Pendahuluan
Ketika teknologi menyentuh hampir semua aspek kehidupan—dari memesan ojek hingga membayar pajak secara daring—publik mulai mempertanyakan mengapa sistem pemilu Indonesia masih bergantung pada cara konvensional yang nyaris tak berubah sejak 1955. Apakah negara ini terlalu takut untuk maju, atau justru terlalu nyaman dengan sistem yang bisa dimanipulasi secara manual? Di tengah revolusi digital, electronic voting (e-voting) menawarkan mimpi efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas. Tapi benarkah itu solusi, atau sekadar kosmetik teknologi di wajah demokrasi yang luka?
Narasi pemerintah dan lembaga seperti BRIN menyambut e-voting sebagai langkah menuju pemilu yang lebih akurat dan mudah. Namun kita tak boleh terpukau oleh retorika modernisasi semata. Di balik janji efisiensi, tersimpan risiko besar: keterbatasan infrastruktur, ketimpangan digital, dan potensi manipulasi siber yang jauh lebih sulit dideteksi dibanding penggelembungan suara di TPS. Di negara dengan indeks literasi digital menengah dan jaringan internet timpang seperti Indonesia, e-voting bisa dengan mudah menjadi alat eksklusif, bukan inklusif.
Yang lebih mengkhawatirkan, e-voting dapat menciptakan demokrasi yang tersandera oleh black box technology. Sistem digital yang tertutup, tidak dapat diaudit publik, dan dikendalikan oleh pihak vendor swasta membuka ruang gelap manipulasi berbasis algoritma. Dalam konteks ini, suara rakyat bisa digantikan oleh desain kode—bukan oleh kehendak politik warga negara. Tanpa audit trail yang dapat diverifikasi independen, transparansi menjadi ilusi, dan legitimasi pemilu bisa runtuh hanya karena bug, bukan karena suara.
Kita tentu tidak anti-teknologi. Tapi demokrasi tidak bisa dilandaskan pada kecepatan, melainkan pada kepercayaan. Sebelum berbicara e-voting secara nasional, negara harus menyelesaikan pekerjaan rumahnya: infrastruktur digital merata, penguasaan teknologi dalam negeri, pengamanan siber yang kokoh, dan pendidikan literasi digital warga. Tanpa itu semua, e-voting bukan solusi demokratis, melainkan risiko sistemik yang bisa membuat kita kehilangan substansi pemilu: kedaulatan rakyat.
E-Voting: Terobosan Kemajuan Diera Digital
Secara teoritis, e-voting menjanjikan tiga hal utama: kecepatan, efisiensi, dan transparansi. Teknologi ini diyakini dapat memangkas waktu penghitungan suara, mengurangi human error, dan mempercepat publikasi hasil. Negara-negara seperti Estonia sejak 2005 telah mengadopsi e-voting secara penuh, di mana warganya cukup masuk ke portal digital menggunakan smart ID card dan memberikan suara dalam hitungan detik—bahkan dari luar negeri. Pemilu pun berlangsung cepat, minim biaya logistik, dan nyaris tanpa sengketa administratif.
Namun, kesuksesan Estonia tidak terjadi secara ajaib. Ia berdiri di atas fondasi kokoh berupa infrastruktur digital nasional yang merata, sistem identitas digital yang kuat, serta literasi digital masyarakat yang sangat tinggi. Tak kalah penting, kepercayaan publik terhadap institusi negara dan partai politik berada di atas rata-rata global. Di sinilah letak perbedaan fundamental dengan Indonesia: kita belum menyentuh tahap prasyarat mendasar yang memungkinkan e-voting berlangsung secara kredibel dan inklusif.
Tak hanya Estonia, beberapa negara besar lain juga telah bereksperimen dengan e-voting dalam bentuk berbeda. India, misalnya, menggunakan Electronic Voting Machine (EVM) dalam pemilu nasionalnya sejak 2004. EVM India tidak terhubung ke internet, namun tetap menimbulkan kekhawatiran akan manipulasi karena sistemnya bersifat proprietary dan tertutup. Brasil mempraktikkan e-voting lewat urnas eletrônicas yang dikembangkan secara nasional dan telah digunakan sejak 1996, tetapi tetap menghadapi tantangan keamanan data dan kepercayaan publik yang fluktuatif.
