Penyelesaian Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) oleh DPR RI memperlihatkan karakter khas politik hukum yang berpijak pada kepentingan kekuasaan, bukan kepentingan keadilan. Ketergesaan dan minimnya partisipasi publik dalam proses legislasi memperlihatkan bahwa pembentuk undang-undang mengedepankan pendekatan pragmatis dan oportunistik. Alih-alih menjadikan hukum sebagai sarana pembebasan (instrument of liberation), hukum kembali difungsikan sebagai alat pengendalian sosial yang bias kekuasaan (instrument of domination).
Dalam kerangka teori sistem hukum Lawrence M. Friedman, sistem hukum terdiri dari tiga elemen: struktur hukum, substansi hukum, dan kultur hukum. RUU KUHAP justru cacat dalam ketiganya. Substansi hukum yang seharusnya menjamin hak-hak tersangka, korban, dan proses peradilan yang adil, digeser menjadi rangkaian pasal-pasal prosedural yang justru mengukuhkan kewenangan negara. Struktur hukum pun berperilaku tidak netral, karena DPR RI dan pemerintah lebih mementingkan kelancaran proses formal ketimbang mendengar masukan kritis dari akademisi dan masyarakat sipil.
Pendekatan substansi hukum dalam RUU KUHAP mengalami distorsi serius. Prof. Herkristuti Harkrisnowo menyatakan bahwa pembaruan hukum acara pidana harus dilandasi semangat perlindungan hak konstitusional warga negara sejak tahap penyidikan. Namun, sejumlah pasal dalam RUU ini justru melemahkan posisi tersangka dengan memperluas kewenangan penyidik dan membatasi peran penasihat hukum. Keadilan prosedural yang semestinya menjadi fondasi utama sistem peradilan pidana malah dikorbankan atas nama efisiensi.
Di sisi lain, Prof. Romli Atmasasmita menekankan pentingnya menjaga keseimbangan antara kepentingan negara dan hak asasi manusia dalam pembaruan hukum pidana. Sayangnya, semangat ini nyaris hilang dalam revisi KUHAP. RUU ini tidak hanya mengekang hak tersangka, tetapi juga menutup ruang koreksi yudisial seperti praperadilan. Ketika mekanisme check and balance dilemahkan, maka ruang arbitrer aparat penegak hukum akan semakin besar. Ini merupakan ancaman serius bagi prinsip negara hukum.
Prof. Barda Nawawi Arief menegaskan bahwa pembaruan hukum pidana harus dilakukan secara komprehensif dan berbasis pada nilai keadilan substantif, bukan sekadar teknokratis legalistik. Dalam konteks RUU KUHAP, semangat tersebut diabaikan. Pembentuk undang-undang terlihat lebih sibuk mengubah terminologi dan menambah prosedur, tetapi tidak menyentuh aspek moral dan filosofis sistem peradilan pidana. Hukum dijadikan proyek administratif, bukan upaya transformasi keadilan.
Bila dikaji dari sisi struktur hukum ala Friedman, terlihat bahwa lembaga-lembaga hukum yang berperan menyusun KUHAP tidak menjalankan fungsi secara ideal. DPR RI sebagai representasi politik gagal menjalankan perannya sebagai penjaga moral hukum. Kecenderungan mempercepat pembahasan dan menghindari perdebatan publik menunjukkan adanya agenda terselubung yang menihilkan akuntabilitas. Ini bukan legislatif yang merdeka, tetapi legislatif yang dikendalikan oleh akal-akalan kuasa.
Kultur hukum dalam revisi ini pun sangat problematis. Friedman menyatakan bahwa keberhasilan hukum bergantung pada kesesuaian norma dengan nilai-nilai masyarakat. Namun, bagaimana mungkin hukum acara pidana bisa diterima publik bila ia justru memperkuat ketakutan terhadap aparat hukum, alih-alih menjamin perlindungan warga negara? RUU KUHAP memperlihatkan kultur hukum elitis, represif, dan jauh dari cita rasa keadilan publik. Ketika hukum tidak lagi mencerminkan kehendak masyarakat, maka yang lahir adalah hukum yang kering legitimasi.
