Negara Republik Indonesia dan Problem Riba Dalam Perspektif Konstitusi, Filsafat Republik, dan Sistem Hukum"

Media Barak Time.com
By -
0

 



Pendahuluan

Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik.” Kalimat ini bukan sekadar rumusan normatif dalam konstitusi, melainkan cermin dari prinsip dasar kehidupan berbangsa yang menempatkan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi. Republik—sebagaimana digagas oleh para filsuf klasik seperti Plato, Aristoteles, dan Cicero—bukan hanya sistem pemerintahan, melainkan juga komitmen moral terhadap keadilan, partisipasi rakyat, dan penolakan terhadap eksploitasi dalam bentuk apa pun, termasuk dalam sektor ekonomi dan keuangan.


Di tengah semangat konstitusional tersebut, terdapat ironi besar dalam sistem hukum kita: masih bertahannya pasal-pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang secara eksplisit membolehkan praktik bunga atau riba. Pasal 1765, 1766, 1250, dan 1767 KUHPerdata adalah peninggalan kolonial Belanda yang masih menjadi rujukan dalam relasi utang-piutang hingga hari ini. Padahal, dalam sistem republik yang berakar pada keadilan sosial, praktik rente atau pengambilan keuntungan dari uang atas dasar uang sangat bertentangan dengan nilai kemanusiaan dan kepentingan publik.


Kontradiksi ini makin tajam ketika dikaitkan dengan Pancasila, khususnya sila pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa. Tidak ada satu pun agama yang diakui di Indonesia yang membenarkan praktik riba. Islam mengharamkannya secara mutlak; Kristen, Hindu, Buddha, bahkan ajaran Konghucu mengecam bunga uang sebagai bentuk penindasan ekonomi. Maka, melegalkan riba melalui pasal-pasal dalam KUHPerdata sejatinya adalah pengingkaran terhadap dasar teologis yang menjadi pondasi bangsa.


Kondisi ini bukan sekadar cacat etis, tetapi juga cacat konstitusional. Di satu sisi, negara mendeklarasikan dirinya sebagai republik yang berbasis pada keadilan sosial dan Ketuhanan; di sisi lain, hukum positif yang berlaku justru melanggengkan praktik yang secara moral, filosofis, dan spiritual ditolak. Lebih ironis lagi, ketimpangan ekonomi yang kian lebar di Indonesia seringkali didorong oleh sistem utang berbunga tinggi, mulai dari pinjaman bank hingga pinjaman online, yang melegalkan eksploitasi finansial dengan restu hukum warisan kolonial.


Sudah saatnya bangsa ini menyelaraskan kembali sistem hukumnya dengan cita konstitusi dan semangat republik. Peninjauan ulang pasal-pasal KUHPerdata yang melegalkan riba bukan sekadar agenda reformasi hukum, tetapi juga agenda moral dan ideologis. Republik sejati tidak berdiri di atas rente, tetapi di atas keadilan, solidaritas, dan keberpihakan terhadap rakyat yang lemah. Jika republik adalah rumah bersama, maka riba adalah api yang perlahan membakar fondasinya dari dalam.


Filsafat Republik: Tolak Riba sebagai Eksploitasi


Gagasan republik bukan semata-mata bentuk pemerintahan, melainkan cerminan dari tata moral dan keadilan dalam kehidupan publik. Dalam konteks ini, republik adalah sistem politik yang menolak kekuasaan yang eksploitatif, menempatkan keadilan sosial sebagai fondasi, dan menjamin keseimbangan antara kepentingan individu dan kepentingan umum. Sebuah republik sejati tak memberi ruang bagi praktik ekonomi yang menindas, seperti riba—karena riba bertolak belakang dengan nilai-nilai republik itu sendiri.


Para filsuf besar dunia sejak era Yunani-Romawi telah mengingatkan bahaya rente terhadap moral publik dan stabilitas sosial. Plato, dalam karya The Laws, menyatakan secara eksplisit bahwa “tak seorang pun boleh meminjamkan uang dengan bunga.” Ia melihat bunga sebagai bentuk perbudakan ekonomi yang melemahkan kohesi sosial dan merusak watak warga negara. Dalam Republik, Plato bahkan merancang struktur masyarakat yang menolak penumpukan kekayaan pribadi sebagai bentuk pengkhianatan terhadap negara.