Di Filipina, e-voting dilakukan melalui sistem automated election berbasis pemindaian optik yang mempercepat penghitungan suara, namun tetap menyisakan polemik soal transparansi vendor dan keterlibatan asing. Sementara di Amerika Serikat, e-voting digunakan secara terbatas di beberapa negara bagian, tetapi pasca skandal peretasan pemilu 2016, muncul gelombang kritik yang menuntut kembali ke sistem paper ballot sebagai langkah pengamanan demokrasi. Artinya, bahkan di negara maju, e-voting bukan tanpa cela—dan kritiknya justru datang dari kalangan ilmuwan komputer dan aktivis demokrasi.
Indonesia harus belajar dari praktik-praktik global ini: bahwa e-voting bukan sekadar adopsi teknologi, melainkan transformasi sistemik yang membutuhkan kejujuran politik, penguasaan teknologi nasional, serta penguatan kepercayaan publik. Tanpa itu semua, e-voting hanya akan menjadi ilusi kemajuan—mempercepat proses administratif, tapi memperluas jurang kecurigaan dan delegitimasi. Teknologi boleh canggih, tapi jika dijalankan dalam sistem yang korup, suara rakyat tetap bisa disabotase—hanya saja dengan lebih senyap dan lebih cepat.
Indonesia: Infrastruktur Lemah, Politik Biaya Mahal
Gagasan e-voting memang terdengar revolusioner, tetapi di Indonesia, revolusi tanpa fondasi adalah bencana yang menunggu waktu. Dengan lebih dari 204 juta pemilih tersebar di 38 provinsi dan ribuan pulau, Indonesia menghadapi tantangan geografis dan teknologis yang tak bisa diremehkan. E-voting bukan sekadar aplikasi yang bisa diunduh—ia menuntut ekosistem digital yang matang: jaringan internet yang stabil, perangkat keras yang menyeluruh, dan keamanan siber tingkat tinggi. Sayangnya, kenyataan berkata lain.
Data Badan Pusat Statistik (2023) mencatat bahwa 63% desa di Indonesia masih mengalami koneksi internet yang lambat atau tidak stabil. Ini bukan sekadar soal kecepatan akses, tapi menyangkut hak dasar warga negara dalam sistem demokrasi: hak untuk memilih secara setara. Ketika e-voting diterapkan dalam konteks infrastruktur timpang, maka yang terjadi bukan pemilu digital yang modern, melainkan pemilu diskriminatif berbasis sinyal.
Lebih jauh, persoalan bukan hanya teknis, tapi juga psikologis dan sosiologis. Survei LSI (2024) menunjukkan 52% pemilih Indonesia belum percaya pada sistem pemilu digital sebagai pengganti coblos manual. Ketidakpercayaan ini tidak datang dari ruang hampa, tapi lahir dari sejarah panjang manipulasi pemilu, konflik hasil, dan sistem IT yang tidak akuntabel—seperti yang terjadi pada aplikasi SIREKAP Pemilu 2024 yang menuai kontroversi akibat salah input dan keterbatasan verifikasi publik.
Tingkat literasi digital Indonesia yang berada di peringkat ke-52 dari 70 negara (IMD, 2023) juga menjadi alarm keras. Literasi digital bukan sekadar bisa menggunakan gawai, tapi soal kemampuan memahami, mengevaluasi, dan mengontrol proses digitalisasi itu sendiri. Dalam demokrasi digital, pemilih bukan hanya pengguna, tapi juga pengawas. Tanpa pemahaman yang cukup, e-voting bisa menciptakan "kebodohan sistemik" yang dikendalikan oleh elite teknologi atau oligarki digital.
Dalam situasi seperti ini, e-voting justru berpotensi menyingkirkan hak warga di wilayah 3T—tertinggal, terdepan, dan terluar—yang selama ini sudah kerap dilupakan dalam peta kebijakan nasional. Ironisnya, justru mereka yang seharusnya dilindungi oleh kehadiran negara, kini bisa disingkirkan secara sistemik oleh keputusan yang mengedepankan kecepatan, bukan keadilan. Maka sebelum membicarakan e-voting sebagai masa depan demokrasi, kita harus jujur bertanya: apakah kita sudah membangun fondasi digital yang merata, adil, dan berpihak pada rakyat kecil?
