Time.com
By -
0

 



“Apa kali heibatnya Mohammad Natsir itu, Bang?”


Kalimat sederhana ini, bila dituturkan dalam logat Medan, bukan cuma pertanyaan—melainkan provokasi intelektual. Di tengah era yang sarat seremonial dan miskin substansi, nama Mohammad Natsir seolah hanya muncul dalam buku sejarah atau forum nostalgia. Padahal, jejak pemikirannya melampaui zaman. Ia bukan sekadar perdana menteri pertama yang dipilih secara konstitusional, bukan hanya arsitek Mosi Integral yang memulihkan NKRI, dan bukan semata Ketua Partai Masyumi. Natsir adalah napas panjang dari perjuangan membangun umat: lewat masjid, pesantren, dan kampus. Inilah yang ia sebut sebagai Trilogi Kader, fondasi gerakan sosial-politik yang hingga kini relevan dan mendesak untuk dihidupkan.


Ketika para tokoh besar dikenang lewat trilogi khas—Tjokroaminoto dengan tauhid, ilmu, dan siasah; Suharto dengan pertumbuhan, pemerataan, dan stabilitas; atau Orde Baru dengan Tritura—mengapa Natsir jarang disebut dengan Trilogi Kader-nya? Pertanyaan ini mengantar kita pada sebuah ironi: bangsa ini cepat mengingat kekuasaan, tapi lambat mengapresiasi keteladanan. Padahal, Natsir telah menanamkan akar yang jauh lebih dalam dibandingkan semboyan politik sesaat. Ia tidak hanya menyumbangkan konsep, tetapi membuktikan lewat institusi dan aksi nyata.


Salah satu buktinya adalah pidato Natsir dalam Mubes Ittihad al-Maahid al-Islamiyah di Malang, Agustus 1969, yang kemudian dibukukan oleh Saleh Umar Bajasut menjadi Kubu Pertahanan Mental dari Abad ke Abad (DDII, 1970). Di sana, Natsir menegaskan bahwa pesantren bukan sekadar institusi pendidikan tradisional. Ia menyebutnya sebagai kubu pertahanan mental yang berperan strategis dalam melawan kolonialisme kultural ala Snouck Hurgronje.


Melalui kebijakan de-Islamisasi yang tidak langsung mengkristenkan, kolonialisme justru lebih berbahaya. Ia mengikis iman, menanggalkan identitas, dan mengasingkan generasi muda dari akar kebudayaan sendiri. Tujuannya? Menciptakan generasi yang asing dengan agamanya, bahasanya, dan sejarahnya—generasi yang nyaman dijajah. Pesantren, dalam hal ini, menjadi benteng terakhir. Di sanalah perlawanan kultural digerakkan, bukan dengan senjata, melainkan dengan akidah, akhlak, dan ilmu yang terjaga.


Namun, Natsir tidak berhenti pada analisis. Ia membawa kritik tajam terhadap cara berpikir modern yang terlalu bergantung pada anggaran. Dalam bagian kedua bukunya, Natsir menolak pendekatan pembangunan yang menunggu dana miliaran sebelum memulai. Ia mengutip realitas sederhana: para kiai tidak menunggu “fulus” untuk membangun pesantren. Mereka mulai dengan niat, kerja, dan kepercayaan. Dana akan mengikuti gerak, bukan sebaliknya. Ini bukan retorika. Ini doktrin kemandirian.


“Innamaa tunshoruuna bidhu'afaaikum,” kutip Natsir dari hadis Nabi. Kita ditolong bukan karena kekayaan, tetapi karena kaum lemah yang ikhlas berjuang. Di tengah logika pembangunan yang kini dikendalikan proyek dan proposal, semangat seperti ini seperti oase. Ia mengingatkan bahwa kekuatan umat bukan hanya soal materi, tapi solidaritas, ta’awun, dan keberanian untuk mulai dari yang ada.


Optimisme semacam itu bukan romantisme. Ia lahir dari pengalaman panjang Natsir membangun gerakan dakwah dan pendidikan tanpa dukungan negara, di tengah represi politik. Ia memahami bahwa pendidikan bukan soal gedung megah, tetapi transformasi manusia. Kampus, pesantren, dan masjid bukan sekadar bangunan fisik, melainkan arena ide dan karakter.


Sayangnya, semangat ini kian kabur dalam lanskap pendidikan dan keumatan kita hari ini. Kampus menjadi pabrik ijazah, masjid sekadar tempat ritual, dan pesantren banyak yang kehilangan orientasi perjuangannya. Di titik inilah warisan Natsir menjadi sangat relevan. Ia tidak menawarkan utopia, tapi jalan yang bisa dijalani—jika kita cukup jujur meneladani.


Sebagai negarawan, intelektual, dan da’i, Natsir telah menyusun arah pembangunan umat secara integral. Ia tidak mengandalkan kekuasaan, tapi memanfaatkan soft power pendidikan dan dakwah. Maka menyebut Natsir dalam bulan Juli bukan sekadar peringatan tanggal lahir, melainkan pemanggilan ulang visi dan misi keummatan yang telah lama terabaikan.


Ketika kawanku terdiam setelah menyebut jabatan-jabatan Natsir, lalu aku berkata, “Ada. Trilogi Kader: Masjid, Pesantren, Kampus,” dia hanya mengangguk. Sebab memang, dari situlah semua dimulai—dari akar. Natsir paham, tanpa akar yang kuat, umat hanya akan menjadi daun yang rapuh dihempas zaman.


Dan ketika pesan-pesan Natsir itu diamalkan dalam kenyataan, orang Medan pun bilang dengan 'mantap kali', “Betol pulak!”


Demikian.


Penulis Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH, Praktisi Hukum, Sekretaris Umum Badko HMI Sumut Periode 1997-1999 dan Wakil Sekretaris Bidang Hukum Dan HAM MW KAHMI Sumut.

__________

DAFTAR PUSTAKA 


Bajasut, Saleh Umar. Kubu Pertahanan Mental dari Abad ke Abad: Pidato Moh. Natsir dalam Mubes Ittihad Al-Maahid Al-Islamiyah. Surabaya: DDII Perwakilan Jawa Timur, 1970.


Boland, B. J. The Struggle of Islam in Modern Indonesia. The Hague: Martinus Nijhoff, 1982.


Deliar Noer. Partai Islam di Pentas Nasional: Kisah dan Analisis Perkembangan Politik Indonesia 1945–1965. Jakarta: Grafiti Pers, 1987.


Natsir, Mohammad. Capita Selecta. Jilid I–III. Jakarta: Bulan Bintang, 1973.


Natsir, Mohammad. Islam dan Kristen di Indonesia: Sebuah Jawaban atas Zending. Jakarta: Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia, 1980.


Natsir, Mohammad. “Mosi Integral Mohammad Natsir, 3 April 1950.” Risalah Konstituante dan Dokumen Negara. Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia, 1950.


Noer, Deliar. Mohammad Natsir: Dakwah dan Pemikiran Politik Islam. Jakarta: LP3ES, 1996.


Rahmat, M. Imdadun. Ideologi Politik Natsir. Jakarta: Paramadina, 2001.


Saefullah, Ahmad. Mohammad Natsir: Negarawan, Ulama, dan Pejuang. Bandung: Mizan Publika, 2008.

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)