Lebih keras lagi, Aristoteles dalam Politics menilai praktik riba sebagai bentuk kekayaan yang “paling tidak alami.” Bagi Aristoteles, uang adalah alat tukar, bukan alat untuk menghasilkan keuntungan dari uang itu sendiri. Ketika uang menghasilkan uang, maka relasi sosial menjadi transaksional dan merusak nilai-nilai komunitas. Ia memandang bahwa kekayaan yang diperoleh dari bunga adalah bentuk pemiskinan tersembunyi yang dilegalkan oleh sistem.


Pandangan serupa juga diungkapkan Marcus Tullius Cicero, negarawan dan filsuf Romawi, dalam De Officiis. Ia menyebut bahwa dari semua cara mencari keuntungan, memungut bunga adalah yang paling keji. Cicero menilai bahwa riba bukan hanya tidak bermoral, tetapi juga merusak sendi-sendi republik karena memperkaya segelintir orang dengan mengorbankan banyak orang. Dalam semangat res publica, Cicero menempatkan keadilan dan integritas sebagai prinsip utama tata pemerintahan yang baik.


Jika republik adalah sistem yang menolak eksploitasi dan menjunjung keadilan, maka riba adalah antitesis dari cita-cita republik. Riba memperkuat kesenjangan sosial, memiskinkan masyarakat secara struktural, dan menciptakan ketergantungan ekonomi yang panjang. Data dari World Bank tahun 2023 menunjukkan bahwa di negara-negara berkembang, beban bunga terhadap masyarakat miskin menyumbang hingga 35% dari total utang rumah tangga. Ini bukan sekadar masalah ekonomi, tetapi masalah etika publik.


Lebih dari itu, sistem rente modern telah berevolusi menjadi instrumen penindasan global. Lembaga-lembaga keuangan internasional seperti IMF dan World Bank, melalui skema pinjaman berbunga, seringkali menjerat negara-negara miskin dalam lingkaran utang tak berujung. Di tingkat domestik, fenomena pinjaman online dengan bunga mencekik menunjukkan bagaimana praktik riba tumbuh subur di tengah minimnya perlindungan hukum dan ketimpangan ekonomi.


Ironinya, sistem hukum Indonesia masih mewarisi pasal-pasal dalam KUHPerdata yang melegalkan bunga—bertentangan langsung dengan semangat konstitusional republik Indonesia. Dalam terang pemikiran Plato, Aristoteles, dan Cicero, bangsa ini seharusnya melakukan revisi fundamental terhadap sistem hukum yang memungkinkan praktik rente berlangsung sah. Republik sejati tidak mengizinkan rakyatnya diperbudak oleh bunga, sebab republik bukan hanya bangunan negara, tetapi juga jiwa keadilan yang hidup dalam setiap relasi sosial dan ekonomi.


Pancasila dan Penolakan Teologis terhadap Riba


Sila pertama Pancasila, “Ketuhanan Yang Maha Esa,” bukan sekadar asas formal kenegaraan, melainkan fondasi etis yang menyinari seluruh tatanan hukum, sosial, dan politik Indonesia. Sebagai dasar negara, sila ini menuntut agar setiap kebijakan dan norma hukum selaras dengan prinsip moral yang hidup dalam ajaran agama-agama di Indonesia. Artinya, hukum nasional tidak boleh melegalkan praktik yang secara teologis dan etis ditolak oleh agama-agama yang diakui di negeri ini.


Riba, atau praktik pengambilan bunga atas utang, adalah contoh paling nyata dari ketidaksesuaian antara hukum positif dan nilai teologis bangsa. Dalam Islam, larangan riba sangat tegas dan eksplisit. Al-Qur’an menyatakan, “Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS. Al-Baqarah: 275), bahkan menyamakan riba dengan bentuk penindasan ekonomi yang pantas diperangi (QS. Al-Baqarah: 278–279). Lebih jauh, sistem keuangan Islam mendorong akad yang berbasis keadilan dan risiko bersama, bukan keuntungan sepihak yang menindas.


