Pendahuluan
> “Integritas riset bukan sekadar prosedur akademik, melainkan fondasi moral peradaban ilmiah.”
Berita mengejutkan datang dari dunia pendidikan tinggi nasional. Laporan terbaru menyebut delapan kampus ternama Indonesia masuk zona merah pelanggaran integritas riset. Di antaranya, Universitas Sumatera Utara (USU) mencatat skor hanya 0.400, berada di bawah Universitas Bina Nusantara (0.609), Universitas Airlangga (0.414), Universitas Hasanuddin (0.349), dan Universitas Sebelas Maret (0.317).
Angka ini bukan sekadar statistik, tapi potret krisis yang mencerminkan keroposnya fondasi kejujuran akademik kita. Dalam senyapnya ruang birokrasi kampus, berkembang praktik tidak etis: plagiarisme, fabrikasi data, ghost authorship, hingga manipulasi sitasi. Ironisnya, semua terjadi di institusi yang seharusnya menjadi penjaga kebenaran ilmiah dan nurani publik.
Yang lebih mengkhawatirkan, tidak ada pernyataan resmi dari Rektor USU, LPPM, maupun Dewan Etik Akademik. Skor 0.400 seolah tidak cukup mengusik kesadaran kolektif pengelola kampus. Padahal, dalam ekosistem akademik global, satu kasus pelanggaran bisa menghancurkan kredibilitas institusi selama bertahun-tahun.
Kampus Tak Lagi Jadi Rumah Ilmu
Dalam pandangan sosiolog Pierre Bourdieu, kampus seharusnya menjadi ruang otonom yang membentuk habitus ilmiah—yakni etos intelektual yang menjunjung tinggi kejujuran, objektivitas, dan pencarian kebenaran. Namun kenyataannya, banyak perguruan tinggi justru berubah menjadi pabrik gelar dan publikasi palsu demi akreditasi dan ranking semu.
Integritas riset direduksi menjadi centang dalam borang penilaian, bukan lagi cermin tanggung jawab moral. Data dari Pikiran Rakyat dan Kalteng Pos bahkan menyebut 13 kampus Indonesia berada dalam zona risiko tinggi pelanggaran riset, dengan pola pelanggaran yang sistemik, bukan insidental.
Dosen dikejar kuota publikasi, mahasiswa dituntut menulis tanpa bimbingan metodologis yang layak, dan lembaga etika kerap hanya menjadi formalitas. Inilah wajah dekadensi akademik: ketika pengetahuan dipalsukan demi target administratif. Akademia telah mengkhianati ilmu.
USU: Tidur di Tengah Badai
USU adalah salah satu kampus tertua dan terbesar di luar Jawa. Namun hingga kini, tidak ada respons terbuka dari pimpinan universitas soal skor merah integritas riset tersebut. Diamnya elite kampus adalah cermin kegagalan kepemimpinan moral, bukan sekadar kelalaian administratif.
Apakah skor rendah ini dianggap sepele? Ataukah praktik curang dalam riset sudah menjadi rahasia umum yang disembunyikan birokrasi kampus? Jika kampus dibiarkan sekadar mencetak ijazah tanpa integritas ilmiah, maka yang lahir bukan intelektual—melainkan operator sistem akademik palsu.
Pelanggaran riset kerap terjadi bukan karena kesalahan individu semata, tetapi karena lemahnya sistem dan budaya permisif dari atas. Jika lembaga seperti LPPM atau Senat Akademik tak menjalankan fungsinya, maka plagiarisme dan manipulasi data akan terus menjadi "normal baru" di dunia kampus.
USU dan kampus lain yang masuk zona merah harus sadar bahwa era tutup-tutupan telah berakhir. Reputasi tidak dibangun dengan pencitraan, tetapi dengan keberanian menghadapi masalah secara jujur dan transparan.
Integritas atau Ilusi Akademik
Kita sedang menghadapi ancaman senyap: riset dijadikan komoditas, integritas ilmiah diganti dengan target publikasi, dan gelar akademik kehilangan makna substansialnya. Jika pelanggaran dibiarkan, maka akan lahir generasi ilmuwan palsu: bergelar tinggi, tapi kosong nilai.
Ilmu yang dibangun di atas riset palsu hanyalah ngilmu—pseudo-pengetahuan yang tak membawa pencerahan, hanya pengulangan formalitas. Budaya ‘ngilmu’ ini telah menyusup dalam berbagai bentuk: publikasi instan, tesis copy-paste, hingga jurnal predator yang jadi alat tukar jabatan.
Oleh karena itu, pertarungan pertama dalam reformasi akademik harus dimulai dari integritas riset. Kampus harus kembali menjadi ruang suci pencarian kebenaran, bukan pasar gelap publikasi. Dan USU, sebagai institusi besar di luar Jawa, memikul tanggung jawab sejarah untuk membuktikan bahwa harapan itu masih ada—asal ada keberanian untuk bangun dari tidur panjang.
Penutup
Skor 0.400 bukan sekadar angka. Ia adalah alarm keras bahwa sistem akademik kita sedang sekarat. Jika kampus seperti USU bisa masuk zona merah, maka ini bukan lagi soal kasuistik, tetapi gejala sistemik kebangkrutan etika akademik.
Saatnya kampus mendengar kritik, bukan membungkamnya. Membuka data, bukan menutup-nutupinya. Membangun kembali sistem riset yang transparan dan etis, bukan sekadar mengejar akreditasi dan ranking.
Sebab jika integritas riset mati, maka kemajuan hanyalah fatamorgana. Peradaban sejati hanya bisa lahir dari kejujuran ilmiah—bukan statistik palsu dan jurnal kosong makna.
Demikian.
Tentang Penulis:
Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH adalah advokat, Ketua Forum Penyelamat USU, dan alumni Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Stambuk' 92
__________
Daftar Pustaka
Bourdieu, Pierre. The Logic of Practice. Stanford: Stanford University Press, 1990.
“Skandal Bangkit? Delapan Kampus Top Indonesia Masuk Zona Pelanggaran Riset.” Kalteng Pos, 2025. https://kaltengpos.jawapos.com
Siswanto, Yanuar. “Etika Akademik dan Pelanggaran Ilmiah di Perguruan Tinggi.” Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan 28, no. 2 (2023): 134–145.
Zubaidah, Ratna. Menguji Integritas Ilmiah: Perspektif Etika Penelitian. Jakarta: Prenadamedia Group, 2022.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Pedoman Pencegahan Pelanggaran Akademik di Perguruan Tinggi. Jakarta: Kemendikbudristek, 2021.
Pikiran Rakyat. “13 Kampus Indonesia Masuk Zona Risiko Integritas Riset.” Pikiran Rakyat Koran, Mei 2025. https://koran.pikiran-rakyat.com
Posting Komentar
0Komentar