Aspek Keamanan: Dari Kotak Suara ke Kotak Hitam
Jika dalam pemilu konvensional praktik kecurangan biasanya bermuara pada “penggelembungan suara” di tingkat TPS atau gudang logistik, maka dalam sistem e-voting wujudnya jauh lebih canggih—dan berbahaya. Kecurangan kini tak lagi dilakukan dengan mencuri kotak suara, melainkan dengan menyusup ke dalam sistem yang tidak kasatmata: manipulasi algoritma, peretasan server, hingga malware injection yang dapat mengubah hasil pemilu tanpa jejak fisik. Di sinilah kita berhadapan bukan dengan masalah administratif, melainkan ancaman kedaulatan digital yang amat serius.
Laporan University of Michigan (2021) secara tegas menyatakan bahwa sistem e-voting di berbagai negara telah terbukti memiliki kerentanan tinggi terhadap intervensi pihak ketiga—termasuk dari dalam, oleh penyedia sistem itu sendiri. Ketika penyelenggara pemilu bergantung pada vendor swasta dengan sistem proprietary, maka yang terjadi bukan kedaulatan suara rakyat, melainkan delegasi kedaulatan pada kontrak bisnis yang tak transparan. Satu baris kode cukup untuk mengubah suara rakyat menjadi manipulasi algoritmik yang tak terdeteksi.
Lebih dari sekadar peretasan teknis, era digital juga menghadirkan ancaman non-teknis yang tak kalah berbahaya: disinformasi masif, micro-targeting politik, dan manipulasi psikologis melalui AI-generated content yang diproduksi dan disebar oleh buzzer politik. Pemilu tak lagi hanya soal memilih, tapi soal bagaimana persepsi dimanipulasi. Dalam konteks ini, demokrasi bukan lagi proses deliberatif, tapi medan perang algoritma yang dikendalikan oleh mereka yang punya akses pada data dan platform digital.
Celakanya, publik sebagai pemilik kedaulatan politik justru tidak dibekali mekanisme pengawasan yang layak. Tanpa audit trail yang dapat diakses dan diverifikasi publik secara independen, proses pemilu berubah menjadi “kotak hitam” yang tertutup dan anti-kritik. Jika dalam sistem lama kecurangan bisa difoto, direkam, atau disaksikan, maka dalam e-voting yang tak transparan, semua kecurangan dapat dikemas dalam kesunyian sistem, namun berdampak pada hasil politik yang menyimpang jauh dari kehendak rakyat.
Maka pertanyaannya bukan sekadar “siapkah kita menggunakan e-voting?”, tetapi: “siapa yang akan mengendalikan sistemnya, dan bagaimana rakyat bisa memastikan suara mereka tidak dirampas secara digital?” Demokrasi digital hanya bermakna jika ia dibangun di atas prinsip keterbukaan, akuntabilitas, dan partisipasi publik. Tanpa itu, e-voting hanya akan memindahkan kecurangan dari bilik suara ke baris kode—lebih cepat, lebih sunyi, dan lebih sulit dilawan.
KPU dan Infrastruktur Kedaulatan Digital
Pertanyaan paling mendasar yang harus dijawab sebelum e-voting diterapkan secara nasional adalah: apakah Komisi Pemilihan Umum (KPU) benar-benar siap secara teknis, politis, dan institusional? Hingga kini, KPU baru menguji coba e-voting sebatas simulasi terbatas dan penerapan e-rekap melalui aplikasi SIREKAP yang justru menuai kritik keras pada Pemilu 2024 karena kesalahan input data, sinkronisasi yang lambat, dan sistem yang tidak dapat diverifikasi publik secara terbuka. Jika sistem yang sederhana saja belum akuntabel, bagaimana mungkin kita berani melangkah ke sistem pemungutan suara digital penuh?
Lebih memprihatinkan, sebagian besar teknologi pemilu yang digunakan KPU bersumber dari vendor swasta luar negeri. Ini membuka risiko vendor lock-in: ketergantungan sistemik pada penyedia teknologi yang tidak bisa dikontrol oleh negara. Tanpa penguasaan teknologi nasional dan end-to-end encryption buatan dalam negeri, e-voting bisa menjadi alat kolonialisasi digital baru yang membahayakan kedaulatan pemilu. Suara rakyat berisiko dikuasai oleh algoritma asing yang tak bisa diaudit rakyat sendiri.