Dalam tradisi Kristen, riba juga dipandang sebagai bentuk kejahatan sosial. Kitab Keluaran 22:25 menulis, “Jika engkau meminjamkan uang kepada salah seorang dari umat-Ku… maka janganlah engkau berlaku sebagai seorang penagih hutang; janganlah engkau bebankan bunga uang kepadanya.” Larangan ini tidak hanya bersifat moral, tetapi juga merupakan panggilan untuk menciptakan sistem ekonomi yang berbelas kasih dan adil. Di masa Abad Pertengahan, Gereja Katolik bahkan menjatuhkan sanksi terhadap praktik riba.


Tradisi Hindu, Buddha, dan Konghucu pun tidak diam. Hindu melalui kitab Manusmriti memperingatkan terhadap pinjaman yang menindas dan mendorong pinjam-meminjam berbasis dharma atau kebaikan. Dalam ajaran Buddha, prinsip Ahimsa (anti kekerasan) dan Dana (kedermawanan) menolak sistem keuangan yang memperkaya diri dengan cara memiskinkan orang lain. Ajaran Konghucu mengedepankan harmoni sosial dan keadilan antar manusia, sehingga memandang bunga atas utang sebagai bentuk pelanggaran terhadap keharmonisan itu.


Secara normatif, Indonesia tidak sekadar negara beragama, tetapi negara yang berdasarkan nilai Ketuhanan. Oleh karena itu, keberadaan pasal-pasal dalam KUHPerdata yang melegalkan bunga atas pinjaman justru bertentangan secara prinsipil dengan sila pertama Pancasila. Jika semua agama menolak riba atas dasar ajaran moral dan spiritual, maka negara yang mendasarkan dirinya pada Ketuhanan tak semestinya melegalkannya dalam sistem hukum.


Ketidaksinkronan ini harus menjadi perhatian serius dalam reformasi hukum nasional. Pancasila sebagai norma dasar menghendaki hukum yang tidak hanya adil secara prosedural, tetapi juga etis secara substansial. Melegalisasi riba sama dengan mengkhianati semangat Ketuhanan dalam Pancasila. Sebab, Ketuhanan yang sejati adalah yang membebaskan manusia dari ketertindasan, termasuk penindasan dalam bentuk rente yang kini diformalkan melalui hukum warisan kolonial.


Problem Normatif: KUHPerdata Melegalkan Riba


Di tengah semangat konstitusi yang menjunjung tinggi keadilan sosial dan nilai Ketuhanan, ironi justru ditemukan dalam tubuh hukum nasional. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), sebagai warisan kolonial Belanda, masih memuat sejumlah pasal yang secara terang-terangan melegalkan praktik riba. Padahal, sebagai negara hukum yang berdasarkan UUD 1945 dan Pancasila, setiap produk hukum seharusnya tidak bertentangan dengan nilai-nilai fundamental konstitusi.


Empat pasal dalam KUHPerdata menjadi sorotan utama. Pasal 1765 memperbolehkan bunga atas utang selama diperjanjikan secara tegas. Pasal 1766 bahkan menetapkan bunga berdasarkan kebiasaan umum apabila tidak disebutkan secara eksplisit dalam perjanjian. Lebih jauh, Pasal 1250 mengharuskan debitur yang lalai membayar bunga, sekalipun tidak ada kesepakatan sebelumnya. Terakhir, Pasal 1767 memberikan legitimasi terhadap bunga berbunga (kompon) jika disepakati. Ini bukan sekadar norma teknis, tetapi bentuk sistematisasi eksploitasi keuangan dalam kerangka hukum.


Permasalahan muncul karena pasal-pasal tersebut tidak pernah mengalami koreksi substansial sejak kemerdekaan. KUHPerdata tetap dijadikan rujukan utama dalam perkara perdata, meskipun keberadaannya sering kali bertentangan secara prinsipil dengan semangat hukum nasional yang berpijak pada konstitusi. Dalam hierarki peraturan perundang-undangan (berdasarkan UU No. 12 Tahun 2011 jo. UU No. 13 Tahun 2022), posisi KUHPerdata berada di bawah Undang-Undang Dasar 1945. Maka, apabila isi KUHPerdata bertentangan dengan UUD, ia seharusnya tidak lagi berlaku atau setidaknya perlu direvisi.


