Pendahuluan
“Negara adalah alat untuk mensejahterakan rakyat. Maka sistem pemerintahan, baik federasi maupun kesatuan, hanya sebaik sejauh mana ia menjawab kebutuhan dasar manusia.”
Perdebatan mengenai bentuk negara—apakah federasi atau kesatuan dengan otonomi daerah—kembali mencuat dalam diskursus publik, terutama ketika disparitas pembangunan dan ketidakadilan fiskal kian terasa lebar dari pusat ke daerah. Persoalan ini bukan sekadar soal format institusional, melainkan pertanyaan mendasar: sistem mana yang lebih mampu menghadirkan kesejahteraan yang merata, adil, dan berkelanjutan bagi seluruh rakyat Indonesia?
Menariknya, isu ini pernah mengemuka secara serius di Sumatera Utara. Sekitar tahun 1999, Badko Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Sumatera Utara menggelar Seminar Nasional bertajuk "Negara Federasi". Hampir seluruh pembicara dari Jakarta—yang mewakili elit intelektual dan institusi negara—menyatakan ketidaksetujuannya terhadap gagasan Indonesia sebagai negara serikat. Namun, suara berbeda datang dari pembicara lokal yang lebih memahami denyut kebutuhan daerah. Mereka cenderung mendukung federalisme, dengan argumen bahwa negara kesatuan dengan sistem otonomi daerah selama era Orde Lama dan Orde Baru terbukti gagal mensejahterakan rakyat di daerah.
Kritik terhadap sistem sentralistik juga diperkuat oleh ilmuwan politik seperti Jeffrey Winters. Dalam telaahnya tentang oligarki di Indonesia, ia menyoroti bagaimana sumber daya alam (SDA) telah dikeruk habis-habisan, namun hasilnya tidak kembali ke rakyat, melainkan diputar dalam lingkaran kekuasaan keluarga dan kroni penguasa—anak, menantu, ponakan, hingga istri.
Dari sini, jelas bahwa perdebatan soal federasi atau otonomi tidak bisa dilepaskan dari realitas ketimpangan struktural dan kegagalan distribusi hasil kekayaan nasional. Maka, untuk menjawab siapa yang lebih mensejahterakan rakyat Indonesia—federasi atau otonomi daerah—kita perlu meninjau kembali konsep dasar, pelaksanaan, dan dampak nyata dari masing-masing sistem dalam konteks Indonesia yang majemuk dan historisnya yang penuh luka kekuasaan.
Federalisme: Kekuatan Lokal, Risiko Ketimpangan
Federalisme, sebagaimana dijelaskan Cornell Law School (2024), adalah sistem pemerintahan dengan pembagian kekuasaan konstitusional antara pemerintah pusat dan negara bagian, yang masing-masing berdiri sebagai entitas berdaulat (dual sovereignty). Supremasi hukum tetap berada di tingkat federal, sebagaimana ditegaskan dalam Supremacy Clause Pasal VI Konstitusi Amerika Serikat. Model ini memberi ruang luas bagi negara bagian untuk mengatur urusan domestik—dari pendidikan, lingkungan, hingga pajak daerah—dengan fleksibilitas penuh.
Contoh keberhasilan federalisme dapat dilihat di California yang berhasil menetapkan kebijakan energi hijau dan standar pendidikan progresif, jauh melampaui kebijakan nasional AS. Namun, sistem yang sama juga menyisakan ketimpangan nyata: Mississippi dan Alabama, negara bagian yang miskin dan konservatif, justru tertinggal dalam infrastruktur, upah minimum, dan layanan publik. Federalisme membuka ruang inovasi, tapi sekaligus menciptakan jurang antarwilayah—terutama ketika kapasitas ekonomi dan politik daerah tidak merata.