RUU KUHAP seolah diproduksi dalam laboratorium kekuasaan, bukan dalam ruang publik yang demokratis. Proses legislasi dilakukan secara sepihak dan teknokratik, tanpa empati terhadap korban penyalahgunaan wewenang hukum. Tidak ada ruang bagi reformasi sistem peradilan pidana berbasis keadilan restoratif. Yang ada justru penguatan kembali sistem peradilan pidana konvensional yang telah lama dikritik sebagai sumber ketidakadilan.
RUU ini juga gagal memosisikan korban sebagai subjek hukum. Dalam berbagai kasus kekerasan seksual, penyiksaan, atau kriminalisasi sipil, korban kerap dibiarkan dalam ketidakpastian hukum. Dalam RUU KUHAP, tidak ada pasal progresif yang mendorong pelibatan korban dalam proses keadilan atau pemberian pemulihan yang layak. Hukum acara pidana seharusnya tidak hanya memproses pelaku, tetapi juga mengakomodasi hak-hak korban dalam semangat keadilan transformatif.
Pendekatan pragmatis DPR RI dalam revisi ini juga memperlihatkan keengganan untuk menggali filsafat hukum Indonesia yang inklusif dan berbasis pada nilai-nilai Pancasila. Kita justru menyaksikan legal drafting yang terjebak dalam pendekatan positivistik, formal, dan mengabaikan realitas ketimpangan struktural. Hukum kehilangan rohnya, dan yang tersisa hanya pasal-pasal kaku yang membebani rakyat kecil.
Jika RUU KUHAP dipaksakan untuk disahkan dalam kondisi seperti ini, maka kita akan menyaksikan lahirnya sistem peradilan pidana yang semakin jauh dari prinsip konstitusi. Negara hukum yang demokratis bukanlah negara yang membebani rakyat dengan prosedur rumit dan represif, melainkan negara yang menjamin keadilan, perlindungan, dan partisipasi warganya. Sayangnya, semua itu absen dalam revisi yang dibuat DPR RI hari ini.
Pembaruan KUHAP seharusnya menjadi momentum untuk merevisi orientasi sistem hukum kita dari rule by law menjadi rule of law. Namun, revisi kali ini justru membawa kita mundur ke era dominasi kekuasaan atas hukum. Ini bukan sekadar kesalahan teknis legislasi, melainkan pengkhianatan terhadap cita hukum itu sendiri. Substansi hukum, dalam pandangan Friedman, adalah jantung dari keberfungsian hukum. Ketika jantung itu dipenuhi kepentingan kuasa, maka hukum akan mati secara moral.
Sudah saatnya publik, akademisi, dan masyarakat sipil bersatu menolak revisi yang tidak partisipatif dan tidak progresif ini. Negara tidak boleh membentuk hukum untuk melanggengkan kuasa, tetapi untuk membebaskan manusia dari ketidakadilan. RUU KUHAP tidak boleh menjadi dokumen formal semata; ia harus menjadi cermin akhlak bangsa dalam menegakkan keadilan yang sesungguhnya.
Demikian.
Penulis Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH, Praktisi Hukum, Mantan Tenaga Ahli Anggota Komisi III DPR RI, Anggota Badan Perkumpulan KontraS Sumut dan Wakil Sekretaris Bidang Hukum Dan HAM MW KAHMI Sumut.
______________
Daftar Pustaka
Friedman, Lawrence M. The Legal System: A Social Science Perspective. New York: Russell Sage Foundation, 1975.
Harkrisnowo, Herkristuti. “Asas Perlindungan Hak Tersangka dan Terdakwa dalam Pembaruan KUHAP.” Jurnal Hukum Ius Quia Iustum Vol. 20 No. 2 (2013): 147–162.
Atmasasmita, Romli. Sistem Peradilan Pidana: Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme. Bandung: Mandar Maju, 2010.
Arief, Barda Nawawi. Rekonstruksi Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Restorative Justice. Yogyakarta: Genta Publishing, 2013.
Muladi. Hak Asasi Manusia dan Sistem Peradilan Pidana. Jakarta: Kencana, 2002
Posting Komentar
0Komentar