Spirit Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 yang menetapkan bentuk republik, serta sila pertama Pancasila tentang Ketuhanan Yang Maha Esa, menolak praktik rente atau bunga yang eksploitatif. Sementara itu, keberadaan pasal-pasal riba dalam KUHPerdata justru menunjukkan bahwa sistem hukum Indonesia masih belum sepenuhnya merdeka secara ideologis. Legalitas riba dalam KUHPerdata adalah sisa dari sistem hukum kolonial yang mengabaikan nilai keadilan sosial, spiritualitas, dan kedaulatan rakyat sebagai pemilik sah republik ini.


Maka, pembiaran terhadap pasal-pasal tersebut merupakan bentuk kontradiksi normatif yang serius dalam sistem hukum nasional. Ini bukan semata problem legal-formal, tetapi problem konstitusional yang menggerogoti integritas negara hukum Indonesia. Sudah saatnya pemerintah dan DPR mengkaji ulang substansi KUHPerdata dan melakukan harmonisasi dengan konstitusi. Negara republik tidak seharusnya membiarkan hukum yang melanggengkan ketidakadilan, apalagi atas nama kepastian hukum yang bersumber dari zaman penjajahan.


Analisis Konstitusional


Dalam teori hierarki hukum yang dikembangkan oleh Hans Kelsen, sistem hukum digambarkan sebagai sebuah piramida norma yang tersusun secara berjenjang dari yang tertinggi hingga yang terendah. Pada puncaknya adalah Grundnorm—dalam konteks Indonesia adalah Undang-Undang Dasar 1945. Setiap norma di bawahnya, termasuk undang-undang, peraturan pemerintah, hingga perjanjian keperdataan, harus tunduk dan tidak boleh bertentangan dengan norma dasar tersebut. Jika terjadi pertentangan, maka norma yang lebih rendah harus dinyatakan tidak sah atau tidak berlaku secara hukum.


Dari perspektif ini, keberadaan pasal-pasal dalam KUHPerdata yang melegalkan riba (Pasal 1765, 1766, 1250, dan 1767) jelas menciptakan inkonsistensi vertikal dalam struktur norma. UUD 1945 melalui Pasal 1 ayat (1) menegaskan bahwa Indonesia adalah negara republik, yang secara filosofis menolak sistem ekonomi yang eksploitatif. Lebih dari itu, Pancasila sebagai dasar ideologis bangsa, dalam sila pertama—Ketuhanan Yang Maha Esa—menjadi fondasi moral yang tidak membenarkan riba, sebagaimana dilarang oleh seluruh agama-agama yang hidup di Indonesia.


Dalam pendekatan Kelsenian, norma-norma dalam KUHPerdata tersebut dapat dikualifikasi sebagai norma yang invalid secara konstitusional. Sebab, ketika norma hukum yang lebih rendah—seperti pasal-pasal tentang bunga dalam KUHPerdata—bertentangan secara substansial dengan norma dasar dalam konstitusi, maka norma tersebut telah kehilangan legitimasi sistemiknya. Hal ini menimbulkan anomali dalam tatanan hukum nasional yang dapat mencederai prinsip negara hukum (Rechtsstaat), karena memberi tempat bagi eksploitasi ekonomi yang secara moral, filosofis, dan konstitusional ditolak.


Kritik atas kontradiksi ini bukan sekadar bersifat teoritik, tetapi berdampak langsung pada keadilan sosial dan moral publik. Legalitas riba tidak hanya melanggar kesucian prinsip Ketuhanan dan keadilan, tetapi juga memperkuat struktur ketimpangan ekonomi di masyarakat. Dalam kerangka Kelsen, hal ini menunjukkan bahwa sistem hukum belum self-coherent—belum memiliki keselarasan internal antara nilai dasar dan perangkat normatifnya. Ini adalah bentuk Stufenbau der Rechtsordnung yang rusak, karena fondasi moral dan konstitusional negara tidak tercermin dalam norma aplikatif yang mengatur relasi sosial-ekonomi rakyat.