Dalam konteks Indonesia, penerapan model federalisme bisa menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, Sumatera Barat bisa menetapkan kebijakan fiskal yang berpihak pada UMKM lokal, dan Papua bisa mengatur eksploitasi energi secara berdaulat. Namun di sisi lain, potensi disparitas antarprovinsi—antara yang kaya sumber daya dan yang miskin kapasitas kelembagaan—akan meningkat drastis. Ketika sistem belum matang dan integrasi nasional belum sepenuhnya kuat, federalisme bisa membuka celah disintegrasi sosial dan politik yang berbahaya.
Lebih jauh, gagasan federalisme di Indonesia kerap dicurigai sebagai warisan kolonial yang disisipkan dalam bentuk negara Republik Indonesia Serikat (RIS) pasca Konferensi Meja Bundar 1949. Trauma historis ini memperkuat stereotip bahwa federalisme adalah “setting-an Belanda” untuk melemahkan pusat dan memecah kekuatan nasional. Tak heran, gagasan federalisme kerap ditolak mentah-mentah bukan karena argumen rasional, tetapi karena stigma sejarah yang belum selesai. Padahal, substansi federalisme hari ini bukan pada bentuknya, melainkan pada efisiensi dan keadilan distribusi kekuasaan dan kesejahteraan.
Maka, sebelum melangkah ke arah federalisme, pertanyaan mendasar yang harus dijawab adalah: apakah daerah-daerah di Indonesia telah memiliki kapasitas fiskal, kelembagaan, dan tata kelola yang mumpuni untuk berdiri sejajar dalam struktur berdaulat? Jika jawabannya belum, maka federalisme bukan solusi, tapi justru bisa menjadi ancaman baru—yang tidak hanya memperlebar ketimpangan, tapi juga memperlemah solidaritas nasional yang telah dibangun dengan susah payah.
Negara Kesatuan dengan Otonomi: Solusi Tengah yang Masih Rapuh
Indonesia memilih model negara kesatuan dengan otonomi daerah sebagai jalan kompromi antara kekuatan pusat dan kebutuhan lokal. Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 menjadi kerangka legal bagi daerah untuk mengelola sektor publik seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Namun, meski kewenangan daerah diakui, semua tetap berjalan di bawah kendali Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam praktiknya, desentralisasi yang dijalankan adalah asimetris—penuh ketidakseimbangan, tergantung pada sejarah, kondisi sosial, dan posisi politik masing-masing daerah, seperti terlihat pada DKI Jakarta, Aceh, dan Papua.
Sayangnya, otonomi yang diharapkan menjadi ruang demokrasi justru sering berubah menjadi ladang oligarki lokal. Data Komisi Pemberantasan Korupsi (2023) menunjukkan bahwa lebih dari 60% kepala daerah yang ditangkap karena korupsi terjerat karena menyalahgunakan dana otonomi untuk kepentingan pribadi, proyek fiktif, dan pembentukan dinasti politik. Di Sumatera Utara, dalam dua dekade terakhir, terdapat setidaknya empat kabupaten di mana kekuasaan daerah dikuasai dari ayah ke anak—bukan berdasarkan prestasi, tapi warisan kekuasaan. Desentralisasi pun bergeser menjadi penguasaan lokal yang tak kalah otoriter dari pusat.
Fenomena ini semakin parah dalam satu dekade terakhir pemerintahan Presiden Joko Widodo. Alih-alih memperkuat otonomi, pemerintahan pusat justru menggunakan Proyek Strategis Nasional (PSN) sebagai cara baru melakukan kontrol ekonomi atas daerah. Otonomi hanya menjadi kamuflase, sementara kebijakan strategis—terutama dalam hal pengelolaan sumber daya alam—semakin terkonsentrasi di lingkaran elite pusat. Nama-nama dalam jaringan bisnis keluarga dan kroni Presiden Jokowi, sebagaimana ditelusuri oleh lembaga investigasi internasional OCCRP, mencuat sebagai aktor utama dalam penguasaan lahan, tambang, dan proyek infrastruktur.