Kegagalan KPU dalam menjamin integritas dan transparansi pemilu bukan hal baru. Sejak era reformasi, setiap penyelenggaraan pemilu nasional—dari 1999 hingga 2024—nyaris selalu berujung sengketa di Mahkamah Konstitusi. Ini bukan sekadar soal sistem, tapi soal kredibilitas. Bahwa bahkan dalam sistem manual sekalipun, KPU belum berhasil meyakinkan rakyat bahwa suaranya aman. Maka bukan teknologi yang harus dikedepankan, melainkan reformasi institusional dan budaya akuntabilitas di dalam tubuh penyelenggara itu sendiri.
Namun demikian, kritik terhadap sistem manual juga tak bisa diabaikan. Pemilu konvensional rentan terhadap mobilisasi suara, kecurangan logistik, politik uang, hingga manipulasi hasil di tingkat TPS dan PPK. Jika kita terus mempertahankan sistem usang tanpa ada inovasi, maka demokrasi kita akan stagnan. E-voting bisa menjadi langkah maju, tapi hanya jika dibangun dari sistem yang transparan, teknologi yang dikuasai secara nasional, dan kesadaran bahwa teknologi bukan pengganti akuntabilitas—melainkan alat untuk memperkuatnya.
Karena itu, arah ideal bukan memilih antara manual atau digital, tetapi menyiapkan fase transisi yang cerdas dan terukur. E-voting dapat dimulai dari skala lokal—Pilkades atau Pilkada—dengan sistem sumber terbuka (open source), pengawasan publik, dan pengujian dari para ahli independen. Jika sukses dan kredibel, barulah ia diluaskan ke tingkat nasional. Demokrasi digital yang sehat bukan lahir dari keinginan politik sesaat, tapi dari fondasi teknologi yang berdaulat dan institusi yang dipercaya rakyat.
Solusi: Bertahap, Cepat,Terbuka, dan Teruji Publik
Modernisasi pemilu bukan lagi pilihan, melainkan keniscayaan di era digital. Namun yang harus dipahami: digitalisasi tanpa kehati-hatian adalah jalan pintas menuju krisis legitimasi. Dalam konteks e-voting, solusi bukanlah menerapkan secara tergesa pada Pemilu Nasional, melainkan melalui pendekatan bertahap. Pilkades, Pilkada, hingga pemilihan organisasi skala menengah bisa menjadi laboratorium demokrasi digital. Dari sana, kita bisa menguji efektivitas, keamanan, dan integritas sistem sebelum digunakan dalam kontestasi yang menentukan nasib bangsa lima tahun ke depan.
Penguatan regulasi pun menjadi syarat mutlak. Revisi atas UU Pemilu dan UU ITE harus menyertakan pasal-pasal yang menjamin perlindungan data pemilih, kewajiban open audit terhadap sistem digital, serta standar enkripsi nasional. Tak kalah penting, sanksi tegas bagi penyedia teknologi yang terbukti lalai atau manipulatif. Di sinilah negara harus berdaulat, bukan sebagai pembeli teknologi, tapi sebagai pencipta standar etik dan keamanan demokrasi digital.
Kepercayaan publik terhadap e-voting tidak bisa dibangun dengan baliho bertuliskan "Digitalisasi Pemilu untuk Kemajuan Bangsa". Ia hanya akan lahir melalui transparansi nyata: public penetration test, simulasi serangan, audit terbuka oleh pakar independen, dan partisipasi publik dalam setiap tahapan teknis. Tanpa checks and balances yang melekat sejak awal, e-voting hanya akan mengganti kecurangan manual dengan manipulasi digital yang lebih sunyi tapi mematikan.
Faktanya, sejak era Reformasi, Indonesia telah enam kali menggelar pemilu nasional—dan keenamnya selalu berujung pada sengketa hasil di Mahkamah Konstitusi. Bahkan sistem manual yang diromantisasi karena "bisa diawasi langsung" pun ternyata tidak mampu menjamin integritas hasil. Artinya, bukan sistemnya yang keliru, melainkan ekosistem penyelenggaraan yang belum sehat. Maka e-voting tidak boleh dianggap sebagai pelarian dari kegagalan manual, tapi harus dimaknai sebagai peluang membangun sistem yang lebih terbuka, efisien, dan adil—jika dijalankan dengan prinsip demokrasi yang ketat.