Oleh karena itu, dalam terang teori Hans Kelsen dan prinsip konstitusional Indonesia, pasal-pasal KUHPerdata yang melegitimasi praktik riba harus segera ditinjau kembali, baik melalui mekanisme legislative review oleh DPR dan pemerintah, maupun judicial review oleh Mahkamah Konstitusi. Sebab jika dibiarkan, maka cacat normatif ini akan terus menjadi batu sandungan dalam upaya membangun hukum nasional yang berdaulat, berkeadilan, dan selaras dengan ruh konstitusi republik Indonesia.


Penutup


Revisi menyeluruh terhadap KUHPerdata bukan sekadar soal pembaruan teknis, melainkan langkah ideologis untuk menyelamatkan marwah hukum nasional. Hukum perdata Indonesia harus dibangun di atas pijakan Pancasila dan UUD 1945, bukan di atas reruntuhan norma kolonial yang melegalkan eksploitasi melalui riba. Relasi utang-piutang yang adil tanpa unsur rente adalah keniscayaan dalam sistem hukum yang menjunjung prinsip Ketuhanan, keadilan sosial, dan kemanusiaan yang adil dan beradab.


Langkah hukum lebih lanjut dapat dilakukan melalui judicial review terhadap pasal-pasal riba dalam KUHPerdata ke Mahkamah Konstitusi. Ketika norma hukum yang lebih rendah bertentangan secara substansial dengan konstitusi, maka konstitusilah yang harus dikedepankan. Membiarkan riba tetap hidup dalam sistem hukum kita bukan hanya mencederai rasa keadilan rakyat, tetapi juga merusak integritas republik sebagai bentuk negara. Republik tanpa keadilan hanyalah ilusi berbingkai formalitas.


> Ini bukan semata pengkhianatan terhadap rakyat—lebih dari itu, ini adalah pengkhianatan terhadap republik itu sendiri. Republik Indonesia lahir bukan untuk melestarikan pola hiduprente, tetapi untuk membebaskan manusia dari segala bentuk penindasan, termasuk penindasan ekonomi dan finansial yang dilegalkan hukum. Sudah waktunya hukum Indonesia bangkit dari tidur kolonialnya, menuju tatanan hukum yang bukan hanya sah secara prosedural, tetapi juga adil secara substansial,luhur secara moral, anti riba dan rente.


Demikian


Tentang Penulis:

Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH adalah advokat,  pemerhati isu konstitusi serta hak asasi manusia, dan Wakil Sekretaris Bidang Hukum dan HAM MW KAHMI Sumut.

______________


Daftar Pustaka 


Al-Qur’an. Surah Al-Baqarah [2]: 275–279.


Aristotle. Politics. Translated by Benjamin Jowett. New York: Dover Publications, 2000.


Asshiddiqie, Jimly. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: Konstitusi Press, 2006.


Cicero, Marcus Tullius. On Duties (De Officiis). Translated by Walter Miller. Cambridge, MA: Harvard University Press, 1913.


Hosen, Nadirsyah. Sharia and Constitutional Reform in Indonesia. Singapore: ISEAS Publishing, 2007.


Harvey, Peter. An Introduction to Buddhist Ethics. Cambridge: Cambridge University Press, 2000.


Republik Indonesia. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW). Jakarta: Sinar Grafika, 2017.


Kelsen, Hans. General Theory of Law and State. Translated by Anders Wedberg. Cambridge, MA: Harvard University Press, 1945.


Lindsey, Tim, ed. Indonesia: Law and Society. 3rd ed. Annandale: Federation Press, 2018.


Plato. The Laws. Translated by Thomas L. Pangle. Chicago: University of Chicago Press, 1988.


Republik Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jakarta: Sekretariat Negara, 2020.


Republik Indonesia. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek). Jakarta: Citra Umbara, 2008.


Rahardjo, Satjipto. Hukum Progresif: Hukum untuk Manusia. Jakarta: Kompas, 2009.


Sharma, Arvind. Hinduism and Its Sense of History. New Delhi: Oxford University Press, 2003.


The Holy Bible. Exodus 22:25, New International Version.


Tu, Wei-Ming. Confucian Ethics Today: The Singapore Challenge. Singapore: Curriculum Development Institute, 1984.


World Bank. Global Financial Development Report 2023: Financial Inclusion and the Future of Finance. Washington, DC: World Bank Group, 2023.

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)