Kritik terhadap kecenderungan sentralistik ini pun kerap dibungkam dengan cara represif. Kasus kriminalisasi terhadap Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar, yang mengungkap keterlibatan pejabat tinggi negara dalam bisnis tambang, menjadi penanda bahwa ruang otonomi bukan hanya sempit, tapi juga berbahaya bagi warga yang berani bersuara. Ketika pusat menjadi otoriter dan daerah dikuasai dinasti, rakyat tidak punya ruang untuk hidup merdeka. Otonomi kehilangan makna sejatinya sebagai mekanisme keseimbangan antara kekuasaan dan kesejahteraan.
Dalam situasi seperti ini, pertanyaan yang paling mendasar harus kembali diajukan: apakah otonomi daerah di Indonesia adalah sarana untuk mensejahterakan rakyat, atau justru alat bagi elite—baik lokal maupun nasional—untuk melanggengkan kekuasaan dan memperkaya diri? Tanpa reformasi menyeluruh, otonomi tidak lebih dari slogan kosong dalam struktur negara kesatuan yang justru makin sentralistik dan koruptif.
Sistem yang Relevan untuk Indonesia: Federalisme atau Ilusi Otonomi.
Secara konseptual, federalisme sebagaimana dijelaskan oleh Cornell Law (2024) memberi ruang distribusi kekuasaan secara konstitusional antara pemerintah pusat dan negara bagian—dual sovereignty—di mana daerah bukan sekadar pelaksana, tetapi pemegang kedaulatan atas urusan domestiknya. Namun bagi Indonesia yang multietnis, penuh sejarah konflik separatis, dan memiliki luka masa lalu berupa trauma negara federasi bentukan Belanda (RIS 1949), gagasan ini masih dianggap terlalu mahal dan berisiko bagi integrasi nasional.
Namun mari kita jujur: negara kesatuan dengan otonomi daerah selama lebih dari 75 tahun tak kunjung membuktikan diri sebagai sistem yang mensejahterakan rakyat. Di era Orde Lama, pembangunan disandera oleh kepentingan ideologis. Di masa Orde Baru, sentralisme kekuasaan membuat daerah sekadar objek eksploitasi sumber daya. Reformasi 1998 yang menjanjikan otonomi nyatanya hanya menurunkan korupsi dari pusat ke daerah. Otonomi daerah hari ini lebih banyak menjadi instrumen pelanggengan dinasti politik ketimbang mekanisme pemerataan pembangunan.
Menurut Laporan Indeks Demokrasi Indonesia (BPS, 2023), skor partisipasi publik daerah menurun, sementara indeks korupsi tetap tinggi. Pengawasan anggaran lemah, dan sebagian besar APBD digunakan untuk belanja pegawai dan proyek infrastruktur yang tidak berdampak langsung pada kesejahteraan warga. Otonomi yang dijanjikan oleh undang-undang hanya berhenti di atas kertas; praktiknya tetap dikendalikan oleh logika kekuasaan dari pusat. Bahkan proyek-proyek besar seperti food estate, infrastruktur jalan, dan izin tambang lebih banyak diputuskan di Jakarta tanpa konsultasi substantif dengan masyarakat lokal.
Dalam situasi seperti ini, membicarakan federalisme bukan tabu, tetapi rasional. Tidak untuk mengulang skenario RIS yang gagal, melainkan untuk mengembalikan kedaulatan rakyat di daerah. Ketika pusat gagal menjadi pelayan publik dan justru menjadi tuan atas sumber daya nasional, maka membagi ulang kekuasaan bisa menjadi cara untuk menyelamatkan republik. Negara tidak bisa terus berjalan di atas asumsi bahwa rakyat daerah akan sabar menunggu keadilan yang tak kunjung datang.