Di era di mana rakyat lebih cepat membuka ponsel daripada membuka lembar suara, e-voting memang tak terelakkan. Namun kecepatan bukan alasan untuk melompat tanpa landasan. Kita butuh transisi yang cepat, tapi tetap terukur. Inovasi yang progresif, tapi tak abai pada prinsip kehati-hatian. Karena pada akhirnya, pemilu bukan soal siapa yang menang lebih dulu, tapi siapa yang menang dengan sah dan dipercaya. Dan untuk itu, hanya satu prinsip yang berlaku: teknologi boleh maju, tapi demokrasi tak boleh mundur.
Demokrasi bukan hanya soal bagaimana kita memilih, tetapi lebih penting: bagaimana suara rakyat dihitung, dijaga, dan dihormati. Teknologi seperti e-voting hanyalah alat—ia netral secara fungsi, tapi tidak netral secara kekuasaan. Jika alat itu dikendalikan oleh elite politik atau korporasi teknologi tanpa pengawasan publik, maka modernisasi hanyalah topeng, dan yang terjadi justru adalah delegitimasi demokrasi itu sendiri.
begitupun kita telah enam kali menyelenggarakan pemilu nasional secara konvensional, dan enam kali pula Mahkamah Konstitusi menjadi ruang akhir penyelesaian sengketa hasil. Lebih buruk, Pemilu ketujuh berpotensi bukan lagi sekadar sengketa hukum, melainkan konflik politik terbuka yang bisa menyeret Indonesia ke skenario terburuk—seperti yang pernah terjadi di negara-negara Afrika yang tidak mengakui hasil pemilu dengan cara konvensional, dimana sengketa pemilu berubah menjadi konflik bersenjata dan campur tangan internasional. Fakta ini harus di baca jernih: sistem lama sudah gagal menjawab tantangan zamannya.
Karena itu, e-voting bukan sekadar opsi teknologi, tapi momentum transisi menuju demokrasi yang lebih kuat—asal dijalankan dengan sistem yang transparan, teruji publik, dan berbasis kedaulatan digital nasional. Kita masih punya waktu untuk menyiapkan kerangka hukum, infrastruktur, dan kepercayaan publik. Jangan biarkan masa depan demokrasi digadaikan oleh ketakutan terhadap perubahan. Justru karena sistem konvensional sudah tidak menjamin stabilitas, maka sudah saatnya kita merancang ulang masa depan pemilu—bukan sekadar cepat, tetapi juga adil dan dipercaya.
Demikian
Tentang Penulis:
Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH adalah advokat, Komisioner KPU kota Medan Periode 2003-2008 dan Wakil Sekretaris Bidang Hukum dan HAM MW KAHMI Sumut.
______
Daftar Pustaka
Badan Pusat Statistik (BPS). 2023. Statistik Indonesia 2023. Jakarta: Badan Pusat Statistik. https://www.bps.go.id.
BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional). 2024. “E-Voting Wujudkan Pemilu Akurat, Mudah, Transparan, dan Akuntabel.” brin.go.id. Diakses 9 Juli 2025. https://www.brin.go.id/news/119293/e-voting-wujudkan-pemilu-akurat-mudah-transparan-dan-akuntabel.
Halderman, J. Alex. 2021. Security Analysis of Electronic Voting Systems. University of Michigan Cybersecurity Research Center. https://jhalderm.com.
IMD World Competitiveness Center. 2023. World Digital Competitiveness Ranking 2023. Lausanne: Institute for Management Development (IMD). https://www.imd.org.
Lembaga Survei Indonesia (LSI). 2024. Kepercayaan Publik terhadap Sistem Pemilu Digital. Jakarta: LSI. https://lsi.or.id.
Viva.co.id. 2024. “5 Negara di Dunia yang Menerapkan E-Voting pada Pemilu.” Viva News. Diakses 9 Juli 2025. https://www.viva.co.id/berita/dunia/1687606-5-negara-di-dunia-yang-menerapkan-e-voting-pada-pemilu.
Pemberontak Serang Ibu Kota, https://www.voaindonesia.com/a/car-pasukan-pemberontak-serang-ibukota-terkait-sengketa-pemilu/5736972.html
Posting Komentar
0Komentar