Dengan kata lain, bukan bentuk negara yang harus diubah, tetapi cara negara bekerja—dari Jakarta sampai ke pelosok desa. Apakah kekuasaan melayani atau menghisap? Apakah pembangunan disusun bersama rakyat atau ditumpahkan seperti proyek? Tanpa jawaban tegas atas pertanyaan-pertanyaan ini, sistem apa pun—federasi atau kesatuan—hanya akan menjadi alat elite untuk memperpanjang kekuasaan, bukan kendaraan menuju kesejahteraan.
Penutup
Tujuh puluh lima tahun otonomi daerah berjalan, tetapi buahnya pahit: utang negara menumpuk, dinasti politik mengakar, dan lembaga seharusnya independen seperti Mahkamah Konstitusi justru ditarik ke pusaran konflik kepentingan keluarga yang haus kekuasaan. Alih-alih mewujudkan pemerintahan yang dekat dengan rakyat, otonomi daerah justru menjadi ruang subur bagi penghisapan baru—di mana kepolisian dan militer terlibat dalam urusan sipil, dan reforma agraria yang dijanjikan untuk rakyat malah dibajak menjadi proyek legalisasi penguasaan tanah oleh elite pemilik modal. Tak mengherankan, nama Presiden Joko Widodo masuk dalam daftar hitam OCCRP sebagai salah satu pemimpin paling korup di dunia—sebuah ironisme di tengah jargon “pembangunan nasional.”
Kini waktunya kita hentikan pemujaan buta terhadap bentuk negara. Negara kesatuan dengan otonomi yang dikendalikan elite ibarat sistem sentralisme berkedok lokalitas. Ia hanya memindahkan kerusakan dari Jakarta ke kabupaten, dari oligarki nasional ke oligarki daerah. Sudah saatnya mempertimbangkan sistem baru: federasi berbasis distrik, yang membuka ruang bagi kedaulatan rakyat secara langsung—bukan melalui partai nasional yang korup, tetapi melalui kanal politik lokal yang akuntabel. Federasi bukan ancaman terhadap NKRI, melainkan tawaran untuk merestorasi keadilan dari bawah, dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat.
Indonesia tak kekurangan sumber daya—yang hilang adalah keberanian untuk keluar dari lingkaran status quo. Jika kita terus berpegang pada sistem yang hanya menebalkan ketimpangan dan mengabadikan korupsi struktural, maka yang kita lindungi bukan negara, melainkan mesin penindasan yang dibungkus bendera nasionalisme semu. Negara hanyalah instrumen. Tujuan akhirnya adalah rakyat Indonesia yang merdeka, adil, dan sejahtera. Tanpa itu, bentuk negara hanyalah kulit, bukan isi.
Demikian.
Penulis Tentang Penulis:
Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH adalah advokat, pemerhati isu konstitusi serta hak asasi manusia, dan Wakil Sekretaris Bidang Hukum dan HAM MW KAHMI Sumut.
_____________
Daftar Pustaka
Cornell Law School. “Federalism.” Legal Information Institute, 2024. https://www.law.cornell.edu/wex/federalism.
Jeffrey A. Winters. Oligarchy. Cambridge: Cambridge University Press, 2011.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Laporan Tahunan KPK 2023. Jakarta: KPK RI, 2024.
OCCRP (Organized Crime and Corruption Reporting Project). “Jokowi Masuk Daftar Hitam Pemimpin Korup Dunia Versi OCCRP.” Diakses 8 Juli 2025. https://www.hukumonline.com/berita/a/mengenal-lembaga-occrp-yang-memasukkan-jokowi-di-daftar-hitam-pemimpin-korup-2024-lt677656f946497/
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244. Jakarta: Sekretariat Negara.
Wahyudi, Djoko. Desentralisasi dan Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan. Yogyakarta: UII Press, 2017.
Rodden, Jonathan. Hamilton’s Paradox: The Promise and Peril of Fiscal Federalism. Cambridge: Cambridge University Press, 2006.
Komisi Pemberantasan Korupsi. Laporan Tahunan 2023. Jakarta: KPK RI.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Posting Komentar
0Komentar